[ 13 ] Teman Baru

Gerakan tanganku terhenti mengancingkan kancing baju terakhirku begitu mendengar telepon genggamku berbunyi.

"Halo. Kenapa, Ghin?"

"Via, kok gue mager ya? Nggak jadi pergi deh."

"Yah, jadi dong. Gue udah siap ini."

"Gue rada pusing juga. Maaf ya?"

"Yaudah deh. Gws, Ghina."

"Thankyou Viaa. Maaf ya."

"Iya iya."

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur. Munafik kalau bilang aku tidak kesal karena batal pergi. Bukan sekali dua kali Ghina berlaku seperti ini, untung saja Ghina teman mengobrol yang seru. Kalau tidak, mungkin aku sudah mulai dulu tidak mau lagi diajak pergi olehnya.

Aku duduk di tepi tempat tidurku. Berpikir dua kali untuk mengganti bajuku dengan baju rumah. Mengingat perjuanganku menyetrika baju ini dengan terburu-buru tadi, rasanya langsung mengganti baju bukan hal yang tepat. Aku tidak mau perjuanganku berujung sia-sia.

Aku menggulirkan daftar kontak yang ada di layar telepon genggamku. Meneliti satu-satu siapa yang sekiranya mau diajak pergi. Sejenak jariku berhenti diurutan kontak huruf g. Kupencet nama Gaby dengan ragu.

Aku berhenti mengetik ketika sudah mencapai kata ketiga. Sebagai gantinya aku menekan tombol delete untuk menghapus semua kalimat itu.

Aku sedang ingin quality time bersama teman perempuan. Untuk kesekian kalinya jariku menggeser-geser layar telepon genggamku.

Tidak ada yang bisa diajak.

Sendirian kedengaran tidak terlalu menyeramkan.

***

Aroma kopi yang amat kuat menyita perhatianku. Setelah puas berkeliling dan membeli beberapa barang menarik, kuikuti saja kakiku yang mengarah ke sumber aroma.

Lokasi pojok selalu menjadi kesukaanku jika berada di tempat nongkrong sendirian. Alasannya sederhana, agar bisa lebih santai dan terhindar dari gerombolan remaja lain.

Sebagai seorang remaja, apalagi wanita, aku tahu persis bahwa mengomentari pengunjung lain selalu termasuk dalam list topik bahasan mereka.

Dari ujung mataku aku bisa melihat sepasang sepatu berhenti tepat di sebelahku. "Eh, ada Via. Sendirian aja?"

Aku menyesal telah mendongakkan kepalaku dan menatap makhluk paling menyebalkan di muka bumi.

"Maaf siapa ya?" ujarku cuek sambil kembali melanjutkan aktivitas.

"Arkavia Putra Nugraha." Arka mengulurkan tangan layaknya orang yang akan berkenalan pertama kali. Tentu saja kuacuhkan. "Gue sama temen-temen gue duduk sini boleh? Di depan penuh."

"Nggak."

"Ayolah, Vi. Kosong kan ini? Dari pada lo sendirian mending bareng temen-temen gue."

"Nggak."

"Janji deh nggak bakal ganggu."

"Nggak."

"Lo nggak bakal nye-"

"Nggak."

"Duduk di mana nih, Ka? Penuh ya?" Hampir saja aku terlonjak dari tempat dudukku. Aku kenal betul suara ini. Sudah berhari-hari suara ini menggema di telingaku sejak kejadian hari itu.

Benar saja. Makhluk Tuhan yang paling indah sedang membawa segelas kopi. Ia kebingungan mencari tempat duduk.

"Di sini sih ada buat tiga orang..." Aku tahu Arka sengaja menggantung kalimatnya. Tatapannya seolah berbicara tuh kan pasti lo nyesel tadi nolak gue.

"Via?" Oke. Kurasa Kak Fian baru menyadari keberadaanku di sini. "Gue gabung di sini boleh nggak?"

Boleh-boleh aja, tapi jangan sama Arka.

"Boleh lah. Yakali nggak boleh. Emangnya ini kafe nenek gue?" Aku segera meraih tas belanjaku agar tersedia tiga kursi untuk diduduki.

