[14] Hitam Putih

Cahaya bulan malam ini terang. Cukup terang untuk menerangi hatiku yang sedang redup. Angin memelukku erat seakan lama tak berjumpa.

Kalimat-kalimat beterbangan di kepalaku. Lewat begitu saja tanpa permisi. Bahkan ada yang mampir cukup lama tanpa tahu sopan santun. Menyusup masuk untuk bermalam.

Lantunan lagu bertempo lambat yang hanya dapat kudengar sendiri mengalun di telingaku. Beradu kekuatan dengan kalimat yang menyerang batinku.

Mengapa ada sang hitam bila putih menyenangkan?

Ya. Mengapa harus harus ada sang hitam kalau putih menyenangkan. Aku segera membuka kunci telepon genggam milikku.

"Kenapa, Vi?" suara bariton menyahut dari seberang telepon.

"Temenin keluar yuk?"

"Hmm..." Gaby memberi jeda sebentar untuk menjawab tawaranku. "Sorry."

"Gue yang sorry. Gue lupa kalau lo nggak mau diganggu waktu hari sekolah. Maaf ya."

Padahal aku akan bawa banyak cerita, Gab.

Aku merutuki kebodohanku yang kelewat batas. Bukankah Gaby sudah berkali-kali menolak ajakanku untuk keluar saat hari sekolah. Kenapa pula aku selalu lupa.

Getaran halus yang konstan mengusikku yang sedang menikmati hitamnya langit. Menatap bintang yang sedang unjuk diri. Berusaha mencari kebahagiaan seperti saat kecil. Bertahun-tahun yang lalu dapat melihat bintang di langit saja rasanya bahagia sekali.

Kenapa begitu menginjak masa di mana orang-orang mengatakan bahwa ini masa yang paling indah justru amat sulit menjadi bahagia.

***

Sekuat-kuatnya keinginanku agar pagi datang lebih lambat, nyatanya sang surya tak peduli.

Waktu belajarku semalam terbuang sia-sia dengan adegan dramatis berdiri di balkon sambil bergalau ria. Akibatnya aku baru memulai belajar menjelang tengah malam dengan kelopak mata yang mulai turun. Ujung-ujungnya mataku sempurna tertutup. Padahal hari ini aku ulangan.

"Aduh, gimana ini gue nggak belajar. Semalem gue nonton youtube."

Begitu aku menjatuhkan pantatku di kursi kayu yang penuh coretan ini, keluhan cewek di sebelahku ini langsung menusuk kupingku. Melza. Namun setidaknya aku bersyukur karena ada yang sama denganku.

Sama-sama tidak belajar.

"Sama. Gue juga nggak belajar. Gimana ini," sahutku.

Aku berkata jujur. Sempat memang membaca beberapa paragraf, tapi apalah artinya kalau yang kubaca itu hanya paragraf pembuka.

"Bohong!"

"Beneran."

"Lo pasti sok bilang nggak belajar biar gue tenang-tenang aja kan?"

"Apasih? Gue beneran nggak belajar."

"Via kan udah pinter. Nggak usah belajar," sahut Anna.

"Gue nggak belajar. Beneran. Cuma baca awal-awalnya."

"Alah bilang nggak belajar tapi nanti dapet seratus. Lo mau ngejatuhin kita kan? Biar kita nggak belajar juga, biar lo doang yang dapet nilai bagus."

Aku mendengus kesal. Pemikiran dari mana itu? Aku bahkan tak pernah berpikir bisa seperti itu. Melza sedang menuangkan minyak tanah dalam api.

"Wah, jadi gitu ya. Jangan percaya guys kalau Via bilang nggak belajar." Beberapa teman di sekitar mulai menimpali. Bersahut-sahutan memojakkanku seakan aku telah melakukan kesalahan fatal.

"Iya soalnya nggak belajarnya karena udah bisa."

"Pembohong!"

"Gue nggak percaya lagi. Licik lo, Vi."

Begitu saja terus setiap akan ulangan. Entah mereka bercanda atau serius yang jelas mereka berhasil membuatku naik darah.

"Ya emang bener Vi, lo nggak usah belajar. Belajar nggak belajar lo tetep kena remidial."

Arka berkata dengan sedikit berteriak dari menjanya. Seharusnya aku marah mendengar nada merendahkan itu, tapi kalau dipikir lagi itu memang benar. Aku, Via Adara, selalu payah dalam pelajaran biologi.

Diam-diam aku jadi lebih suka diremehkan daripada disanjung.

***

Bukan sekali dua kali aku singgah di rumah ini. Baik diminta atau tidak aku sudah biasa datang ke sini. Kadang hanya sekedar menumpang wifi atau belajar bersama.

"Inget loh, datang tak dijemput pulang tak diantar ya."

"Kalo hujan anterin dong."

