Arkana: Jerat Blorong

Wanita itu berlari tergopoh-gopoh keluar dari gua. Ia terus berlari menerabas kegelapan dan lebatnya hutan sambil sesekali menoleh ke belakang. Tercetak ekspresi ketakutan di wajahnya.

Rasa takutnya membuat setiap bayangan pepohonan tampak seperti sosok menakutkan yang mengintai. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bercampur dengan air mata yang menetes tanpa henti. Ia berlari semakin cepat, mencoba melarikan diri dari bayang-bayang kegelapan yang terus memburu di belakangnya, menelan segala harapan yang tersisa.

"Suwe-muwe wengi ...."

Desir angin malam membawa bisikan-bisikan ngeri, seolah mengejek upaya pelariannya yang sia-sia. Bertepatan dengan itu, samar-samar, terdengar lirih suara wanita berkidung diiringi instrumen gamelan.

"Angin nuli muni ...."

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Lututnya lemas, kakinya gemetar, dan matanya terbelalak menatap siluet wanita menari di depannya. Tarian wanita itu lihai dengan suara yang menggema dari segala arah. Namun, yang paling mengerikan adalah ...

"Tekane Nyi Blorong."

Bagian tubuh bawah wanita penari tersebut adalah ular. Tariannya semakin cepat seiring debar jantung wanita di hadapannya yang semakin memburu. Dari balik kegelapan, seringai itu hadir membawa kengerian. Dalam sekejap, sang wanita ular melata dengan cepat ke arah mangsanya.

"AAAAAAAAAA!"

Gunung Kidul, Sebulan Setelahnya.

Motor CBR 150r berwarna putih memotong semilir angin pedesaan. Darmanta Kusuma dan Yasa Kanigara berboncengan dari pusat kota Jogja menuju kawasan hijau. Perjalanan mereka berakhir di sebuah desa bernama Sanca Wetan.

Sanca Wetan terletak di lereng Gunung Kidul, dikelilingi oleh perbukitan dan hutan yang lebat. Udaranya sangat segar, jauh dari polusi kota. Karena struktur alam dan keindahannya, desa ini menjadi lokasi wisata yang menjanjikan.

Namun, selama empat bulan terakhir, sudah empat wisatawan dinyatakan hilang dari desa ini dan belum ditemukan. Rumornya, kasus tersebut berkaitan dengan sesuatu yang mistis dan jahat. Seorang wanita melapor dan menyewa jasa pemburu hantu bernama Tantra. Untuk kasus ini, Manta dan Yasa yang turun tangan melakukan investigasi. 

Mereka berdua sudah memesan homestay tradisional yang terletak di tengah desa. Rumah-rumah joglo yang diubah menjadi penginapan untuk wisatawan itu memiliki halaman luas dan pendopo.

Kedatangan mereka berdua segera disambut oleh seorang wanita cantik berambut sepanjang punggung, ia tersenyum ramah pada Manta.

"Selamat pagi, selamat datang di Sanca Wetan. Perkenalkan, nama saya Dewi, yang akan membantu tamu-tamu di sini. Mari saya antar ke homestay."

Manta dan Yasa berjalan mengikuti Dewi, mereka berdua membawa tas ransel di pundak masing-masing, dan untuk Manta, ia membawa tambahan berupa tas pancing berwarna hitam.

"Mau mancing, Mas?" tanya Dewi menatap tas pancing Manta.

"Ya," jawab Manta dingin.

Sepanjang jalan menuju homestay, banyak gadis-gadis desa yang membeku ketika melihat wujud Darmanta. Ketampanan Manta menjadi daya tarik bagi kaum hawa. Tak ada yang bisa lepas dari jerat parasnya, kecuali tunanetra. Di sisi lain, Yasa seolah tak peduli. Ia berjalan sambil memainkan konsol game handle.

"Silakan, Mas," ucap Dewi lembut saat selesai mengantar dua tamunya ke salah satu rumah joglo.

Manta mengangguk. Dengan cool, ia berjalan melewati Dewi masuk ke dalam. Dewi menatap Manta yang perlahan hilang dari pandangannya, lalu berganti tatap ke arah Yasa.

"Kalau nanti mau mancing, bisa disungai. Untuk wisata arung jeramnya nanti dibantu dengan rekan saya Agus. Basecamp pengurus ada di utara homestay ya, Dik."

Jika usia Manta kisaran mahasiswa tingkat menengah, maka Yasa merupakan anak pertengahan SMP. Yasa tersenyum pada Dewi. "Oke."

