[ 11 ] Kejutan
Berkali-kali aku membasuh wajahku. Sebisa mungkin terlihat segar seperti sudah mandi. Air liur yang menganak sungai kubersihkan sebersih mungkin.
"Lama lo. Cepetan!" teriak Vio, penyebabku harus bangun sepagi ini.
"Yaudah tinggal aja. Gue malah seneng." Aku kembali menadahi air di tanganku.
Jendela bening di setiap rumah masih terhalang oleh gorden. Lampu di jalanan juga masih banyak yang menyala. Sama dengan semangat Vio yang menyala-nyala untuk mengajakku lari pagi.
Kudengar pintu kamar mandi diketuk.
"Mau cuci muka sampe tandon di rumah mengering juga muka lo gitu gitu aja. Buruan."
"Saya cuma mau muka saya tidak sebuluk anda ya, mas." Aku membuka pintu kamar mandi tepat ketika Vio akan mengetuknya lagi.
"Gue buluk? Gue itu tampan. Tampan dan berani." Vio berpose di meja belajarku. Menaikkan satu tangannya sambil menaik turunkan alisnya. Sedangkan kakinya asyik bergoyang-goyang.
Aku lebih memilih merenggangkan badanku terlebih dahulu dari pada melihat Vio yang sudah berpose ala foto model. Menggelikan.
"Yuk!" seruku begitu aku sudah siap untuk berlari.
Keluarga-keluarga berjalan beriringan. Sepasang suami istri berkeliling sambil menggandeng buah cintanya. Terkadang duduk santai sambil memantau pergerakan anaknya agar tidak hilang di tengah keramaian arena car free day.
Pemuda pemudi pun tak mau kalah, bergerombol menggunakan kaos dan olah raga. Lengkap dengan running shoes. Ada yang benar-benar berlari, ada sudah selesai berlari, ada juga yang hanya berjalan mengitari jalur penjual makanan ringan.
Aku baru menyadari sudah lama sekali aku tak kemari. Semenjak sekolah menjadi semakin sibuk, aku lebih memilih menghabiskan minggu pagiku dengan bermalas malasan di kasur.
Baru satu putaran rasanya aku sudah mau mati. Tak mudah menyamai langkah kaki-kaki panjang milik Vio. Belum lagi aku jarang berolahraga. Hanya sesekali, itu pun kalau dipaksa. Seperti sekarang.
Aku duduk di pinggiran jalan sambil memulihkan napasku. "Payah. Baru juga satu putaran," ujar Vio sambil lari di tempat.
"Makanya Kak Vio jangan cepet cepet larinya." Ucapanku sepertinya tidak diperhatikan. Matanya mulai tadi mengarah ke titik lain, bukan padaku.
"Vi, lo lari sendiri ya. Pulang sendiri juga. Babay!" Sejurus kemudian Vio sudah pergi dari depanku. Kuikuti kemana arah kakinya berjalan. Di dekat tikungan ia berhenti.
Aku menghela napas.
Pacarnya.
"Dasar ingus piranha, kalo udah ketemu pacar aja adeknya ditinggal."
Dengan ketidakberadaan Vio disampingku, aku jadi lebih lambat berjalan. Tujuan muliaku ke cfd untuk lari pagi kini berganti. Wisata kuliner. Tapi bagiku itu tetap mulia, kan untuk menyejahterakan para pedagang jajanan.
"Pak, telur gulungnya 6000 ya." Ini adalah menu keduaku.
"Banyak amat? Percuma olah raga," sambar orang di sebelahku. Cowok dalam balutan jersey biru itu nyengir sehingga menampakkan giginya yang terbehel.
Aku sama sekali belum pernah melihat wajah orang ini. Untuk menghargainya aku hanya tersenyum tipis.
"Telur gulung 4000, Pak. Yang pake telur puyuh ya," pesan pria itu.
Aku menyodorkan uang sepuluh ribuan. "Ini, Pak."
"Wah, belum ada kembaliannya. Masnya..."
"Yah, uang saya malah dua puluh ribu."
