Dua Puluh Satu
Tak mungkin bagi Juan untuk menggunakan obat-obatan supaya janin itu gugur karena hal itu pasti bisa digunakan oleh Liana untuk menuntutnya dan Liana bisa bebas darinya.
"Apa yang harus aku lakukan," gumam Juan sambil terus berfikir.
Memiliki seorang anak bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh Juan. Ia tidak menyukai anak kecil.
Menurut Juan anak kecil itu merepotkan. Apalagi yang masih bayi. Juan tidak mau hidupnya terbebani oleh kehadiran anak.
Juan sungguh membenci hal ini ditambah lagi. Ia akan mendapatkan anak dari Liana membuat Juan makin benci.
***
Juan bingung. Azam tidak mau membantunya. Akhirnya ia nekad untuk mencelakakan Liana.
Entahlah, ia masih bisa disebut manusia atau bukan. Juan nekad menumpahkan minyak pada tiga anak tangga terakhir bagian bawah. Juan berharap, Liana akan jatuh dan keguguran.
Setelah melakukan aksinya, Juan bergegas menuju ruang makan untuk sarapan.
"Akhh____" Terdengar pekikan nyaring Liana.
Juan tersenyum tipis sambil melanjutkan makannya dengan tenang tanpa berniat untuk melihat keadaan Liana.
Liana datang menghampiri Juan dengan langkah tertatih-tatih dibantu oleh pelayan.
Liana tahu, semua itu adalah ulah Juan karena tak mungkin akan ada banyak minyak tumpah di tangga.
" Iblis!!" seru Liana sambil memegangi perutnya yang makin terasa sakit.
"Tak sopan! Kamu merusak waktu sarapanku."
Juan membanting sendok dan garpu yang tengah ia gunakan.
"Kamu iblis, kita cerai!" Liana sudah tak tahan lagi.
Juan menggebrak meja lalu berdiri menghampiri Liana dan mencekik lehernya.
"Lalu kamu akan mengemis meminta kembali pada Alfaz, heum?"
Liana ingin menjawab tapi cekikikan di lehernya cukup kuat dan rasa di perutnya juga makin terasa menyakitkan hingga darah segar mengalir dari sela kakinya.
"Sa_sakit," lirih Liana.
"Tuan, Nyonya berdarah," ucap seorang pelayan Juan yang membuat Juan melepaskan cekikikan di leher Liana.
"Bagus."
Juan tersenyum kemudian mengambil tas kerjanya lalu pergi. Ia akan berpura-pura untuk tidak tahu apapun. Ia juga akan berpura-pura terkejut saat dokter mengabarinya nanti, mengabari tentang Liana yang keguguran.
***
Saat ini Juan sudah sampai di rumah sakit saat pihak rumah sakit meminta dirinya untuk datang.
Juan berakting maksimal seolah sedang berduka setelah mendapatkan kabar bahwa istrinya keguguran.
Mungkin bagi orang yang tidak tahu mereka akan bersimpati pada Juan dan kasihan padanya tapi tidak dengan Liana, ia muak dan benci. Ia akan menggugat cerai Juan secepatnya.
Liana juga akan mencoba mengadukan tindakan Juan padanya kepada polisi supaya Juan dipenjara tapi sedetik kemudian Liana berpikir, apa yang ia rencanakan pasti sia-sia karena Juan bisa saja menyumpal mulut para oknum penegak hukum yang nakal dengan uangnya.
"Alfaz dan Azam," gumam Liana.
Liana bertekad untuk melarikan diri ke sana, tempat dimana Alfaz dan Azam tinggal. Setidaknya, ia akan merasa sedikit aman bersama mereka berdua.
***
Kondisi Liana sudah membaik. Ia sebenarnya sudah di perbolehkan pulang dari dua hari yang lalu tapi ia sengaja untuk tidak pulang dulu dengan alasan masih sakit padahal ia mematangkan rencananya untuk kabur.
Hari inilah, hari yang tepat menurut Liana. Ia sudah meminta bantuan Ciko untuk kabur dan Liana sangat beruntung karena Ciko mau membantunya setelah ia menceritakan kekejaman Juan yang tega mencelakainya hingga calon anaknya meninggal.
Awalnya tak mau mengantarkan Liana pada Alfaz dan Azam tapi Liana beralasan jika ia bisa sewaktu-waktu membutuhkan pengawasan dokter karena perutnya terkadang masih terasa sakit.
Setelah susah payah melarikan diri dari penjagaan Juan dan menempuh perjalanan cukup jauh bersama Ciko. Kini ia sudah sampai di kontrakan kecil milik Azam dan Alfaz.
"Liana?!" Alfaz yang tengah duduk membaca buku materi yang akan ia buat soal untuk murid-muridnya yang mengikuti les nanti sore, mendadak menghentikan kegiatannya saat melihat Liana datang.
"Kamu baik-baik saja?" Sambung Alfaz kemudian memeluk Liana erat. Ia sungguh merindukan Liana.