"Ntar motor gue kehujanan. Kalo dia sakit gimana?"

Aku hanya meringis menanggapi lawakan orang dihadapanku. Gaby.

Aku tahu betul Gaby. Saat dimintai tolong alasannya selalu bermacam-macam, tapi akhirnya ia selalu menolong. Bahkan ketika tidak diminta ia tetap membantu.

Kadang aku merasa tidak enak.

Aku meletakkan secangkir teh hangat di atas meja.

"Arka jarang di rumah ya?"

"Dia ekskul biasanya. Kalau nggak ya paling nongkrong sama temennya."

"Temen-temen lo pernah ke sini nggak?"

"Pernah, tapi lebih sering gue sih yang ke rumah temen gue."

Aku mengangguk-angguk.

"Lo sendiri?"

"Apa?"

"Lo sama sahabat lo. Kumpul di mana?"

"Sahabat ya?"

"Lo punya kan?"

"Kalau yang lo maksud sahabat itu temen deket. Gue punya. Banyak. Sering kok main ke rumah. Seru juga orangnya."

"Kalau yang lo maksud sahabat itu adalah teman yang selalu mengerti kita dalam suka ataupun duka kayak yang ada di film-film gitu... Gue nggak punya," lanjutku.

Gaby menautkan kedua alisnya. Ditatapnya wajahku lumayan lama.

"Lo lagi ada masalah?"

"Nggak kok. Gini. Lo pernah nggak sih ngerasa lo nggak cocok sama semua orang di lingkungan lo yang sekarang?"

Gaby menghentikan semua aktivitasnya. Menyimak setiap kata yang kuucapkan.

Gaby selalu menghargai apa pun yang kuceritakan. Walaupun kebanyakan ceritaku ini tidak penting, ia selalu mendengarkan. Betapa beruntungnya Arka mempunyai saudara sebaik ini. Namun selanjutnya aku juga berpikir, betapa apesnya Gaby mempunyai saudara seperti Arka.

"Gue ngerasa nggak punya temen yang bener-bener 'click' sama gue. Mereka emang deket sama gue, tapi cuma di luarnya. Ngerti nggak sih lo? Gue susah ngejelasinnya."

"Bermuka dua maksudnya?"

Kuhela napas sekali lagi begitu melihat kerutan di dahi Gaby. Cowok pasti lebih susah mengerti. Sudahlah, mungkin aku saja yang terlalu bawa perasaan.

"Udah, udah. Bahasnya kapan-kapan aja ya, gue ceritain sedetail mungkin." Aku mengibaskan tanganku untuk membuyarkan konsentrasi Gaby yang sejak tadi mengamatiku.

"Sekarang... Lo ajarin gue."

Sebagian isi tasku sudah berpindah ke atas meja kayu yang kokoh. Terdapat buku setebal kurang lebih lima sentimeter dan beberapa buku tulis yang sudah banyak tekukan di ujungnya.

"Yaudah. Tapi kalau mau cerita ke gue, gue nggak keberatan kok. Masalah jadi lebih ringan kalau ditanggung bersama kan? Lagian kebanyakan sedih itu nggak baik loh, apalagi kalau disimpan sendiri."

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pernyataan Gaby. Ada perasaan aneh yang menelisik.

Malu.

"Kimia lagi? Tugas? Oya, hasil ulangan yang waktu itu gimana?" tanya Gaby yang kubalas dengan acungan jempol.

"Mantab. Gue bilang juga apa, lo pasti bisa."

"Gue dapet nilai enam. Mantab-mantab gigi lo."

"Lah? Kok bisa? Duh, parah nih lo. Kan gue udah ajarin dari jauh-jauh hari. "

"Nggak usah shock deh, kayak baru pertama kali tahu gue dapet segitu."

Ya. Selain biologi, aku juga selalu remidi pada mata pelajaran kimia. Matematika pun lumayan sering remidi. Terserah kalau kalian mau bilang aku bodoh karena aku pikir hal itu memang benar.

Tapi kalian percaya tidak kalau aku memberitahu kalian sesuatu?

Aku pernah masuk peringkat sepuluh besar nilai UN tertinggi. Tanpa kunci.

Jadi aku ini pintar atau bodoh?

Oh.

Aku tahu.

Mungkin aku hanya beruntung.

___________________________________

Marhaban Ya Ramadhan

Mohon maaf kalau gak ada salah ya :)))

Gadeng. Heheh.

Mohon maaf kalau ada salah salah kata, salah perbuatan, salah ketik alias typo, salah waktu update alias ngaret.

Pokoknya mohon maaf.

Jangan batal ya puasa hari pertamanya.

Yang suka ngeliatin cogan jangan sampe ngences. Yang pacaran tobat dulu. Yang suka nonton bokep libur dulu. wkwkwk.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top