[16] Bakso
Gerutuanku bersahut-sahutan dengan suara pemberitahuan dari suatu aplikasi chatting. Notifikasi yang muncul di pojok atas membuat acara berselancarku di dunia instagram terganggu. Merusak acara bersantaiku di sore yang berhawa dingin. Suasana yang pas untuk bergelung di bawah selimut.
Tugas BI (5)
Nuansa Ramadhan : Jadi mau ngerjain kapan?
Arkavia Putra : Besok? Wdyt? Yay or nay? Delsoon
Kenzi Razan A : Kebanyakan main instagram lo
Via Adara : Following lebih banyak dari followers aja kebanyakan gaya
Arkavia Pura : Caption ig copas dari gugel aja soms lo vi
Degretha : Besok gue ada acara
Nuansa Ramadhan : Jum'at?
Arkavia Putra : Gue ada acara jum'atan
Arkavia Putra : Biar ganteng
Via Adara : Emang lo sholat jum'at itu lamanya kayak naik haji?
Via Adara : Paling setengah jam juga selesai
Kenzi Razan A : Lagian Nuansa juga soljum kali
Arkavia Putra : Gue kan sholatnya khusyuk nan tuma'ninah
Via Adara : Woy, kan lo ngikut imamnya
Via Adara : Yakali imamnya udah salam lo masih rukuk
Nuansa Ramadhan : Yaudah Jum'at ya?
Via Adara : Gue sih bisa bisa aja
Degretha : Gue ada tambahan pelajaran agama
Nuansa Ramadhan : Sabtu? Minggu?
Arkavia Putra : Gue Sabtu ada latihan basket
Nuansa Ramadhan : Yaudah Minggu, ya?
Kenzi Razan A : Okeoke
Arkavia Putra : Deal
Via Adara : Ehhh
Via Adara : Kalo Minggu gue ada acara
Nuansa Ramadhan : Gitu aja terus sampe Avenged Sevenfold ngeluarin album dangdut koplo
Kenzi Razan A : Nice
Kenzi Razan A : Tar gue borong albumnya
Arkavia Putra : Sisain buat gue satu
Kenzi Razan A : Mari kita tebarkan virus dangdut pada dunia
Kenzi Razan A : #savedangdut
Arkavia Putra : #dangduthargamati
Kenzi Razan A : #cintadangdutsaklawase
Via Adara : #kalianberisik
Nuansa Ramadhan : Tolong fokus
Kenzi Razan A : Deadline masih lama
Nuansa Ramadhan : Oke terserah
Via Adara : Fokus dong
Arkavia Putra : Hocus focus trulala~
Via Adara : Ingin ku berkata kasar
Kenzi Razan A : Kasar
Sudah kuduga. Dengan Kenzi yang sangat susah diajak serius, Arka yang sebelas dua belas dengan Kenzi, Gretha yang tidak peduli, Nuansa yang sangat serius, dan aku yang ingin serius tapi juga ingin bermain-main, beginilah diskusi ini berakhir. Tanpa kesimpulan.
Sudahlah. Mungkin memang benar kata Kenzi, deadline masih lama.
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setegah sembilan malam. Aku masih duduk di meja belajarku menghadap laptop. Bukan. Bukan untuk mengerjakan tugas, bukan sedang mencari referensi, bukan pula sedang membaca ppt, melainkan sedang menonton youtube. Mataku sesekali melirik ke arah telepon genggam menanti chat dari seseorang.
"Vi, ada temen lo nih. Cowok." Wajah Vio tiba-tiba menyembul dari luar kamarku.
Itu dia yang kutunggu! Pasti Gaby dan makanan pesananku. Tadi sore aku hanya bercanda bilang ke Gaby untuk membelikanku bakso. Sayangnya aku lupa kalau Gaby tidak bisa diajak bercanda. Dia terlalu baik. Ah, lebih tepatnya Gaby memang yang terbaik.
Tanpa perlu menyisir rambutku yang acak-acakan bekas belajar fisika sebelum akhirnya aku menyerah menonton youtube tadi, aku segera menuju keluar rumah.
"Eh?" Aku menutup kembali daun pintu begitu aku melihat orang itu bukan Gaby. Seorang pria dengan jaket yang akhir-akhir ini sering jadi pemandanganku saat pejalanan pulang sekolah berdiri membelakangi pintu. Kak Fian.