"Ya, aku baik-baik saja." Liana membalas pelukan Alfaz.
"Eh____" Azam yang baru keluar dari kamar mandi segera masuk kamar untuk mengenakan pakaian karena saat ini ia hanya mengenakan handuk saja yang melingkar di pinggangnya. Ia tak tahu ada Liana datang karena saat ia pulang kerja tadi dan memutuskan untuk langsung mandi, Liana belum datang.
Wajah Liana memerah saat melihat Azam tadi namun ia menyembunyikannya di dada bidang milik Alfaz.
"Kalian seperti cicak terus menempel. Aku tidur dulu," pamit Ciko. Ia ikut masuk ke kamar Azam untuk menumpang tidur.
Liana dan Alfaz tidak menanggapi ucapan Ciko. Mereka berdua memilih duduk dan mengobrol.
Tak terasa waktu telah menunjukkan jam tiga sore. Alfaz meminta Liana untuk istirahat di kamarnya saja. Ia yakin Liana lelah setelah perjalanan cukup jauh. Apalagi ia juga harus berangkat mengajar les.
Liana mengangguk dan menuruti ucapan Alfaz. Ia memang lelah dan membutuhkan istirahat.
Awalnya Liana ingin tidur saat Alfaz berpamitan berangkat tapi perutnya terus berbunyi. Ia merasa lapar hingga matanya tak mau terpejam.
Liana memutuskan untuk bangun menuju dapur untuk mencari sedikit makanan yang mampu mengganjal perutnya juga lapar.
Sampai di dapur ternyata ada Azam yang tengah memasak. Liana sungguh terkesima dengan kepandaian Azam. Ia tetap berdiri di ambang pintu dapur sambil terus mengamati Azam tanpa ia sadari Juan tengah menatapnya dengan tatapan sinis.
Juan tidak bodoh, ia tidak benar-benar membiarkan Liana sendiri di rumah sakit tanpa pengawasan anak buahnya. Ia langsung mengikuti Liana dan Ciko setelah mendapatkan laporan dari anak buahnya.
"Juan?"
Ucapan Ciko mengagetkan Liana. Ia segera menghampiri Azam untuk meminta perlindungan.
"Apa sekarang kamu berniat menggodanya?" Juan tidak menanggapi ucapan Ciko. Ia justru berjalan mendekati Liana yang kini ketakutan sambil memegangi ujung kaos Azam.
Azam segera mematikan kompornya dan melihat kearah Juan dan Liana secara bergantian.
"Azam, lebih baik kamu berhati-hati dengan wanita itu. Sepertinya dia menyukaimu," ucap Juan lagi.
"Bicara apa kamu," balas Azam.
"Aku dapat melihatnya tadi saat dia terus memandangimu, dia yang selalu menghubungimu jika ada sesuatu. Aku bisa lihat itu. Dia menyukaimu."
"Omong kosong apa itu." Azam geleng-geleng kepala dan melepaskan tangan Liana dari ujung kaosnya.
"Aku berani bertaruh," balas Juan mantap.
"Benarkah kamu menyukai Azam?" Ciko bertanya langsung pada Liana.
"Tidak." Liana menggelengkan kepalanya.
"Munafik," sinis Juan.
"Ada apa ini?" Alfaz tak tenang meninggalkan Liana akhirnya tadi ia memilih izin pulang dan meminta guru lain untuk menggantikannya.
"Kekasih yang kamu puja setengah mati ternyata mencintai sahabatmu sendiri." Juan tersenyum mengejek Alfaz. Ia sangat yakin Liana menyukai Azam.
"Omong kosong apa yang kamu bicarakan. Lalu siapa yang kamu maksud?" Alfaz masih tak mengerti.
"Tanyakan saja pada kekasihmu itu." Juan berlalu menuju ruang tengah mengajak Ciko untuk minum.
"Liana___?" Alfaz memandang Liana penuh tanya.
"Ti___tidak." Liana menggelengkan kepalanya pelan.
"Permisi, kalian bicara saja. Aku tidak ada hubungan apapun dengannya." Azam pamit memilih untuk bergabung bersama Juan dan Ciko.
"Kamu masih menginginkan Azam?" Alfaz berjalan mendekati Liana setelah Azam pergi.
Liana diam. Ia enggan untuk menjawab pertanyaan Alfaz.
"Liana, jawab aku?" Alfaz mulai khawatir.
"Aku mencintaimu," jawab Liana cepat.
"Kamu bohong!" Alfaz menatap dalam-dalam mata Liana.
"Maaf."
Kata maaf yang keluar dari bibir Liana membuat Alfaz tersenyum. Ia yang bersalah dalam hal ini. Rasa cintanya pada Liana membuatnya berbuat curang.
"Kamu masih juga mencintainya?"
Kegetiran terdengar dari ucapan Alfaz. Ia sudah berkorban cukup banyak untuk Liana selama ini namun ternyata di hati Liana masih ada nama lain selain dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top