"Thankyou, Vi." Kak Fian duduk dihadapanku. "Kita nggak ganggu nih?"

"Enggak kok. Santai aja."

"Ternyata kafe ini ganti kepemilikannya cepet ya?" bisik Arka. Arka menduduki kursi di sebelahku. Kukira ia akan duduk di sebelah Kak Fian.

"Maksudnya?"

"Waktu gue yang ijin buat duduk sini, yang punya kafe ini masih nenek lo padahal," sindir Arka. "Orang ganteng mah beda." Tambahnya dengan suara yang pelan.

"Oh ya jelas. Itu lo tau."

Aku memang sedang memainkan telepon genggam mulai tadi, tapi sesungguhnya aku menyimak pembicaraan Arka dan kawan-kawannya. Cukup seru, tapi aku tidak berminat bergabung. Hanya terkadang angkat suara kalau sedang dimintai pendapat.

Aku tahu itu hanya basa-basi. Mungkin mereka merasa tidak enak kalau asik sendiri. Pokoknya selama wi-fi di sini masih menyala dan bisa digunakan, aku tidak keberatan mereka tidak mengacuhkanku.

"Vi, kok lo sendirian aja?" Kak Fian mencoba membuka pembicaraan denganku.

"Dia emang forever alone," celetuk Arka.

"Emang ngapain di sini? Atau lagi nunggu temen?" tanya Kak Fian lagi.

"Paling juga numpang wifi." Lagi-lagi bukan aku yang menjawab. Arka. Tak ketinggalan dengan wajah menyebalkannya.

Aku menginjak kaki Arka lalu berkata, "Yang ditanya gue." Kak Fian hanya tertawa. Namun dapat kulihat ia sedang mengirimkan kode ke teman di sebelahnya.

"Ka, mending lo anterin gue beli barangnya sekarang deh. Lo kan yang tau tempatnya." Adi berdiri dari kursinya mengajak Arka pergi.

"Yoi. Duluan ya, Kak," ucap Arka seraya berdiri. "Via, makasih tempat duduknya ya." Arka memberi tekanan pada setiap katanya seperti memiliki maksud lain.

***

Alunan musik pop masa kini tak henti-hentinya berputar. Tawa berderai di beberapa titik. Jika diteliti ada suara isakan yang bersumber di salah satu meja. Ada pula yang duduk berhadapan tapi punya dunia masing-masing. Tapi yang paling kusuka adalah aroma masakan yang menggugah selera.

Baru beberapa menit yang lalu aku berada di suatu pusat perbelanjaan, sekarang aku duduk manis di sebuah kafe. Dikelilingi orang-orang asing. Asing bagiku, tidak bagi Kak Fian.

"Guys, kenalin ini Via temen gue," ucap Kak Fian. Ia meletakkan tangannya di pundakku. Sontak jantung berdetak lebih cepat. Segera aku menarik napas untuk menenangkan diriku. Bisa habis aku kalau ketahuan grogi di dekat Kak Fian di depan teman-temannya.

"Temen nih?" sahut cowok dengan potongan paling trendi di era sekarang.

"Temen apa temen?"

"Oh cuma temen."

"Temen lu leh ugha." Kini asal suara itu bersumber dari sebelah Kak Fian. Cowok berkulit putih dengan kumis tipis di atas bibirnya.

"Temen lo, temen kita semua."

"Temen lo buat gue ya."

Suara teman-teman Kak Fian terus bersahut-sahutan menanggapi kalimat Kak Fian tadi. Padahal hanya satu kalimat.

"Wih, rame banget. Gue ketinggalan berita apa nih?" Seorang cowok tiba-tiba bergabung bersama kami tanpa basa basi.

Sepertinya ia teman Kak Fian juga. Banyak juga temannya. Sejenak aku merasa bodoh berpikiran seperti itu.

Iya lah, emangnya gue nggak punya temen.

"Yah, Si Molor baru dateng."

"Kebiasaan dah."

"Pasti belum mandi."

"Pantesan. Gue kira ada bangke tikus."

