Bagian 7
"Percayalah bahwa kau tak pernah sendiri. Jika tak ada siapa pun yang bisa dijadikan sandaran, masih ada Tuhan yang tak pernah meninggalkan."
~Bima Hizam Bagaskara~
"Jun, lo di sini ternyata. Gue cari ke mana-mana, tahunya mojok di perpus." Bima menghampiri Arjuna.
Arjuna hanya menoleh sekilas, kemudian kembali menyibukkan diri dengan buku di hadapannya. Hal itu mengundang tanya di benak Bima, padahal sebelumnya ia masih bersikap ramah.
"Jun, lo kenapa? Gue ada salah sama lo?" Bima mendudukkan diri di samping remaja bertubuh ringkih itu.
"Gue hanya butuh waktu sendiri. Jadi, tolong jangan ganggu dulu. Gue benar-benar lagi pengen sendiri sekarang."
Bima terpaku sejenak, nada bicara Arjuna lebih terdengar perintah dibanding permohonan. Namun, tak urung mengganguk dan berbalik pergi. Meninggalkan remaja bertubuh ringkih itu kembali tenggelam dalam buku bacaannya.
Usai Bima menghilang dari pandangan, ia mendongak sembari menghela napas panjang. Pandangan matanya sayu, kedalaman manik hitam itu pun menyiratkan luka.
"Maaf, gue enggak bermaksud menyingung perasaan lo. Gue hanya pengen lo menjauh sementara waktu," lirih Arjuna.
Keributan yang terjadi kemarin, membuatnya menarik diri dari pergaulan. Memilih menyendiri seperti biasa karena tak ingin menyeret siapa pun ke dalam masalahnya, termasuk Bima.
Bel masuk yang berbunyi, mengalihkan perhatian Arjuna. Ia bergegas mengembalikan buku ke rak, kemudian melangkah ke kelas.
"Arjuna, tunggu sebentar." Bu Sita berlari kecil menghampiri remaja itu.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Bisa ikut ke kantor sebentar? Ada yang ingin Ibu bicarakan."
Arjuna mengernyitkan dahi heran, tetapi tetap mengekor di belakang Bu Sita menuju kantor guru.
"Jun, ada yang ingin Ibu tanyakan padamu. Tolong jawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi." Bu Sita memulai pembicaraan.
Kalimat Bu Sita membuat jantung remaja berwajah bulat itu berdetak lebih kencang. Dahinya mengernyit dalam, penasaran dengan apa yang akan dibicarakan.
"Tentang apa ya, Bu? Apa saya melakukan kesalahan?" Arjuna menunduk.
Bu Sita menggeleng sembari tersenyum. Namun, wajah wanita paruh baya itu tampak ragu untuk bertanya. Berkali-kali, bahkan menarik napas dalam.
"Bu, sebenarnya apa yang ditanyakan?"
"Baik, tetapi sekali lagi saya harap kamu harus menjawab dengan jujur. Beberapa guru ada yang bicara sama Ibu bahwa hubunganmu dengan teman-teman sekelas terlihat tidak baik. Apa benar mereka mengucilkan dan memusuhimu?"
Arjuna menunduk, tak tahu harus menjawab bagaimana. Kedua tangannya saling meremas satu lain, kebiasaan ketika tengah panik.
Aku harus menjawab bagaimana, Ya Allah? Aku tidak bisa bercerita tentang apa yang sebenarnya. Kali ini maafkan hamba-Mu ini yang harus berbohong demi kebaikan bersama, batin Arjuna.
Arjuna terlonjak kaget ketika Bu Sita menepuk pelan pundaknya, tetapi dalam sekejap berhasil menetralkan keterkejutannya dengan tersenyum manis.
"Kamu enggak perlu takut, bicara saja yang sebenarnya. Anggap saja Ibu ini orang tuamu sendiri."
"Hubungan kami baik-baik saja kok, Bu. Kemarin memang sempat ada kesalahpahaman, tetapi sekarang sudah berhasil diselesaikan."
Arjuna menunduk, menghindari kontak mata dengan wali kelasnya itu. Toh, ia memang tak pernah merasa ada masalah dengan teman-teman sekelasnya. Jadi, ia tak sepenuhnya berbohong.
