🌹Chapter 5 - Mas Jawa

Matahari bersinar dengan cerah di langit. Meskipun hari ini libur para manusia tetap sibuk dengan urusan masing-masing. Begitu pula dengan seorang single parent seperti Nadia. 
Wanita berusia dua puluh enam tahun itu sedang sibuk di dapur. Dia memasak makanan untuk keluarga kecilnya. Walaupun bahan-bahan yang tersedia tak terlalu banyak dan cenderung sederhana, Nadia masih bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Setidaknya keluarga kecilnya masih bisa makan untuk mengenyangkan perut yang keroncongan. 

Tak terasa sudah enam bulan berlalu. Selama itu pula, Nadia masih berstatus pengangguran. Untung saja, ada Digo, sang adik yang menyelamatkan hidup mereka. Dan ada Mas Rakha yang sering membantu memberikan bahan pokok. Jujur, sangat tidak mudah mendapatkan pekerjaan di zaman yang serba sulit ini. Sudah ratusan surat lamaran yang dia kirimkan ke berbagai perusahaan, tetapi belum ada yang berhasil diterima sebagai karyawan. 

Tidak! Bukan Nadia tak menyukai statusnya yang sekarang hanya ibu rumah tangga yang mengurus adik dan kedua anaknya. Nadia menyukai statusnya itu, yang memberikan banyak waktu luang untuk menemani anak-anak seperti belajar dan bermain. Hanya saja jika terus mengandalkan Digo yang mencari uang, Nadia merasa tidak enak hati. Meskipun Digo ikhlas dan tulus membantu keuangan keluarga. Dengan Mas Rakha juga merasa sama, tidak enak kalau harus bergantung terus. Semakin hari harga bahan pokok kian melambung.

Nadia masih ingat beberapa bulan yang lalu harga beras sekilo hanya lima belas ribu, sekarang sudah naik menjadi tujuh belas ribu. Mungkin saja beberapa bulan ke depan akan naik menjadi dua puluh ribu per kilo. Begitu juga kebutuhan dapur yang lain. Sebagai solusi Nadia pun mengurangi membeli jumlah bahan-bahan mentah kebutuhan dapur. Dia pun harus pandai membagi jumlah uang untuk kebutuhan pokok, uang sewa rumah kontrakan, biaya listrik, biaya air, dan bayaran sekolah si kembar serta pembayaran per semester Digo. 

Nadia meringis saat jarinya tak sengaja teriris pisau saat memotong wortel. Jarinya mengeluarkan cairan merah segar. Wajahnya tampak kesakitan.

"Nadia, hati-hati motong wortelnya." Seorang laki-laki berkulit sawo matang spontan memegang tangannya dan melihat jari yang terluka. Sorot mata khawatir tampak jelas di matanya.
 
"Mas Rakha? Sejak kapan di sini?" tanya Nadia dengan nada suara bingung. Saat mengetahui siapa yang memegang tangannya.

"Sudah cukup lama, Nadia aja yang ngga menyadarinya. Kau melamun sepertinya?"

Rakha membawa Nadia ke meja dapur dan duduk di sana. Dia mengambil kotak P3K dari dalam lemari, mencari obat merah, kapas, dan plester. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu cukup sering datang ke rumah Nadia. Oleh karena itulah dia dengan mudah menemukan letak penyimpanan kotak P3K.
 
"Apa yang kau pikirkan sampai terluka?" tanya Rakha, matanya fokus mengobati luka di jari telunjuk Nadia yang masih meneteskan darah segar. 

Nadia menggeleng. "Tak ada yang kupikirkan," dustanya.

"Apa benar begitu?" Rakha tahu kalau Nadia sedang berbohong. Dia tahu wanita itu banyak pikiran. Sangat terlihat dari raut wajahnya. Hanya saja wanita itu tak ingin mengatakannya, sebenarnya Rakha agak kecewa. Padahal mereka sudah kenal cukup lama. Namun dia sebisa mungkin menutupinya.

"Iya, sungguh!" jawab Nadia semeyakin mungkin. Bagaimana mungkin dia merepotkan Mas Rakha mengenai uang sekolah anak-anaknya dan uang semester Digo? 

"Baiklah, Mas percaya kali ini."

Nadia meringis kesakitan.

"Sakit sekali, ya? Maaf! Mas akan lebih pelan." 

Nadia segera menggeleng. "Tak apa-apa, Mas Rakha."

Jari telunjuk yang terluka sudah selesai diobati dan dibalut perban. "Apa masih sakit?" tanyanya perhatian.