Aku terdiam sejenak. "Yasudah pak, empat ribunya buat bayarin dia." Kuserahkan lagi uang sepuluh ribu yang tadi lalu langsung berlalu.
"Eh, bentar, gue traktir makanan lain yuk." Cowok itu menghalangiku. "Kinan Adhitama Difian. Bisa dipanggil Kinan, Adi, Tama, Difi, Fian. Sesuka lo aja."
"Tama," ucapku sambil tersenyum. "Duluan ya."
Aku berjalan menjauh tanpa ada niat sedikit pun menoleh ke belakang. Melihat si behel itu. Oke, kini aku tahu namanya Tama. Tapi siapa peduli.
Bukannya aku sombong atau apa tapi aku malas saja berbasa basi dengan orang yang tidak kukenal.
Aku membawa kakiku melangkah mendekati tempat teduh. Masa bodoh dengan tatapan orang orang yang melihatku duduk sendirian di trotoar. Toh tidak ada yang melarang duduk di sini. Menikmati sebungkus telur gulung seorang diri.
Tiba-tiba handphone yang berada di saku celanaku bergetar.
Keanofian Akbari added you as friend
Siapa pula Keanofian Akbari. Kenapa hari ini banyak orang gak gue kenal.
"Keanofian... Akbari... Akbar? Nggak kenal." Gumamku sambil menciumi bau saos. "Bari? Siapa juga."
Tusuk telur gulung pertama mulai kukeluarkan. Gigitan pertama membuatku melayang. Rasanya nikmat sekali. Sayangnya mahal. Bagiku.
"Keanofian. Keano... Fian..." Sejenak kuhentikan aktivitas memuja kenikmatan telur gulung.
"Anjir! Uhuk... Uhuk..." Baru sedetik yang lalu aku memuja muja kenikmatan telur gulung ini. Sekarang aku menyumpahinya karena membuatku tersedak.
"Gila! Ini Kak Fian!" jeritku tertahan.
Kubuka foto profil Keanofian Akbari. Gambar pemain basket. Jangan tanya siapa karena aku juga tidak tahu.
Kenapa sih cowok yang bener-bener ganteng itu misterius.
Tak apa lah kalau foto profil yang hanya menampilkan pemain basket, toh ini tetap Kak Fian. Kalau nantinya chatting juga yang membalas kan Kak Fian, bukan pemain basket yang tidak kukenal itu.
Sebentar. Sampai detik ini saja belum ada tanda-tanda pesan masuk dari Kak Fian. Bagaimana bisa aku berkhayal sejauh itu.
***
Begitu bel istirahat berbunyi, semua siswa berlari menuju kantin. Tak peduli susunan bangku masih berantakan setelah digunakan untuk duduk berkelompok tadi. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar menjadi orang pertama yang tiba di kantin supaya tidak perlu mengantri terlalu lama.
Sama halnya denganku. Berhubung aku hanya ingin membeli sebotol air mineral. Jadi kupercepat saja langkahku. Setidaknya aku bisa kembali ke kelas dengan cepat.
Arka berjalan tertatih-tatih menuju mejanya yang terletak di barisan sebelahku. Kelihatannya kakinya belum sembuh total. Kulirik deret sebelah, mejanya ada tapi kursinya hilang entah ke mana.
Berhubung aku masih punya hati, kubantu saja Arka yang sedang kesusahan. Kudorong kursi terdekat yang masih bisa kujangkau menuju meja Arka. Hitung-hitung ucapan terima kasih karena hari ini Arka tidak menggangguku. Setidaknya sejauh ini begitu.
"Tumben lo baik?" Arka menyipitkan matanya. Menatapku lebih teliti. "Ada maunya ya?"
"Sama-sama," jawabku ketus.
"Iya, iya, makasih."
"Eh!" ucapku dan Arka bersamaan. "Lo dulu deh," sambungku sebelum keadaan berubah menjadi canggung.
"Lo dulu aja."
"Yaudah gue dulu."
"Eh, enggak deh, gue dulu."