Buru-buru kurapikan rambutku yang berantakan dengan satu kali kunciran lalu segera keluar. "Kak, ada apa kok malem-malem ke sini?"
"Nggak boleh nih? Pulang ya?" goda Kak Fian. Walaupun langit gelap dan hanya ada lampu teras sebagai penerangan, aku masih bisa melihat senyum menawan dari bibir manisnya.
"Eh, anu, bukan gitu. Maksudnya tumben aja nggak bilang-bilang."
"Hahaha, iya santai. Ini juga nggak terencana sih. Gue tadi kan habis pergi, terus mampir makan bakso, keinget lo bilang udah lama nggak makan bakso. Sekalian aja deh."
"Nih," ujarnya sambil menjulurkan kantong kresek berisi bakso. Begitu aku menerimanya dapat kurasakan hangat di tanganku. Baksonya masih panas. Kukira begitu. Hingga detik berikutnya pipiku ikut menghangat padahal baksonya tidak kutempelkan ke wajahku. Ah, beginikah rasanya?
"Thankyou."
"Dimakan ya. Jangan telat makan nanti sakit." Kak Fian mengacak-acak rambutku sambil tertawa gemas.
Padahal aku belum bisa memahami pipiku yang menghangat secara tiba-tiba, kini jantungku ikut berulah. Berdetak tak karuan. Ingin menggerakkan kepala untuk mengangguk saja rasanya sangat susah.
"Yaudah gue langsung ya."
Aku berusaha memikirkan jawaban senormal mungkin untuk menjawab Kak Fian.
"Kok keburu sih?"
Ambigu.
"Emm, maksudnya, nggak mau duduk dulu?" Kak Fian menahan tawanya melihat ekspresiku yang salah tingkah.
"Udah malem. Gue pulang ya?"
Aku menarik nafas lega. Untung saja Kak Fian menyikapinya dengan biasa saja.
Bisik jangkrik bagai musik latar yang mengiringi langkah kecilku di belakang Kak Fian. Sebagai tuan rumah yang baik kuantarkan Kak Fian menuju motornya yang terparkir di luar pagar rumahku.
Deru knalpot langsung menyeruak keheningan malam itu. Aku melambaikan tanganku sebelum Kak Fian benar-benar meninggalkan rumahku.
Bukannya membalas lambaian tanganku, Kak Fian justru membuka kaca helmnya.
"Jangan lupa ya. Minggu"
Paru-paruku baru terisi setengah saat aku akan menjawab ucapannya, namun Kak Fian dan motornya sudah melesat terlebih dahulu menyisakan senyuman di wajahku. Aku akan segera masuk rumah dan menikmati bakso dari pujaan hati. Walau sebenarnya aku tidak tega memakannya.
Baru saja aku sampai di teras ketika kulihat ada baju putih melayang di depan pagar rumahku. Oh, bukan melayang. Arka. Entahlah kapan dia tiba, aku tidak tahu.
"Itu tadi Kak Fian? Lanjut juga lo ternyata."
"Emangnya hubungan lo? Selalu kandas." Balasku.
"Bacot."
Langkahku pendek-pendek dan setengah hati menuju pagar. Tidak nafsu aku melihat wajah Arka. Hanya akan menghancurkan suasana hatiku yang sedang berbunga-bunga.
"Maaf lama, Arka masih nambah." Gaby meninggalkan motornya. Sudah diparkir tentunya.
"Hehehe." Aku cengengesan sambil mengangkat bungkusan bakso dari Kak Fian sebelum Gaby menyerahkan bungkusan kresek yang dibawanya.
"Lo nggak tau diri banget ye. Terus buat apa lo nitip bakso ke Gaby?"
"Kok lo yang sewot."
"Kan Gaby belinya bareng gue. Lagian lo mau aja diperbudak sama nih orang, Gab."
"Dari Kak Fian?" Suara Gaby terdengar kaku di telingaku. Kalau raut wajahnya datar sih, itu sudah biasa. Yang aku tahu Gaby hanya punya dua ekspresi yaitu datar dan tersenyum.
"Iya. Ya maaf, gue juga nggak nyangka dia tiba-tiba dia dateng gitu bawain ini."
