Dua

Acara pernikahan berjalan lancar. Tak ada pesta yang mewah disana. Juan memang tidak mengadakan itu. Dia hanya mempersiapkan pesta biasa saja. Tamu undangan pun hanya sebatas keluarga.

"Jika kamu tengah di sampingku. Kamu harus tersenyum," ucap Juan pada Liana yang terus menangis. Hal itu membuat Juan muak.

"Kamu jahat."

Juan tersenyum tipis mendengar ucapan Liana. "Kontrol juga bicaramu karena sekarang aku ini suamimu."

"Manusia macam apa kamu, kenapa kamu tega dengan kami."

"Sepertinya kamu memang butuh di sadarkan posisimu saat ini." Juan menarik tangan Liana untuk ikut dengannya.

"Mau kemana?" tanya Ciko yang tengah duduk bersama Azam dan Alfaz sembari minum di depan kamar Juan. Mereka tidak bergabung dengan tamu yang lain.

"Ke kamar," jawab Juan singkat.

Alfaz hanya memandangi Liana yang menangis sambil menundukkan wajahnya. Alfaz terus memandangnya sampai Liana masuk ke kamar bersama Juan.

Selang  beberapa saat Juan masuk kamar. Terdengar suara jeritan Liana.

Alfaz beranjak bangun dari tempat duduknya tapi Azam dan Ciko memegangi tangan Alfaz untuk tidak masuk kamar.

"Liana," lirih Alfaz.

"Mereka sudah menikah," ucap Azam.

Alfaz mengangguk paham, ia duduk kembali dengan rasa yang tak karuan. Hatinya remuk redam.

Alfaz tak bodoh, ia tahu apa yang tengah Juan lakukan. Tapi Alfaz tak tahu apa alasan Juan tidak membiarkan pintu kamarnya tertutup rapat hingga desahannya terdengar sampai di luar kamar.

***
Juan tak peduli dengan tangisan Liana, ia juga tak mau repot-repot melakukan pemanasan atau apapun. Ia hanya peduli dengan kepuasannya sendiri.

Meskipun Juan tahu, hal ini adalah pengalaman pertama bagi Liana. Ia tetap memperlakukan Liana dengan kasar.

Setelah puas, ia bahkan meninggalkan Liana begitu saja, lalu memilih keluar kamar untuk bergabung dengan teman-temannya.

"Terima kasih telah menjaga istriku selama ini, ternyata dia masih virgin," ucap Juan menyebalkan di hadapan Alfaz.

"Kau?!" Alfaz mengepalkan tangannya kuat-kuat. Emosinya seakan tak bisa ditahan lagi.

"Apa?" Juan menaikkan sebelah alisnya angkuh.

Alfaz memalingkan wajahnya untuk menahan segala emosi yang seakan ingin meledak.

"Oh ya, jika kalian ingin mencobanya. Masuk saja."

"Apa kamu gila!" seru Azam tak percaya mendengar ucapan Juan. Hanya pria gila yang rela berbagi istrinya dengan yang lain.

"Aku adalah sahabat yang baik. Biasanya kita selalu berbagi. Terutama untukmu Al. Kamu bisa mencobanya terlebih dahulu sebelum Ciko dan Azam."

Buk...

Tanpa aba-aba, Alfaz memukul Juan. Ia benar-benar sakit hati dengan Juan. Alfaz tak masalah jika Juan hanya menyakiti dirinya. Tapi saat ini, tingkah Juan sungguh keterlaluan, dia  secara tak langsung telah melecehkan Liana dan menyamakan Liana dengan para jalang yang sering mereka mainkan.

Juan menatap tajam Alfaz, ia tak terima atas pukulan yang Alfaz berikan untuknya. "Cari masalah heum?!"

"Kamu yang memulainya." Alfaz menatap balik Juan.

"Aku pastikan, Liana akan terus menderita sepanjang waktu," ancam Juan.

Alfaz tak menanggapi ucapan Juan tapi ia langsung menyerang Juan. Alfaz ingin sekali menghabisi Juan saat ini juga.

Juan tentu saja tak terima begitu saja. Ia menyerang balik Alfaz hingga terjadi perkelahian sengit di antara mereka berdua.

Azam dan Ciko tidak hanya diam, mereka berdua berusaha memisahkan Alfaz dan Juan. Azam menarik Juan untuk ikut bersamanya dan Ciko menarik Alfaz untuk pulang.

"Harusnya kamu tak perlu memisahkan kami," ucap Juan pada Azam yang masih diliputi amarah.

"Harusnya kamu tidak bertindak semena-mena pada sahabatmu. Kita sudah berteman dari kecil. Apa karena hal sepele harus merusak pertemanan kita?" Azam jengah dengan tingkah laku Juan yang seolah tak peduli dengan apapun. Dia hanya mementingkan egonya sendiri.

"Aku hanya ingin membuat persahabatan kita baik-baik saja. Liana itu pengganggu. Alfaz sering absen berkumpul dengan kita hanya untuk menemani wanita itu."

"Aku gak tau ada dimana otakmu. Kita suatu saat juga pasti seperti itu. Butuh pasangan yang akan hidup menua bersama kita."

"Tapi kita saat ini masih muda."

"Muda bukan berarti kita harus egois dengan mengambil kebahagiaan sahabatnya sendiri."

"Sudahlah, kamu tidak perlu ceramah dihadapan ku." Juan tak mau mendengarkan apapun yang Azam ucapkan. Ia hanya berpikir jika dirinya lah yang paling benar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top