[ 6 ] Ini Gaby

Soal fisika di depan mataku membuat kepalaku pening. Otakku sedang malas-malasnya. Pikiranku melayang ke mana-mana membayangkan sesuatu. Telepon genggam yang sudah berjam jam tergeletak lebih menarik dibanding pensil berwarna biru di tanganku.

Gaby Nugraha : Sudah selesai?

Via Adara : Belum nih. Capek.

Gaby Nugraha : Butuh bantuan?

Via Adara : image sent

Gaby Nugraha : Itu tadi cuma tawaran basa basi.

Via Adara: Gue traktir deh

Gaby Nugraha: image received

Memanggil Gaby Nugraha...

Via Adara: Angkat geblek. Malah dimatiin

Gaby Nugraha: Gue kira kepencet

Memanggil Gaby Nugraha...

"Apaan?" Suara berat seorang cowok menyahut dari ujung telepon.

"Tai! Gue pengen berhenti sekolah aja, cuks!"

"Napa sih? Orang lo sekolah enak-enak aja. Tugas susah juga lo kirim ke gue."

"Bukan karna ituu. Iya sih tapi. Tapi ada yang lebih. Gue nih punya temen ya, cowok. Dandanannya kayak gak niat buat idup tau gak. Rambutnya... Lo tau akar serabut? Rambut dia lebih berantakan. Dia kalo urusan bolos membolos udah pro-"

"Yaudahlah, namanya juga cowok." Potong Gaby dengan santainya. "Masih syukur dia mau sekolah."

"Lebih untung kalo dia gak mau sekolah, iya. Keberadaan dia itu bisa mengancam keamanan dan ketertiban sekolah."

"Alay lo, bocil."

"Eh, eh, ngomong-ngomong nih ya, ngomong-ngomong. Ngomong-ngomong gue mau ngomong."

"Ngomong-ngomong aja terus sampe Gramedia jualan sabun," gerutu Gaby. Sesekali aku bisa mendengar lembaran di balik. Pasti lagi belajar. Ini cowok kayaknya emang dilahirkan untuk membaca buku seumur hidupnya.

"Hm.... Tapi kayaknya lo lagi belajar ya?"

"Sok tau."

"Itu tadi ada suara kertas."

"Yee... emang kalo ada kertas selalu belajar? Makan nasi bungkus juga pake kertas kali. Kertas minyak."

"Receh u"

"Hehe.. Gue kan ketularan lo."

"Eh, sorry ya, gue kertas bukan receh."

"Tuhkan, dasar Jayus. Jayus Tambunan."

"Gayus, Pak. Serius, lagi belajar ya?"

"Cuma lagi baca-baca."

"Baca apa?"

"Buku paket sejarah."

"Itu namanya belajar," ucapku gemas. " Lo tau toko yang jual bom di sekitar sini nggak? Gue pingin ngebom rumah lo."

"Hahaha. Jangan. Nanti gue tinggal di mana?"

"Kan lo mati pas gue bom, biar nggak bisa belajar lagi."

"Yang belajar gue, yang capek gue, yang sewot lo. Apa sih salahnya belajar?"

"Gue tuh suka ngerasa apa ya. Gue ngerasa seakan gue orang paling malas di dunia setiap ngeliat orang belajar."

"Kenapa lo gak ikut belajar juga biar gak ngerasa begitu?"

"Pingin."

"Ya lakuin, Ijah. Bilang pingin tapi gak ada kerja nyata."

"Ah, dasar golongan atas. Mana ngerti masalah gue. Yaudah sana belajar."

"Eh? Kenapa?"

"Enggak. Gue tutup ya?"

"Iya. Selamat belajar"

"Hmmm...." sahutku malas sebelum mematikan panggilan.

Kalau kamu bingung biar kuberi tahu. Ini Gaby yang sama dengan Gaby yang kutemui di toko buku. Bedanya, tak ada lagi Gaby pendiam yang hanya mengangguk atau menggeleng. Aku tak lagi seperti berbicara pada patung.

Jujur aku selalu suka orang dengan karakter seperti ini karena saat mereka akhirnya membuka sifat aslinya, aku merasa spesial.

***

"Vi, pinjem buku catatan matematika lo dong." Arka berdiri di depanku. Tubuh tingginya menghalangi pandanganku.

"Gak akan. Paling nanti cuma lo jadiin ganjel pintu," ujarku jengkel. Aku tau persis, Arka tidak mungkin menyalin catatanku. Mustahil.

"Pinjem buku paket agama deh."

"No. Nanti malah lo jadiin bungkus kacang," tolakku lagi.

"Pensil deh pensil."