"Lo kan nyuruh gue dulu."
"Kan gue berubah pikiran. Pokoknya gue dulu."
"Keanofian Akbari itu Kak Fian?" Aku langsung melontarkan pertanyaanku sebelum ada kesepakatan siapa yang berbicara duluan.
"Kan gue dulu," tolak Arka.
"Jawab aja buruan. Gue udah telanjur ngomong juga," tolakku tak mau kalah.
"Itu sengaja namanya," jawab Arka. "Iya. Keanofian Akbari itu Kak Fian. Dia nge-add lo ya?"
"Kok tau sih?" Dapat kurasakan aliran energi dalam tubuhku melonjak. Kuubah posisi dudukku menjadi menyamping agar aku bisa melihat wajah Arka dengan jelas.
"Berterimakasihlah sama gue. Gue yang ngasih kontak lo." Arka membusungkan dadanya sambil menatapku penuh gaya.
"Lah? Kok lo nggak ijin ke gue dulu? Nggak sopan tau."
"Nggak sopan, tapi begitu di-add seneng. Lagian Kak Fian yang minta."
"Serius? Emang Kak Fian kenal gue?"
"Tau deh." Arka mengedikkan bahunya tak peduli.
"Tapi kok ngeadd doang nggak ngechat?" tanyaku sambil merapikan buku-buku yang berserakan. Tumpukan buku pelajaran mulai pagi telah memuhi lokerku. Sepertinya masih muat untuk beberapa buku lagi.
Semua barang yang ada di laci telah berpindah ke pangkuanku. Kuraba-raba seluruh sudut laciku untuk memastikan tidak ada barang yang tersisa hingga tanganku meraba sebuah benda berbentuk kotak. "Cokelat?"
"Ah! Gue sampe lupa. Tadi Kak Fian ke sini. Gue liat dia masukin barang ke laci lo." Arka memerhatikan kotak cokelat di tanganku dengan seksama. "Mungkin lo harus ngechat duluan."
Mataku hampir saja meloncat keluar kalau aku tidak segera menutup kelopak mataku. Jantungku berdebar mendengar perkataan Arka. Saking bahagianya aku tak bisa menahan cengiran konyol ini untuk pergi dari wajahku.
Akhirnya peristiwa ini tiba. Setelah sekian lama memerhatikan, kini ganti diperhatikan. Awalnya kukira hari ini tidak akan pernah ada.
"Emang nggak aneh kalau cewek ngechat duluan?" tanyaku malu-malu.
"Hari gini masih nanya kayak gitu. Ya enggak lah. Udah buruan chat. Kak Fian pasti udah nungguin. Dia pasti seneng banget."
"Chat nggak ya?" Aku menimang-nimang handphone di tangan kananku. "Gue harus ngechat gimana?"
"Norak lo. Ngechat biasa aja lah."
Via Adara : Makasih ya kak cokelatnya :)
"Udah?" Kubalas pertanyaan Arka dengan anggukan tanpa menoleh sedikitpun. Perhatianku fokus pada layar handphone digenggamanku. Berulang kali kubaca tulisan yang kukirim pada Kak Fian sambil tersenyum.
Saking fokusnya aku tidak menyadari bahwa di tempatnya Arka ikut tersenyum sambil bergumam, "Cinta emang bisa bikin bodoh."
***
Bibirku membentuk lengkungan sejak di sepulang sekolah. Lagu energik bertemakan cinta silih berganti menemaniku melewati hari. Sudah tak terhitung berapa kali aku menari-nari bahagia di depan cermin.
Perasan senang harus dibagikan. Seluruh dunia harus tahu.
Memanggil Gaby Nugraha...
"Gaby!!!"
"Halo! Lagi seneng ya?"
"Hehehe. Kok tau sih?"
"Lo ngomongnya menggebu-gebu gitu."
"Hehehe. Tadi gue nemu hadiah. Cokelat! Asal lo tau aja ya gue lagi ngidam cokelat," pekikku girang sekaligus bangga.
"Cokelat?"