"Benar begitu? Kalau memang ada masalah, jangan sungkan untuk bicara pada Ibu. Itu saja, kamu boleh kembali ke kelas."
"Baik, Bu. Saya permisi ke kelas." Arjuna berlalu pergi.
Arjuna menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan detak jantungnya yang tak karuan. Tangannya pun masih terasa kebas karena terlalu gugup, tak pernah menyangka akan dipanggil ke kantor guru karena masalah yang terjadi.
Namun, di sisi lain juga bersyukur karena ada orang yang peduli padanya. Setidaknya, ia tahu bahwa tak benar-benar sendirian di dunia ini. Itu sudah cukup menjadi alasan baginya untuk tetap bertahan untuk memperjuangkan mimpi.
Sesampai di kelas, ia mengetuk pintu karena Pak Rega telah berada di kelas.
"Maaf karena saya terlambat, Pak." Arjuna menunduk.
"Iya, silakan duduk dan kerjakan tugas yang sudah diberikan, kalau ada yang belum jelas bisa langsung tanya ke Bapak ataupun temanmu."
Seluruh penghuni kelas menatapnya tak suka, kecuali Bima. Bagaimana tidak, remaja berwajah bulat itu telah terlambat selama hampir dua puluh menit. Namun, tak diberi hukuman apa pun. Justru dipersilakan langsung duduk tanpa diinterogasi lebih dahulu.
Arjuna mengabaikan tatapan dari teman-temannya, memilih langsung duduk dan fokus pada lembar soal yang tersedia di mejanya.
"Lo dari mana, Jun? Kenapa baru masuk kelas?"
"Enggak perlu dibahas, kerjakan saja soalnya. Lo mau nilainya ambyar?"
Bima menghela napas panjang sembari menutup bibirnya dengan tangan, sedangkan Arjuna memilih fokus pada tugasnya. Ia sudah kehilangan banyak waktu, sehingga tak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa.
Tanpa terasa bel pulang telah berbunyi. Kelas yang tadinya sepi berubah menjadi riuh, pelajaran hari itu pun telah usai.
"Silakan kumpulkan tugasnya ke ketua kelas. Nanti Arjuna yang akan mengantar tugas itu ke meja Bapak."
"Baik, Pak." Mereka menjawab serentak.
Usai Pak Rega keluar, Arjuna bangkit dan berdiri di depan kelas.
"Tugasnya bisa kalian kumpulkan di meja guru, nanti gue ambil. Satu lagi, gue mau minta satu hal ke kalian. Tolong bersikap biasa ke gue ketika ada guru yang mengampu. Di luar itu, terserah kalian mau bersikap bagaimana." Arjuna memandang satu per satu teman sekelasnya.
"Lo mau kita semua bersandiwara? Gue ogah, lagian buat apa juga?" Ardian menyahut.
"Gue enggak bisa berpura-pura baik sama lo. Jadi, maaf gue enggak setuju." Tasya turut angkat bicara.
Arjuna menunduk, tak menemukan cara lain agar guru-guru tidak menaruh curiga tentang masalah internal di kelasnya. Sebagai ketua kelas, tentu ia merasa bertanggung jawab untuk menyelesaiakan masalah yang ada. Namun, mereka tak bisa diajak bekerja sama.
"Gue enggak minta untuk dihargai, tetapi tolong jangan membuat guru-guru yang masuk ke kelas ini menaruh curiga, demi kebaikan kita bersama." Arjuna menegaskan.
"Gue bakal mundur sebagai ketua kelas kalau kalian memang menginginkan itu. Besok gue sendiri yang akan bicara ke Bu Sita. Jadi, mulai besok ketua kelas ini adalah Ardian," lanjutnya.
Arjuna kembali ke tempat duduknya, menunggu yang lain mengumpulkan tugas mereka di meja guru. Ia sudah cukup bersabar selama ini, tetapi semua yang dilakukannya tak pernah berarti.
"Jun, lo serius mau mundur?" Bima memastikan.
"Lebih dari serius, gue enggak bisa lagi menjadi pengurus kelas. Lagi pula, gue enggak mau repot lagi ngurusin orang-orang yang susah diajak kerja sama."
Penghuni kelas itu saling pandang satu sama lain, terkejut dengan keputusan yang diambil oleh Arjuna. Namun, setelahnya mereka bersorak senang.
Kulon Progo, 9 Januari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top