[ 10 ] Ilusi

Pantulan bola basket menggema ke seluruh ruangan. Gebukan drum yang memekakkan telinga turut meramaikan suasana sore ini. Bersahut-sahutan dengan teriakan histeris penonton wanita dengan backsound nyanyian yel-yel para suporter sejati dari masing-masing tim.

Aku tak ada bedanya dengan mereka. Melonjak kegirangan saat bola berhasil melewati ring dengan mulus. Di sebelahku Ghina berteriak liar memberi semangat untuk tim basket sekolah. Setelah gagalnya rencana hangout bersama kemarin, tiba-tiba tadi pagi Ghina mengajakku menonton basket berdua. Saat kutanya tentang deadline tugas miliknya, ia hanya mengedikkan bahu tak peduli. Begitulah Ghina, si maniak basket tapi tidak bisa bermain basket.

"Gils, Arka mantab juga mainnya." Ghina berkali-kali membenahi kuncir rambutnya yang sering melorot karena ia bergerak terlalu bersemangat.

"B aja," jawabku singkat. "Kok Kak Fian nggak main ya, Ghin?"

"Apa nyari gue?" Seorang pria berbadan tinggi dengan baju khas suporter tim basket sekolah kami berdiri di samping Ghina. Di belakangnya berdiri pula dua pria dengan baju yang sama.

"Eh, Fian? Lo kok ada di sini?" Ghina lah yang pertama kali menyadari bahwa itu Fian, teman kami.

"Najis. Bukan Fian elo." Aku bergidik geli. "Eh, bentar. Kok lo di sini? Katanya ada kerja kelompok?"

"Iya ya? Terus Juno katanya ada acara gak sih? Nanta? Kalian..." sambung Ghina.

"Oh gitu ya. Diajak jalan bareng kita banyak alasan. Eh ternyata malah jalan sendiri." Aku menatap Fian, Juno, dan Nanta satu-satu. Yang ditatap malah cengar-cengir.

"Eh, anu, gini, gue kerkelnya besok ternyata."

"Kalo gue... acaranya belum mulai. Iya, gitu, gue acaranya nanti malam," ucap Juno yang sempat tersendat. Pasti dia bingung mau alasan apa.

"Oh seperti itu. Ayo, Nanta mau alasan apa juga?"

"Gue... Eh, Vi, Kak Fian masuk lapangan, tuh!" Mataku langsung mengikuti arah yang ditunjuk Nanta.

Seketika pertandingan ini berubah tidak lagi membosankan. Kak Fian berlari-lari kecil dari pinggir lapangan.

Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Rambutnya bergoyang-goyang menambah keindahan. Kulit sawo matangnya menawan. Tidak terlalu gelap dan tidak terlalu putih, pas. Sungguh mahakarya yang luar biasa hebatnya. Lengan berototnya kembali melemparkan bola ke dalam ring.

Masuk.

Stadion langsung dipenuhi gegap gempita. Terompet ditiupkan berkali-kali tanpa aturan. Penabuh drum semakin brutal dalam memukul drum. Untuk mengimbangi irama yang telah tercipta, penonton pun menari heboh bak penonton bayaran. Bodohnya aku termasuk. Sebenarnya aku tidak seberapa suka menonton pertandingan olah raga. Tujuanku ke sini untuk memanjakan mataku. Memerhatikan Kak Fian sepuasnya tanpa harus merasa takut ketahuan.

Desahan kecewa penonton menyadarkanku dari lamunan. Di arena telah terbentuk lingkaran seperti mengerubungi sesuatu.

"Ada apa sih? Kan menang, kok ekspresinya pada gitu?"

"Lo nggak ngeliat apa barusan?" tanya Ghina. Langsungan kubalas dengan gelengan cepat.

"Pasti ngeliatin Kak Fian."

"Dari awal petandingan aja udah bawel nanyain Kak Fian."

"Kayak yang nggak tau Via aja lo pada."

"Nah! Eh, gue tadi nanya loh, itu ada apa kok pada ngumpul gitu?"

"Arka cedera kayaknya."

"Oh."

"Arka cedera, Vi! Lo nggak panik?" Juno mencoba menggodaku.

"Iya, Vi. Tolongin tuh Arka," timpal Nanta.

"Apaan coba. Mending gue ngeliatin Babang Fian. Udah, yuk, pulang. Udah selesai kan?"

"Lo pada bawa motor, Ghin, Vi?"

"Enggak. Gue nebeng lo ya, An."

"Gue sama Nanta sih sebenernya. Tapi enakan nganter lo ya, searah. Eh, gini, Juno sama Nanta, lo sama gue. Lo bareng siapa, Vi?"

"Gampang. Gue naik mobil."

"Wih, boleh bawa mobil lo sekarang?"

"Mobil biru."

"Taksi? Yaudah, gue duluan"

"Eh, tungguin gue dulu dong sampe dapet taksi." Kutahan lengan Ghina.

"Keburu hujan. Lo kan naik mobil." Kemudian mereka berempat lenyap dari hadapanku. Berjalan cepat menuju parkiran. Tinggal aku sendiri di bawah langit abu-abu.

Berkali-kali aku melihat jam tanganku. Baterai handphoneku sudah habis mulai tadi. Walaupun air hujan belum turun, tapi angin kencang sudah menyapa lebih dahulu. Kurapatkan jaketku agar lebih melekat pada kulitku. Menghindarkan tubuhku dari rasa dingin yang sudah mulai menyelinap.

Tak mudah untuk tersenyum saat teman-teman yang lewat dengan berbagai kendaraan menyapa. Otakku terus mendesak bibirku untuk meminta tolong. Namun hatiku memberi perlawanan, mengingat rumah mereka tidak searah denganku. Aku harus bersabar.