"Iya. Cokelat. Ditaruh di meja gue gitu. Sweet banget gak sih."
"Ngelawak? Kan waktu itu lo bilang pingin cokelat, apa sih itu namanya, yang lo tunjukin ke gue. Gue beliin. Tadi gue ke kelas lo tapi lo nggak ada. Ya gue titipin ke Arka buat masukin ke laci lo."
.....
"Vi?"
.....
"Vi, lo gak mati jantungan kan? Vi?"
"TAI LOOO!!!!!"
Aku menutup telponku. Kurasakan wajahku memanas. Bisa ditebak pasti wajahku memerah saat ini. Aku malu setengah mati. Bukan. Bukan malu pada Gaby.
Telepon genggamku bergetar.
Gaby Nugraha : Via
Gaby Nugraha : Lo marah sama gue?
Gaby Nugraha: Viiiii
Gaby Nugraha: Vi, lo udah gue beliin cokelat kok malah marah sih
Via Adara : Diem bacot.
Gaby Nugraha: Yah, gue dibilang bacot
Gaby Nugraha: Hatiku terluka... :(
Via Adara : Gue bacok juga lo
Gaby Nugraha: Kenapa sih vii? (read)
Jemariku menari dengan lincah mengetik sebuah kata kunci di kolom pencarian, Cara membatalkan pesan di line.
Satu persatu web kubuka dengan sabar. Berharap menemukan jawaban. Tapi apa yang kudapat? Tidak Ada.
Aku jengkel setengah mati. Sudah membuka banyak sumber namun intinya sama semua. Tidak bisa.
Belum lagi beberapa artikel yang pembukaannya amat meyakinkan bahwa dalam artikel tersebut terdapat cara membatalkan pesan, namun ujung-ujungnya sama saja. Tidak bisa.
Rasanya aku ingin ditelan bumi sekarang juga.
"KAK, CARA BATALIN PESAN YANG UDAH DIKIRIM DI LINE GIMANA SIH??" teriakku dari kamarku. Kamarku dan Vio hanya berbatas tembok, jadi beginilah cara kami berkomunikasi kalau sedang malas bergerak.
"YA GAK BISALAH, AIH."
"AAAAAAAAAKU MAU MATI SAJA!!!!!!"
Kuketikkan sebuah pesan untuk Gaby dengan cepat.
Via Adara : Arka harus tanggung jawab.
Beberapa detik kemudian sebuah notifikasi muncul di layar hpku. Seluruh tubuhku menegang ketika membaca nama yang tertera. Kalau saja kondisinya berbeda, aku sudah pasti meloncat kegirangan.
Keanofian Akbari : Hai Via! Maaf baru buka
Keanofian Akbari : Coklat yang mana ya?
Sebuah pesan lain masuk ke hpku. Kini bukan dari Kak Fian.
Gaby Nugraha : Lo dihamilin Arka? (read)
Sungguh jawaban yang tidak berguna. Aku pun tak ada niat membalasnya. Sekarang yang jadi masalah adalah aku harus menjawab apa pada Kak Fian. Bagaimana mungkin aku tidak sadar kalau tadi Arka berbohong.
Cinta benar-benar berbahaya. Sekali kamu lengah, maka masuklah kamu dalam perangkap. Seperti aku.
____________________________________
A/N :
Hai hai hai! Apa kabar?
Maafkan tadi sempat ada kekeliruan
Chapter ini lumayan panjang loh. Special 1k readers. Aku gak nyangka loh. Serius. Bagiku 1k itu udah banyak banget. Hehe.
Makasih banyak semuaa :)
Semoga liburan kalian menyenangkan (bagi yang libur sih hehe), semoga urusan kalian dimudahkan, semoga sekolah kalian lancar, buat yang ujian semoga nilainya memuaskan ya, pokoknya apa yang kalian pingin aku doain supaya terwujud deh. Aamiin.
Satu lagi, semoga kalian tetep baca ceritaku ya. Kalo ada kritik dan saran bilang aja.
I love you guyssss!!!!!!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top