"Wkwkwk. Ternyata apaan?"

"Ternyata bau kaos kakinya tikus," sahut cowok bertubuh besar dengan kaos warna merah jambu. Di tangannya melingkar sebuah jam tangan silver yang membuatku cukup geli melihat penampilannya mulai tadi.

"Ha."

"Ha."

"Ha."

"Itu ngelawak?"

"Boleh juga sih. Lucu deh, lucu."

"Agak garing sih. Tapi karena lo temen gue, lucu kok."

"Ha. Ha. Ha."

"Lol."

"Selamat ya kamu lucu. Tapi lain kali tingkatkan ya."

"Tai," umpat Si Merah Jambu.

Walaupun suasana di sini menyenangkan, aku masih belum terbiasa. Dari tadi aku hanya diam memperhatikan sambil beberapa kali tersenyum.

Kak Fian melihat ke arahku kemudian tertawa pelan. Mungkin ia menyadari bahwa aku merasa kikuk berada di antara mereka. "Maaf ya, temen gue emang anarkis. Tapi pada seru kok," bisiknya.

Kak Fian mengambil alih kendali. "Eh, diem dulu dong. Pada mau gue kenalin ke Via nggak?"

Salah satu teman Kak Fian langsung berdiri dan menjabat tanganku. "Hai, kenalin gue Vano." Setelah pembukaan itu, teman-teman Kak Fian yang lain ikut menyalamiku dan memperkenalkan diri.

"Gue Ethan."

"Gue rama. Kalo lo mau jadi shinta boleh, kok." Tawaku hampir saja meledak ketika Si Merah Jambu berdiri dan memperkenalkan dirinya.

"Gue Faisal."

"Gue hafiz."

"Gue Galen."

"Gue kayaknya pernah ketemu lo," ujar cowok dengan kawat gigi di dalam mulutnya.

Dia mengamatiku dari atas sampai bawah, begitu juga denganku.

"AHA! GUE INGET! LO INGET NGGAK SAMA GUE? KITA UDAH KENALAN LOH!" ia berseru histeris.

Aku hanya meringis sambil menggaruk-garuk kepalaku. Aku tidak ingat apa apa tentang cowok ini. Aku bahkan merasa baru pertama kali melihatnya.

"Lo pasti inget kalo gue bilang gini." Ia memberi jeda ucapannya sambil merapikan bajunya. "Kinan Adhitama Difian. Bisa dipanggil Kinan, Adi, Tama, Difi, Fian. Sesuka lo aja."

"Oh..."

"Inget kan?"

"Em... Nggak juga sih."

"Alah, Tam, kebanyakan ngarang cerita lo."

"Modus mulu idup lo."

"Sok sok pernah kenal lagi."

"Kita beneran pernah ketemu. Kok pada nggak percaya sih? Lo juga, kok bisa nggak inget sama gue?"

"Maaf. Hehe." Aku hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaannya.

Setelah perkenalan singkat tadi aku jadi merasa lebih santai. Perlahan-lahan aku mulai bisa mengikuti alur perbincangan. Ikut bercanda bersama mereka. Saling mengejek tapi tidak ada yang tersinggung. Tipe teman yang menyenangkan.

***

"Fian sama Via makin deket."

"Lah?"

"I know, you know"

"I hope you'll remember how we danced~"

"Yaelah, malah nyanyi. Gue lagi serius."

"Terus kalau Via deket sama Fian kenapa?"

"Bodoh. Pokoknya gue udah ngasih tau lo sebelumnya. Selanjutnya terserah lo."

___________________________________

A/N :

Wkwkwkwk telat apdet lagi

Gak tau kenapa akhir-akhir ini aku males banget nulis.

Yang selalu nunggu kelanjutannya cerita ini angkat tangan dong!

Biar bisa jadi penyemangat. Biar aku gak males update lagi. Biar habis ukk aku langsung josss updatenya.

Btw, aku telat banget gak sih baru jatuh cinta sama webtoon. Iya. Aku males nulis gara-gara kecanduan baca webtoon. Wkwkwk. Rekomendasi webtoon bagus dong.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top