"Iya gue tunggu depan." Seseorang yang sibuk berbicara di telepon berhenti di sebelahku. Satu tangannya sibuk menggali isi tasnya seperti mencari harta karun. Aku mengamatinya dari atas sampai bawah. Sepertinya tidak asing. Entah aku harus senang atau malu, orang di sebelahku ini menoleh. Kak Fian.

Mataku beradu pandang dengannya beberapa saat sebelum akal sehatku menyadarkanku. Kutatap jalanan lengang di hadapanku berharap taxi segera datang. Hawa tidak lagi terasa dingin, semua menjadi panas. Terutama di bagian wajahku.

"Hai!"

Aku menoleh mencari sumber suara. Tak ada yang menatapku. Mungkin ini hanya halusinasi.

"Gue yang nyapa." Tanpa kusadari Kak Fian sudah berdiri menghadapku. "Kenalian gue Fian."

"Oh. Hai. Na..."

"Nama lo Via." Belum sempat aku menyebutkan namaku, Kak Fian sudah memotongnya. "Bener kan?"

Aku hanya bisa mengangguk. Dalam hati aku bersorak ke girangan. Diam-diam aku bersyukur taksi tidak segera datang. Aku rela harus kehujanan kalau bisa berbincang sedekat ini dengan Kak Fian.

"Gue sering keliatan lo, loh. Lo tau gue nggak?" tanya Kak Fian.

"Ah? Masa? Gue nggak tau. Gue cuma pernah keliatan Kak Fian sesekali sih."

Bohong!

Bagaimana mungkin aku tidak tahu dia. Padahal bagiku tiada hari tanpa melihat Kak Fian. Jelas saja Kak Fian sering melihatku. Aku memang sengaja lewat di daerah kelas dua belas demi melihatnya. Meski terkadang aku hanya bisa menyaksikannya berbincang di dalam kelas bersama teman-temannya. Bagiku itu sudah cukup. Aku sering lewat bukan untuk mencari perhatian, hanya ingin memuaskan hatiku saja. Apalagi kalau jam pelajaran sedang suntuk-suntuknya.

"Eh, pulang naik apa? Sebentar lagi hujan. Mau bareng gue?"

Nggak usah ditanya jelas mau lah. Bodo amat rumah kita nggak searah, orang lo sendiri yang menawarkan diri. Kalo gue sih iya iya aja. Kapan lagi coba berduaan sama lo.

"Boleh kalau nggak ngerepotin." Nyatanya hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari bibirku.

Aku melangkahkan kakiku.

Tin!!

"Kalau jalan lihat-lihat dong." Serang orang dibalik helm hitam. Sontak aku mundur kembali ke tempatku. Kak Fian menatapku dengan pandangan aneh.

"Maaf," jawabku sambil menunduk.

Susah payah aku menerina kenyataan bahwa yang tadi itu tidak nyata. Itu hanya angan-anganku yang terlewat batas.

Malu sekali rasanya.

Langit semakin kelam. Awan sudah mulai melepaskan lebih banyak titik-titik air tapi taksi kosong belum juga lewat.

"Kak, pulang dulu ya."

"Iya. Gws ya, Ka."

"Alah, ini biasa. Besok juga sembuh."

Diam-diam aku mendengarkan percakapan Kak Fian dengan entahlah siapa itu. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena aku tidak mau menoleh. Mengantisipasi agar tidak berimajinasi terlalu berlebihan lagi.

"Via?" Sebuah tepukan pelan mendarat di pundakku. "Nonton juga? Kok belum pulang?"

"Eh, Gaby?" Aku terheran-heran melihat Gaby di tempat seperti ini. "Iya nih, lagi nunggu taksi."

"Hmm.. Mau bareng gue aja nggak? Keburu hujan." Gaby membenarkan kerah bajunya yang sedikit tertarik.

Aku berpikir sejenak mendengar tawaran Gaby.

"Terus nih orang taruh mana?" Aku menunjuk Arka yang sedang dipapah oleh Gaby lengkap dengan kaos timnya.

"Lo ditebengin ngelunjak ya. Ya emang gue nggak boleh ikut?" jawab Arka.

"Bukan gitu. Maksudnya, gini, gimana sih, ah. Kalian naik mobil?" Gaby menjawabku dengan anggukan. "Gue kira naik motor."

"Ya kalo naik motor ngapain ngajak elo."

"Ya kan gue nggak tau."

"Ya mikir dong."

"Ya ini gue nanya karna gue mikir."

"Ya lo-"

"Heh, udah nggak usah ribut. Nanti ke rumah dulu, nganter lo, Ka. Terus baru gue anter Via pulang." Gaby segera menengahi.

Aku berjalan pelan mengikuti irama langkah Gaby yang sedikit lambat karena memapah Arka.

Selama perjalanan pun tidak ada satu pun yang berbicara. Lagi pula aku tidak berniat membuka percakapan. Hanya alunan lagu dari radio yang mengiringi perjalanan. Berpadu dengan suara air hujan yang kini berebut untuk turun.

___________________________________

A/N :

Halo! Apa kabar gaesss?

Gimana hari kalian? Semoga menyenangkan ya. Terutama buat kalian yang sampai detik ini sudah berbaik hati baca tulisan ini.

I love you so much. Really.

Walaupun sebenernya kalian buka cerita ini karena kepencet.

I still love you.

Walaupun setelah baca kalian gak suka sama ceritaku. Aku tetap cinta.

Btw, aku bener bener butuh kritik saran atau apalah buat cerita ini. Dari segi apa pun. Serius. Jadi tolong kalau ada yang punya, jangan sungkan untuk menyampaikan.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top