Ketika ia membalik badan untuk menyusul ke dalam, waktu seakan melambat. Dalam waktu yang singkat itu, Yasa tak sengaja menangkap sosok seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan sedih, di pergelangan tangan dan kakinya ada rantai. Namun, warga yang berlalu-lalang di desa menutupi sosok tersebut hingga gadis kecil itu menghilang dari pandangan Yasa.

"Ta," panggil Yasa setelah masuk ke dalam homestay. "Tadi, gua liat ada bocah cewek dirante."

Manta menoleh dengan alis terangkat.

"Kayaknya bukan orang dah," lanjut Yasa.

"Biarin aja selama enggak ganggu," balas manta dengan suara beratnya. "Abis investigasi, baru bisa kita nilai. Sejauh ini belum ada yang janggal."

Setelah beristirahat sebentar, Manta dan Yasa memutuskan untuk melakukan arung jeram. Mereka berjalan menuju Utara desa. Di perjalanan, Yasa menatap sebuah rumah besar berlantai dua, mungkin itu adalah rumah terbesar di desa ini. Yasa menatap ke arah lantai dua, di sana ia menatap gadis kecil yang sempat ia lihat tadi.

"Noh, bocahnya di atas," ucap Yasa.

Manta sontak menatap ke arah lantai dua rumah tersebut, tetapi tak ada siapa pun di sana. Pria dingin itu lanjut berjalan tanpa komentar.

Mereka menemui Agus di basecamp tour guide Sanca Wetan dan langsung pergi ke lokasi arung jeram menunggangi mobil bak terbuka. Sungai yang hendak mereka arungi memiliki arus deras. Manta yang duduk di sebelah Agus pun membuka pembicaraan.

"Arusnya deres, ini aman, kan?" tanya Manta.

"Oh, tenang aja, Mas. Semua wisata di sini dijamin aman!"

"Tapi denger-denger di berita, beberapa wisatawan ada yang ilang. Kalo bukan karena arus ini, kira-kira gara-gara apa ya, Mas?"

Agus meneguk ludah. "Mereka enggak pake tour guide, Mas, jadi kemungkinan masuk daerah-daerah yang curam dan berbahaya," jawab Agus.

"Oh, tapi kalo bareng Mas Agus aman, kan?"

"Aman kok."

Mobil pun berhenti, mereka tiba di posko arung jeram dan melakukan registrasi. Setelah itu, Manta dan Yasa diberikan pelampung, lalu mulai berarung jeram bersama Agus. Hingga pada satu titik, alur sungai membawa mereka melewati sebuah gua yang gelap. Saat mereka memasuki gua, suasana mendadak mencekam. Gelap dan lembabnya udara gua membuat bulu kuduk Yasa berdiri.

"Ta ...," bisik Yasa merinding.

Manta membalas dengan anggukan kepala, kemudian menatap Agus. "Mas, ini gua apa? Biasanya tempat-tempat begini punya cerita, di sini ada?"

"Gua Kencana Wungu. Mitosnya Nyi Blorong tinggal di sini."

"Apa wisatawan-wisatawan yang ilang itu ada kaitannya sama Nyi Blorong, Mas?" tanya Manta.

"Mu-mungkin, Mas, saya kurang tau tentang itu, yang jelas mitos tentang gua ini timbul demi menjaga warga biar enggak keluyuran malam hari, supaya mereka takut. Bukan buat dipercaya sih."

Selesai arung jeram, mereka kembali ke homestay. Manta duduk di pendopo, menunggu Yasa yang mandi duluan. Dari kejauhan, gadis berambut sepanjang leher berjalan ke arahnya, hingga berhadapan dengan Manta.

"Nama kamu siapa?"

"Darmanta."

"Boleh aku duduk di sebelah kamu?"

Manta mengangguk dan agak bergeser. Gadis itu duduk di sebelahnya. "Adik kamu siapa namanya?"

"Yasa." Padahal, Yasa bukan adiknya, tetapi Manta memilih tidak menjelaskan.

"Jaga adik kamu baik-baik." Gadis itu memaksakan senyumnya. "Desa ini lagi terjangkit wabah, banyak warga yang hilang kesadaran tanpa alasan jelas, adikku salah satunya. Usianya kira-kira seusia adik kamu."

Manta hanya diam, tak tahu harus berkata apa. Keadaan mendadak hening, hingga tiba-tiba Manta menunjuk satu rumah paling besar tak jauh dari joglo.

"Itu rumah siapa?" tanya Manta.

"Mbak Dewi, kenapa?"

"Dia punya anak yang manis."

