Empat
Menjelang pagi Juan pulang setelah puas minum dan bermain dengan para wanita yang ada di club' malam.
Juan melihat Liana tengah tertidur pulas. Senyum iblis muncul dari bibir Juan. Ia tak akan membiarkan hidup Liana tenang.
"Bangun!" teriak Juan cukup keras sembari menarik selimut yang dikenakan oleh Liana, lalu membuangnya asal.
Liana terkejut dan langsung terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia melihat Juan terlihat marah padanya.
"Apa seperti ini seorang istri?" Juan menaikkan sebelah alisnya angkuh.
Liana tak menjawab, ia memilih untuk diam. Lagipula ia malas untuk berdebat sepagi ini.
Diamnya Liana membuat Juan kesal. Ia membuka bajunya dan melemparnya ke sembarang arah. Lalu naik ke ranjang dan merobek baju yang dikenakan oleh Liana.
"Apa yang kamu lakukan!" Liana sungguh ketakutan.
"Mengajarimu untuk menjadi istri yang baik dan memuaskan."
Tanpa belas kasihan. Juan lagi-lagi melakukan hal itu dengan kasar pada Liana. Ia tak peduli sama sekali atas tindakannya yang mungkin saja akan berefek buruk pada Liana. Mungkin juga akan menimbulkan trauma nantinya.
***
Hari demi hari telah berlalu. Tapi pernikahan Juan dan Liana justru semakin buruk.
Liana berusaha untuk berdamai dengan takdir. Ia mencoba untuk menerima Juan. Liana pikir hal itu mampu membuat hubungan tak sehatnya ini menjadi lebih baik.
Tapi ternyata salah, Juan tak berubah sedikitpun. Sikapnya masih arogan dan egois. Bahkan tak segan-segan kini Juan sering pulang menjelang pagi bersama wanita yang berbeda-beda tiap harinya.
Liana lelah, pernikahan yang baru seumur jagung itu, terasa bagaikan neraka untuknya. Apalagi ia habiskan hari-harinya hanya dirumah saja, membuat ia makin jenuh dan merasa beban hidupnya terasa semakin sesak.
Liana menatap ponselnya yang sejak menikah dengan Juan jarang ia mainkan. Pada ponsel itu banyak tersimpan kenangan antara dirinya dan Alfaz. Ia takut saat membuka ponsel itu, ia semakin berat menjalani rumah tangganya dengan Juan.
"Siap-siap, kita pergi sekarang!" perintah Juan yang baru saja pulang dari kantor.
"Kemana?" tanya Liana heran.
"Tidak usah banyak tanya. Pakai ini!" Juan melempar paper bag yang ia bawa ke arah Liana. "Dandan secantik mungkin. Aku beri waktu setengh jam, saat aku kembali harus sudah selesai."
Tak perlu berpikir panjang. Liana segera menuruti ucapan Juan. Ia akan tunjukkan pada Juan jika ia ingin hubungan pernikahannya menjadi sehat. Ia juga berharap semoga Juan bisa berubah sedikit manis padanya.
Setelah setengah jam, Juan kembali ke kamar untuk memastikan Liana sudah siap atau belum.
"Sudah selesai?"
"Iya," jawab Liana singkat.
Juan hanya mengangguk dan berbalik tanpa berkata apapun pada Liana. Jangan pernah berharap Juan akan memuji Liana meskipun saat ini Liana terlihat sangat cantik. Tapi semua itu tak ada artinya bagi Juan.
Liana pun tak peduli. Ia hanya mengikuti Juan dari belakang. Mengikuti kemanapun Juan akan mengajaknya pergi tanpa bertanya apapun.
***
Sepanjang perjalanan tak ada percakapan sama sekali diantara Liana dan Juan.
Tak butuh waktu lama, Juan dan Liana sampai di sebuah gedung megah.
"Ingat jangan pernah mempermalukan aku di depan orang-orang. Kamu harus tersenyum," ucap Juan sebelum turun dari mobil.
Juan membukakan pintu untuk Liana lalu mengulurkan tangannya membantu Liana turun. "Ingat, tersenyum!" Juan berbisik memperingati Liana.
Liana hanya mengangguk kecil lalu menerima uluran tangan Juan. Sungguh mereka berdua terlihat seperti sepasang suami istri yang romantis dan bahagia.
Juan dan Liana terlihat sangat mesra bahkan tak jarang sesekali Juan mencium pipi Liana dan melingkarkan tangannya di pinggang Liana saat mengobrol dengan orang-orang yang ada di acara pesta tersebut.
Tapi tanpa merek sadari, sejak mereka masuk aula gedung dimana pesta itu di selenggarakan. Ada sepasang mata yang terus memperhatikannya.
"Are you ok?" Ciko menepuk bahu Alfaz pelan. Ia mengikuti arah pandang Alfaz.
Ya, sedari tadi Alfaz lah yang memperhatikan Liana dan Juan. Hatinya remuk redam. Tapi ia tak masalah menahan sakit hatinya sendiri asal Liana bahagia.
"Are you ok?" Ciko kembali menanyakan keadaan Alfaz.
"Ya," jawab Alfaz singkat.
"Lebih baik kita pulang," ajak Ciko.
"Tidak. Aku masih ingin melihatnya."
Alfaz menolak ajakan Ciko. Ia sangat merindukan Liana. Saat inilah ia mampu menghapus rasa rindunya dengan memandangi wajah Liana dari jauh. Meskipun rindunya sedikit terobati namun luka di hatinya bertambah parah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top