"Lah itu lo lagi pegang pensil."

"Ya terus gue minjemnya apa dong?"

"Hah? Lo butuhnya apa sih? Kalo emang gak ada ya lo gak barus minjem apa-apa." Aku menatapnya garang sekaligus heran. "Nih anak otaknya geser kayaknya."

"Pinjem pr fisika deh."

"Dasar anak setan. Mau pinjem pr aja kebanyakan cincong. Belum selesai punya gue," ujarku sambil melangkah cepat berusaha menjauh dari makhluk aneh bin ajaib ini. Akan tetapi, kaki panjang Arka dengan mudahnya menjangkau jarak yang sudah tercipta.

"Bohong dosa."

"Siapa juga yang bilang kalau bohong dapat pahala."

"Tuhan, tolong ampuni dosa teman hamba yang selalu mengaku belum selesai mengerjakan pr padahal sudah. Ampuni teman-teman yang tidak mau berbagi pada orang yang membutuhkan seperti saya. Saya ini butuh pr teman-teman saya agar tidak dikeluarkan dari kelas-"

"Gaya lo berdoa. Lo sholat juga setahun sekali."

"Dua kali, idhul adha sama idhul fitri."

Aku bergegas meninggalkan Arka sebelum ia semakin menjadi-jadi. Aku bukan tipe murid yang berpikiran 'ini gue ngerjain mati-matian terus lo nyontek dengan seenaknya'. Jelas bukan. Aku mau mau saja berbagi tugas pada teman karena aku tahu akan tiba saatnya aku juga butuh tugas temanku. Tapi, kalau aku harus meminjamkan buku prku pada Arka, terima kasih. Aku menolak.

Terakhir Arka meminjam prku, bukuku menghilang. Seakan lenyap ditelan bumi. Alhasil aku dihukum, Arka juga sih. Tapi Arka kan memang salah, sedangkan aku? Hanya korban. Big thank's to Arkavia.

"Mau jalan secepat apa pun kan nanti ujung-ujungnya ketemu di kelas. Pinjem dong, Vi."

"Gue udah bilang enggak ya, Ka."

"Lima nomer aja." Tangan panjang Arka bergerak cepat menarik buku di tanganku.

Krekk...

Buku tugasku membelah diri.

Alias sobek.

"Eh? Pinjam dong?" ucapnya diiringi cengiran tanpa merasa bersalah.

"ARKAAAA!!! KAN GUE UDAH BILANG ENGGAK. SEKARANG KALAU UDAH BEGINI BUKU GUE MAU DIAPAIN?"

"Diselotip?" tanya Arka pelan. Tangannya memegang buku tugasku yang kini sudah tidak layak disebut buku. Aku menangkap sedikit rasa bersalah di matanya. Kalau aku tak salah lihat.

"AH. TERSERAH. GUE NGGAK MAU TAU YA, KA, POKOKNYA LO HARUS BENERIN BUKU GUE SEBELUM PELAJARAN PAK KANO."

"Lah pelajaran Pak Kano kan jam pertama? Terus gue kapan nyalinnya?" Ternyata aku salah lihat. Anak ini benar-benar tidak punya rasa bersalah.

"Lo ini... Gue gak mau tau ya, Ka. Tanggung jawab." Aku melemparkan lembaran kertas yang sobek dan juga terlepas dari bukuku yang masih ada di tanganku. Aku muak. Hari baru saja dimulai, tapi makhluk aneh ini sudah menghancurkan moodku.

***

Dengan perasaan enggan aku memaksa kakiku menuju kelas. Sebentar lagi bel masuk berbunyi, aku belum tahu nasib buku tugasku. Entah sudah menjadi rapi atau tetap. Bisa jadi semakin tidak berbentuk. Tak apa, aku sudah siap dihukum.

"Nih, udah gue benerin ya. Puas?" Arka meletakkan buku tulis di depan mejaku dengan sembarangan.

"Lo yang salah, lo yang nyolot. Situ waras?"

"Lagian lo minjemin pr aja nggak mau. Orang pelit kuburannya sempit. Dah." Arka melemparkan pena yang kuyakini bukan miliknya ke dalam laci mejanya lalu ia melangkah menuju pintu kelas.

"Mau kemana lo? Kan udah bel?"

"Bukan urusan lo." Sedetik kemudian sosoknya langsung menghilang terhalang daun pintu yang ditutup. Aku mengedikkan bahuku tak peduli. Ada atau tidaknya dia tidak akan merubah situasi. Ralat, tidak adanya dia justru membuat situasi semakin kondusif.