Gadis itu mengerutkan kening. "Mbak Dewi tinggal sendirian. Anaknya udah meninggal enam bulan yang lalu, disusul suaminya sebulan setelahnya."

Manta memicing. "Anaknya udah meninggal?"

Hawa di sekitarnya tiba-tiba berubah, Manta sontak merinding merasakan sebuah tekanan misterius. 

"Aku ... minta maaf ya." Gadis itu bangkit dari duduknya.

Kata-kata itu membuat Manta semakin merasa heran. "Maaf buat apa?"

Gadis itu menyeka air mata yang keluar dari sela-sela matanya, lalu hendak pergi. Namun, Manta menarik tangan gadis itu seolah tak membiarkannya pergi begitu saja.

"Kalo mau minta tolong, bilang aja," ucap Manta.

Gadis itu berusaha tersenyum sambil melepaskan diri, lalu berjalan cepat menjauh dari Manta. Pemuda itu hanya mampu menatap punggung si gadis yang perlahan menjauh.

"Ta, gua udah kelar. Mandi sono lu," ucap Yasa dari dalam homestay.

Manta pun bangun dan bergegas mandi.

Lima belas menit berlalu, Manta keluar dari kamar mandi dengan kaos putih dan celana pendek. Ia langsung menatap pria gempal dan gadis yang tadi ia temui di pendopo, mereka sedang duduk bersama Yasa.

"Sore, Mas. Saya Yudi, kepala desa di sini, panggil saja Pak Yu." Ia melirik gadis yang ikut bersamanya. "Ini putri sulung saya, Tari. Kami bawa makan malam untuk Mas dan adik."

"Terima kasih, Pak," ucap Manta.

"Kami permisi dulu." Setelah meletakkan sajian makan malam, mereka pun keluar dari joglo.

Yasa mengintip dari balik jendela. Di sisi lain, Manta berjalan hendak mengambil makanan.

"Jangan dimakan, ada sihirnya," kata Yasa. "Bukan ada sesuatu di desa ini, tapi Desa ini adalah sesuatunya. Warga desanya berkomplot sama iblis."

"Dewi ...  pesugihan Nyi Blorong ...," lirih Manta. "Setiap bulan harus ada tumbal, korban pertama anaknya, lanjut suaminya. Lumrahnya, Nyi Blorong berurusan sama keluarga pelaku, karena keluarganya abis, dia mulai ngincer wisatawan. Dari ekspresi Agus dan beberap warga, mereka kooperatif karena tekanan, demi desa, mereka nyari tumbal orang luar."

"Sekarang gimana?" tanya Yasa.

Manta menatap makan malam mereka. "Kira-kira kalo dimakan, apa efeknya?"

"Sihirnya lemah, paling cuma tidur," balas Yasa.

"Lu bisa netralisir sihirnya pake mantra?"

"Bisa. Lu ada rencana?" tanya Yasa.

"Kita ikutin alur mainnya," jawab Manta.

Waktu berlalu hingga gelap merajai bumi.

"Pelan-pelan, Gus ...," bisik Pak Yu.

Beberapa orang masuk ke dalam homestay, di sana Yasa dan Manta tengah tertidur di dekat makan malam mereka yang berantakan.

"Bawa yang gede ke rumah saya, saya mau jadikan suami, yang kecil bawa ke Kencana Wungu," ucap Dewi.

Agus membawa Manta dan Pak Yu hendak membawa Yasa.

"Yu, sekalian buangin tas pancingnya. Benda itu agak ganggu," kata Dewi dengan tatapan sinis.

Yudi mengambil tas pancing Manta, lalu pergi membawa Yasa menuju gua Kencana Wungu.

Di sisi lain, Agus berjalan membawa Manta ke rumah terbesar di desa Sanca Wetan. Ia meletakkan Manta di sebuah ruangan kosong di lantai dua, dan hendak mengikatnya. Namun, Manta tiba-tiba bangun dan menghajar tengkuk Agus hingga membuatnya pingsan seketika.

Manta menatap sekelilingnya, ruangan itu kosong-melompong, tetapi memiliki hawa yang ramai dihuni oleh kehadiran. Ia menutup mata dan berkonsentrasi, sampai pada satu titik membukanya kembali perlahan.

"Wahyu Ajangsana."

Mata batinnya terbuka, Manta menatap banyak jiwa yang terbelenggu di dalam ruangan itu. Sosok jiwa manusia yang diikat dengan rantai. Ia merasa seperti berada di tengah kandang jiwa manusia.

Gua Kencana Wungu.