"Terus lo seneng?" Arka yang menjawab.
"Ya masa gue marah. Aneh lo, Raka."
"Lo ngomong Raka lagi gue sumpahin Bu Tutuk salah manggil nama lo juga."
Bu Tutuk, guru sejarah yang berusia lebih dari setengah abad. Suaranya merdu bagai seorang ibu yang meninabobokan anaknya. Ya. Pelajarannya membosankan. Ralat. Pelajarannya amat membosankan.
Di samping pelajarannya yang membosankan, beliau juga sering salah memanggil nama. Arka yang paling sering. Dan dia yang paling tidak terima. Pasalnya dia sering salah dipanggil Raka. Sedangkan Raka adalah nama anak kelas sepuluh yang menurut pendapat Arka nih anak nggak banget buat disama-samain sama gue.
"Berisik lo. Rumah orang ini." Gaby menyodorkan bakso yang dibelinya atas permintaan Via seraya berkata, "udah, nggak masalah. Ini tetep buat lo."
"Gue pulang ya, Vi."
"Sorry, Gab."
"San—"
"Tetep bayar lo," tukas Arka.
"Nggak usah, ambil aja." Gaby menarik tangan Arka agar segera angkat kaki dari rumah Via. Kalau tidak begitu sampai subuh pun mereka masih adu mulut.
"Pulang dulu ya," pamit Gaby sekali lagi.
"Makasih Gaby!" teriakku dari pelataran. Gaby hanya mengangguk.
Berbeda dengan reaksi Gaby yang biasa saja setelah tau bahwa Via sudah mendapatkan bakso, Arka lebih meledak-ledak. Mulutnya mulai tadi tidak berhenti mengeluarkan komentar. Ia hanya berhenti sebentar saat menarik napas, itu pun jarang.
Gaby tidak berniat menanggapi ocehan Arka. Ia justru bergegas menyalakan motornya.
"Tidak perlu bersedih, brother. Lo pasti menang lawan si kapten itu. Makanya lo harus menjadi cowok yang aktif." Arka menepuk pundak Gaby sambil menatapnya penuh simpati.
"Lo kalo malem suka ngelantur dah."
"Cinta kalo dipendam jadi jerawat loh."
"Kalo lo nggak cepet naik gue tinggal nih."
"Sabar bosqu," jawab Arka. Ia segera naik ke atas motor sebelum Gaby benar-benar meninggalkannya.
Di ujung motor Gaby berbelok ke arah ke kanan. Setelahnya kecepatan motor yang awalnya biasa saja meningkat drastis.
Tanpa diminta Arka membuka percakapan. Padahal biasanya, saat naik motor bersama Gaby dalam kecepatan di atas rata-rata, Arka diam saja. Lebih tepatnya dia akan sok menilai. Lalu ketika sampai di tempat tujuan ia akan menyombongkan dirinya bahwa ia bisa melebihi Gaby.
"Gue cuma mau ngingetin, kita ini udah kenal tujuh belas tahun lebih."
"Kita saudara kembar, bodoh."
"Jadi gue tau kalo lo lagi jatuh cinta."
Motor berhenti mendadak hingga menimbulkan decitan yang memekakan telinga.
"Turun."
"Nggak mau." Arka justru memeluk pinggang Gaby dari belakang.
"Ka, geli."
"Jangan turunin aku di sini, bang."
"Lepas nggak. Gue teriak begal nih."
"Mana ada begal yang mesra seperti kita." Pelukan Arka semakin erat. Ia menyandarkan kepalanya di punggung Gaby. Sedangkan Gaby mati-matian berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan saudara kembarnya yang tidak waas itu.
"Eh, Ka, lu jangan sok iye deh. Ntar gue gampar mulut lu kalo berani ama gue. Yeee, bikin gue sensi deh. Gue tampol lu ye."
___________________________________
A/N :
Halo ini spesial 2k readers loh!
Norak sih dikit-dikit dirayain
Tapi kan suka suka ya. Aku mau selalu ngasih yang spesial untuk kalian pembacaku yang spesial :))
Ciaaa. WWkwkwkwkwk.
Makasih banyak pokoknya
Sampai jumpa di chapter selanjutnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top