"Tak terlalu sakit lagi. Terima kasih!" jawab Nadia seraya menarik tangannya dari genggaman Rakha. Wanita berambut hitam panjang itu menilik ke arah sayur yang belum selesai dipotong. 

Rakha yang mengerti. "Sama-sama. Nad, istirahat aja dulu, hari ini biar aku yang masak buat Digo, dan anak-anak."

"Jangan Mas! Biarkan aku saja yang masak, ini sudah tugasku. Mas 'kan baru baru pulang dari butik," tolak Nadia. Bagaimana bisa dia membiarkan pria itu melakukannya?

Rakha segera menggeleng, kemudian tersenyum lembut. "Ngga apa-apa! Nadia terlalu sungkan dengan Mas seperti baru kenal aja." Di ujung kalimatnya tertawa pelan.

"Baiklah, Mas, maaf merepotkan."

"Tidak masalah! Ini sama sekali tak merepotkan, Mas justru senang bisa membantu," ujarnya terdengar tulus. Tangannya mengambil pisau dapur yang tergeletak dan sayuran.

Nadia dengan patuh duduk di tempatnya semula belum bergeser. Dia memandang Mas Rakha yang tengah memotong sayuran dengan lincah dan cepat. Suara potongan sayur seakan menjadi melody tersendiri yang khas.

Mas Rakha sebenarnya sosok pria idaman para wanita. Baik wanita yang sudah menikah ataupun yang masih gadis. Pria itu tanpa rasa ragu membantu memasak di dapur. Selain memiliki wajah yang manis seperti gula pasir dan dipadu kulit sawo matang. Dia juga pria yang lembut dan perhatian. Dan nilai plus yang sangat penting, punya usaha butik yang cukup terkenal dan sukses.

Nadia melihat kantong plastik putih ukuran besar di kursi kayu dekat tempatnya duduk saat ini. Dia bisa melihat apa isi di dalamnya yang tak lain kebutuhan bahan-bahan pokok sehari-hari. Dan tak perlu ditebak siapa yang membawanya pasti Mas Rakha.

"Oh, ya, Nad, Mas tadi kebetulan lewat Alfamart. Jadi, Mas belikan beberapa bahan pokok sehari-hari." Rakha berkata sambil memasukkan potongan sayuran dan ayam ke dalam panci yang berisi air yang sudah mendidih. 

Nadia sebenarnya ingin menolak pemberian Mas Rakha yang sudah terlalu sering. Bukan dia tak tahu cara berterima kasih, tetapi dia merasa sangat tidak enak seakan dia memanfaatkan Mas Rakha yang baik hati. Bagaimana cara dia mengatakannya agar pria itu tidak tersinggung?

"Mas Rakha, aku sangat berterima kasih untuk bantuannya, tetapi..."

Ada jeda singkat sebelum Nadia melanjutkan kalimatnya. "Tolong, Mas ke depannya ngga perlu bawa bahan-bahan pokok lagi," ujarnya selembut mungkin seakan takut menyinggung perasaan Mas Rakha yang sudah berbaik hati ingin membantu meringankan beban.

"Ngga apa-apa, Nadia. Ini kemauan Mas sendiri. Tolong jangan menolaknya, ya?" jawab Rakha seakan memohon.

"Tetapi, Mas?" tolak Nadia.

"Apa karena soal itu? Mas tahu kalau Nadia belum bisa membalas perasaan. Mas tak masalah dengan itu dan akan tetap menunggu sampai Nadia menerimanya."

Hati Nadia merasa bersalah dengan Mas Rakha. Dia memang bodoh, menyia-nyiakan perasaan orang yang benar-benar tulus dan orang yang peduli dengannya. Namun perkara hati tak bisa dipaksakan bukan?

"Tolong diterima aja. Mas tulus dan ikhlas untuk membantu kalian." Dia tahu Nadia belum bisa membuka hatinya untuk dirinya, namun itu tak akan menyurutkan tekadnya untuk mendapatkan hati sang pujaan hati.

Nadia mengembuskan napas pelan. Dia pun menjadi tak tega untuk menolak orang sebaik Mas Rakha. "Baiklah, Mas, terima kasih banyak! Dan untuk perasaan aku akan berusaha."

"Sama-sama, Nadia. Sudah seharusnya Mas membantu. Dan perkara itu, sudah dikatakan sebelumnya, Mas akan selalu menunggu," jawab Rakha. Senyuman manis terpatri di wajah khas jawanya.

 ***

Kasihan Mama Nadia belum dapet pekerjaan. Do'akan yuk guys agar Mama Nadia cepat dapat pekerjaan🤲🏻.

See you next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top