Pak Yu pergi meninggalkan gua tersebut, meninggalkan Yasa yang terkapar di atas altar batu.

"Sampai kapan mau pura-pura tidur, pemburu iblis?"

Yasa tersenyum, ia membuka mata dan menatap dalang dari semua kasus hilangnya para wisatawan di desa Sanca Wetan.

"Pengguna ilmu hitam, ya? Enggak apa-apa deh, sama-sama iblis," ucap Yasa. Tangan kanannya teracung ke arah Dewi dengan jari tengah dan telunjuk yang menempel.

"Cahya Suci, Rungokno Atimu. Kekuatan Alam, Mlayu Dhemen. Kanti Garwa, Aku Tanoyo. Ing Pangawas Gusti, Amanaku."

Sebuah kilatan cahaya melesat dari kedua jari Yasa dan menyambar Dewi. Wanita itu terpental akibat mantra yang dirapalkan Yasa barusan. Darah hitam mengalir dari sela-sela bibirnya.

"Mantra garjita pertama, Ashura Butara," tutur Yasa.

Dewi bangkit, hendak melawan. Namun, tiba-tiba dengan cepat ia menoleh ke arah lokasi desa berada, seolah ada sesuatu yang mengganggunya di sana. "Bocah-bocah ingusan!" Suara Dewi terdengar geram. Ia melikak-likuk dengan gerakan aneh, kulitnya berkerut, menghijau kehitaman, matanya menajam dan berkilat seperti mata ular. Mulutnya bergerak, merapalkan kidung.

"Suwe-muwe wengi, angin nuli muni, tekane Nyi Blorong. Manik-manik emas, rambute njlimet, mbusak elingku. Nyi Blorong rawuh Ing balik eseman, Ojo nganti kagesangan, Dheweke memanggil mangsa."

Yasa merinding mendengarnya. "Rawuhing Nyi Blorong ...."

Dewi berubah menjadi sosok siluman manusia setengah ular raksasa, dengan panjang tubuh yang menjulang tinggi di hadapan Yasa.

"Tak pateni kowe!"Dewi meluncur maju dengan tubuh meliuk-liuk.

Atma berkumpul dan menyelimuti tubuh Yasa saat ia merapalkan mantra pertahanan. Atma merupakan energi kehidupan yang mampu menetrasilir hal-hal negatif. Ada atma yang berasal dari alam, dan ada juga atma yang berasal dari energi tubuh. Orang-orang yang mampu menggunakan atma, mereka disebut dengan Arkana.

Bocah itu menghindari serangan Dewi dengan gesit, tetapi serangan berikutnya terlalu cepat hingga Yasa tak bisa menghindar. Ia terkena sabetan ekor ular dan terhempas ke dinding gua dengan keras. Untungnya perisai atma melapisi dirinya, sehingga ia tak terluka parah.

"Lama banget," ucap Yasa sambil berusaha bangkit.

"Kau ingin dibunuh dengan cepat?"

"Bukan lu, ulet bulu," sahut Yasa.

Dewi merinding, ia menoleh ke bibir gua. Ditatapnya Manta yang berjalan masuk dengan aura mengancam.

"Kau ya? Yang melepas belenggu para jiwa-jiwa yang terkurung?" ucap Dewi. "Entah siapa yang sudah memanggil para pemburu iblis ke sini, setelah membunuh kalian, aku akan mencari pengkhianat itu."

Saat Dewi lengah, Yasa berlari cepat melewati siluman itu hingga dirinya sejajar dengan Manta. Manta berbalik badan dan ikut berlari keluar dari gua. Melihat dua mangsanya kabur, Dewi pun melesat cepat mengejar mereka.

"Ada rencana?" tanya Manta.

"Lu inget mantra garjita ketiga?"

Manta mengangguk.

"Oke, buat kali ini aja, gua butuh bantuan lu."

Blorong mengejar dan menyerang Manta, tetapi Manta mampu menghindarinya dengan berguling ke samping. Pemuda tampan itu mengambil ranting pohon yang patah, lalu berlari mengitari siluman ular itu sambil menyeret ranting tersebut di tanah.

Sementara itu, Yasa melindungi Manta dari jauh dengan merapalkan mantra-mantra perlindungan, ia tak menyerang karena fokus pada pertahanan.

"Ludrah wisa!" Blorong melesatkan jarum beracun dari mulutnya.

Dengan cepat Manta mengubah arah dan menjadikan pohon-pohon di sekitarnya sebagai tameng. Pergerakannya sulit diprediksi.