Yang penting dia sudah bertanggungjawab membenarkan bukuku jadi kubiarkan saja dia pergi dari kelas ini. Sambil menunggu kedatangan Pak Kano aku memilih untuk bermalas-malasan terlebih dahulu karena beberapa waktu ke depan aku harus bertarung melawan kantuk saat dongeng pengantar tidur dari Pak Kano dimulai.

Ada yang aneh saat aku meletakkan kepalaku di atas bukuku. Rasanya seperti ada benda-benda kecil yang menyentuh pipiku.

"Ini meja ada apanya sih kok rasanya aneh gini di pipi?"

Kuraba-raba permukaan mejaku. Datar seperti meja pada umumnya. Sekali lagi aku meletakkan kepalaku di atas mejaku. Tidak apa-apa. "Sepertinya ada yang tidak beres."

Setelah mengucap basmalah, tanganku membuka sampul buku tulisku. Lembaran-lembaran yang robek memang telah disambung, tapi disambung dengan stapler. Selain itu halamannya juga tidak urut. Aku tak tahu apa yang Arka pikirkan, bisa-bisanya dia menyambungkan dua lembar menggunakan stapler. Iya, memang bisa. Tapi... Ahhh, ingin rasanya aku membawa pisau ke sekolah.

Aku berusaha santai. Kuyakinkan pada diriku, tidak mengerjakan pr sekali tidak akan membuatmu dikeluarkan dari sekolah. Biar nanti kujelaskan semuanya pada Pak Kano. Semoga beliau bisa mengerti.

***

Betapa baiknya Pak Kano. Seusai aku menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada Pak Kano, tanpa diminta beliau memberiku souvenir berupa tujuh puluh soal uraian bab fluida statis dengan deadline satu hari setelahnya. Souvenir itu akan dikirim ke kelasku saat jam istirahat. Katanya aku tidak usah capek-capek menemui Pak Kano agar aku punya tenaga untuk mengerjakan tugas tambahan itu. Sungguh guru yang pengertian.

"Vi, ada yang nyari."

"Pasti kurirnya Pak Kano." Tanpa perlu dipanggil dua kali aku segera beranjak menuju luar kelas. Aku penasaran murid mana yang ketiban sial disuruh mengantarkan soal saat jam istirahat.

"Eh? Gaby?"

"Ini soal dari Pak Kano. Selamat mengerjakan katanya. Terus jangan lupa dikumpulkan besok." Gaby memberikan beberapa lembaran yang masih hangat. Kutempelkan kertas itu pada wajahku. Harum mesin fotocopy. Aku suka. Tapi aku tak suka soal ini.

"Gab, bantuin ya ngerjain ini ya. Banyak banget gue gak kuat."

"Seratus soal ya? Buat besok?"

"Hah? Kok seratus sih? Tadi kata Pak Kano tujuh puluh. Aih. Gab, lo kan ganteng, baik, pintar, rajin gosok gigi, bantuin gue ngerjain ya. Mana gue besok kuis kimia lagi."

"Siap, nyonya. Sekarang? Tapi gue beli-beli ke kantin dulu. Laper."

"Pulang sekolah aja. Sekarang gue masih kerja kelompok."

"Oh yaudah. Ketemu nanti." Gaby berlalu menuju kantin. Baru beberapa langkah meninggalkanku ia membalikkan badannya. "Vi, lo udah ke kantin belum? Mau gue beliin apa gitu?"

"Gaby, you're the real mvp. Titip roti dua ya. Uangnya ben..."

"Pake uang gue dulu. Roti dua aja?"

"Iya. Makasih ya. Jadi makin cinta deh."

Gaby tak membalas ucapanku. Ia hanya mengangguk sambil terkekeh pelan.

***

"Arka, mau ke kelas ya? Boleh minta tolong ini gak, titipannya Via."

"Via?" Arka bertanya meyakinkan lalu dibalas anggukan oleh Gaby. "Oke sini. Buat Via kan ini?"

"Iya. Makasih ya, Ka. Gue ke kelas dulu. Jangan lupa kasih ke Via, ya."

Setelah memberikan dua buah roti titipan Via kepada Arka, Gaby segera menuju kelasnya mengingat bel masuk kurang beberapa menit lagi.

"Gue nggak bilang iya ya, Gab."

Tanpa merasa perlu ijin kepada yang punya, Arka dengan lahap memakan roti isi coklat di tangannya.

____________________________________

Haii

Gimana? Gimana?

Sekolah lagi sibuk nih. Mantab.

Vote dan comment dong biar aku semangat kayak semangat para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Apasih. Maaf ya, habis ulangan sejarah, sih.

Masih ada yang mau next gak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top