Lima

Malam semakin larut, acara pesta tidak kunjung usai. Liana sudah sangat mengantuk. Tapi Juan masih tetap asyik dengan rekan bisnisnya dan mengabaikan Liana sendiri seperti orang bodoh di sudut ruangan pesta. Padahal jelas-jelas Juan yang memintanya untuk jaga sikap, sedangkan Juan sendiri mengabaikannya, seolah dirinya tak ada.

"Hai."

Liana melihat ke arah orang yang menyapanya.

"Al," lirih Liana. Ia tak menyangka bertemu Alfaz.

"Hai Liana." Ciko juga ikut bersama Alfaz.

Ciko sempat melarang Alfaz untuk mendekati Liana, tapi tak bisa. Alfaz terlihat sangat merindukan Liana. Supaya tidak menimbulkan amarah Juan, Ciko menemani Alfaz menyapa Liana.

Liana tersenyum membalas sapaan Ciko. "Kalian baru datang?" tanya Liana basa-basi.

Jujur saja, Liana sangat merindukan Alfaz. Ia ingin memeluk Alfaz dan menceritakan semua yang ia alami.

Dulu Liana selalu bercerita setiap harinya pada Alfaz tentang apapun masalah yang ia lewati tiap hari. Namun saat ini, ia harus memendamnya sendiri. Memendam luka yang terus bertambah setiap saat.

"Tidak. Kami datang lebih dulu darimu," balas Ciko.

Liana mengangguk kecil. Matanya kembali beralih menatap Alfaz yang masih setia menatapnya.

"Aku merindukanmu," ucap Alfaz.

Liana segera memalingkan pandangannya kearah lain. Ia tak sanggup melihat wajah Alfaz yang seakan menggambarkan kesedihan diwajahnya.

"Istriku tidak merindukanmu!"

Alfaz, Liana dan Ciko serempak melihat ke sumber suara.

"Sepertinya kita harus segera pergi sebelum ada macan mengamuk karena kita mendekati mainannya," ucap Ciko.

Juan tersenyum. "Kamu sungguh pintar," balasnya.

"Aku yakin, semua yang aku lihat dari tadi adalah settingan." Ciko tak percaya dengan sikap manis Juan pada Liana.

Juan merangkul bahu Ciko. "Otakmu dan aku sama. Kita berbakat untuk bermain-main."

Ciko menyingkirkan tangan Juan dari bahunya. "Bedanya aku tidak memainkan perasaan sahabat kita sendiri."

"Begitu," balas Juan singkat seolah sambil berpikir.

Ciko curiga dengan tanggapan singkat Juan. Ia yakin, Juan sedang berpikir hal aneh.

"Apa?" Juan melihat Ciko yang seakan menatapnya penuh selidik.

"Apa yang ada si otakmu saat ini?" Ciko balas bertanya.

"Aku peduli dengan perasaan sahabatku. Jadi....." Juan menjeda kalimatnya.

"Apa?" tanya Ciko penasaran.

"Al, nikmatilah istriku. Dan ayo kita pergi!" Juan menarik Ciko untuk ikut dengannya.

"Hai, apa kamu gila!" seru Ciko yang kesal dengan sikap Juan.

Namun Juan seakan tak peduli, ia tetap mengajak Ciko untuk pergi bersamanya ke club' malam. Tempat favorit mereka untuk mencoba berbagai wanita sebagai teman tidur.

Sedangkan Alfaz dan Liana terlihat sangat canggung setelah Juan dan Ciko pergi meninggalkan mereka berdua.

"Mau aku antar pulang sekarang?" Alfaz memecah keheningan diantara mereka berdua.

"Iya, aku mengantuk," balas Liana jujur.

"Ayo!" Alfaz berjalan lebih dahulu. Walaupun dalam hati ia ingin berjalan sembari menggenggam tangan Liana. Tapi sekarang ia tak bisa lakukan.

Tak ada percakapan apapun lagi diantara mereka berdua, sejak keluar tempat pesta sampai dalam perjalanan pulang.

"Kamu menjadi pendiam." Alfaz mulai buka suara. Ia merindukan Liana yang selalu berceloteh riang saat mereka berdua dalam mobil. Tidak seperti saat ini karena diamnya Liana membuat hatinya sesak.

"Apa aku harus bercerita seperti dulu?" ujar Liana pelan.

Alfaz menepikan mobilnya di area bahu jalan yang lumayan luas untuk parkir.

"Kenapa berhenti?" Liana melihat ke arah Alfaz tak mengerti.

"Apa yang mesti aku katakan? Aku benar-benar hampir gila karena ini." Alfaz memandang wajah Liana sendu.

Liana paham maksud Alfaz. Ia pun merasakan hal yang sama sepertinya.

"Aku sangat merindukanmu." Alfaz mengulurkan tangannya dan mengusap wajah Liana lembut. Wajah yang selalu menghiasi mimpi-mimpi malamnya.

"Aku juga sangat merindukanmu." Liana meraih tangan Alfaz dan menggenggamnya erat.

"Apa aku harus merebutmu kembali?"  Alfaz benar-benar sangat mencintai Liana.

Liana menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mau kamu terkena masalah."

"Tapi aku tidak mau melihatmu menderita."

"Aku akan berusaha untuk baik-baik saja dan mencoba untuk berdamai menerima Juan."

Alfaz melepas seat belt miliknya dan meraih Liana kedalam pelukannya.

"Maafkan aku, maaf."

Alfaz terus menggumamkan kata maaf untuk Liana. Ia merasa bersalah karena telah menyeret hidup Liana dalam kegelapan dan ia tak bisa melakukan apapun selain menyaksikan penderitaan Liana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top