Namun, pergerakan Manta yang cepat itu perlahan melambat dan pada satu kesempatan, ia tersabet ekor Dewi. Dewi tertawa licik.

"Racunku sudah menyebar, kecepatanmu berkurang loh." Tanpa diketahui lawannya, Dewi mengeluarkan racun berbentuk gas dari sisiknya. "Racunku bisa menembus pertahanan atma kalian."

Dewi menyeringai, ia hendak menghabisi Manta terlebih dahulu. Namun, tiba-tiba Manta menatapnya tajam penuh tekanan. "Terlambat."

Mata ular itu tebelalak ketika tubuhnya merasakan panas, seakan darahnya mendidih di bakar api.

"Purnama Bersinar, Mlebu Neng Legi. Cahya Suci, Padamno Adharma. Kanti Niat Suci, Aku Hadapi Roh Jahat. Ing Tenaga Batin, Aku Ngusir Sampeyan," lirih Yasa.

"Racunmu bukan menembus pertahanan mantra Yasa, tapi memang Yasa yang melepaskan mantra pertahanan dan fokus pada satu mantra pembunuh iblis," tutur Manta.

"Mantra garjita ketiga, Getih Iblis Mungsuh," lanjut Yasa.

Gerakan Manta yang berlari-lari menghindari serangan Blorong sambil menyeret ranting di tanah bukanlah tanpa sebab, ia menggambar sebuah pola untuk syarat mantra garjita ketiga.

Meskipun diterpa mantra mematikan, Blorong masih berusaha mengumpulkan energi negatif di sekeliling hutan dan hendak melepaskan serangan mematikan untuk membunuh kedua pemburu iblis itu.

"Mampuslah kita!" pekik Yasa menatap gumpalan energi hitam tersebut.

"DARMANTA!"

Manta menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Suara itu adalah milik Tari, wanita yang memanggil mereka ke Sanca Wetan. Ia datang bersama ayahnya, membawa tas pancing Manta. Tari membuka tas itu dan melemparkan isinya pada Manta. Manta berlari untuk menyambut lemparan tersebut.

"AKU MOHON ... TOLONG SELAMATKAN DESA KAMI DARI JERAT BLORONG!"

"Apa enggak apa-apa kita mengkhianati Ratu?" tanya Yudi pada anaknya. "Kita pasti dibunuh."

"Kita punya dua pilihan, Pak. Tunduk ditindas atau bangkit melawan. Tari enggak mau kita semua mati di tangan wanita ular itu!"

Lemparan Tari tersampaikan, Manta menangkap pedangnya sambil menatap tajam ke arah Blorong. "Permohonan, diterima ...." Ia cabut pedangnya keluar dari sarung, seketika itu cahaya memancar dari besinya.

Ada ukiran huruf hanacaraka di badan pedangnya, semboyan itu berbunyi Iro Yudho Wicaksano. Filosofi dari Kesatria zaman dahulu yang penuh dengan etos, dedikasi, perjuangan, kerja keras, dan pantang menyerah.

"Kalian harus mati!" Blorong melepaskan energi hitamnya ke arah Manta.

"Damel sira sareng cahyanira, Bengisuro," tutur Manta sambil melakukan gestur menebas dari kejauhan.
(Tebaslah kegelapan dengan cahayamu, Bengisura)

Lesatan cahaya melumat seluruh energi kegelapan dan menebas Blorong, sosok iblis itu keluar dari tubuh Dewi dan sirna menjadi kepulan asap, terbakar mantra Getih Iblis Mungsuh. Dewi kehilangan kekuatan mustika ularnya, perlahan tubuhyna mengering dan meregang nyawa. Sosok Blorong kini telah sirna, Desa Sanca Wetan lepas dari jerat sang iblis.

Tak terasa pertarungan itu hampir menghabiskan satu malam. Saat kembali ke desa, mereka disambut oleh warga yang sudah menunggu.

"Kakak!" Seorang gadis kecil seumuran Yasa berlari ketika melihat kedatangan Tari.

Mata Tari berkaca-kaca, ia berlari sambil menangis, memeluk adiknya yang secara ajaib sembuh dari penyakitnya, bersama warga lain yang sakit.

Yasa menatap anak itu, tak ada lagi bekas-bekas rantai di pergelangannya. Di sisi lain Manta tersenyum, pemuda itulah yang sudah membebaskan jiwa-jiwa tahanan Blorong yang terbelenggu. Sebagian kembali pada raganya, sebagian lain tak lagi memiliki tempat pulang dan pergi ke Alam Suratma.

.

.

.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top