Bagian 6
"Seluruh dunia boleh berlaku kejam padamu, tetapi jangan sampai membuatmu balas dendam dengan berlaku kejam pada mereka. Jika kau berlaku sama, lantas apa bedanya dirimu dengan mereka?"
~Arjuna Hisyam Bagaskara~
Semua murid XII IPS 2 telah duduk rapi di meja masing-masing, menunggu sang wali kelas sekaligus guru pengampu pelajaran pertama hadir. Suasananya berbeda dari biasanya, mereka tampak tenang tanpa membuat keributan.
Perhatian mereka teralih ketika wanita paruh baya itu memasuki kelas dengan seorang remaja bertubuh jangkung yang mengekor di belakangnya.
"Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, silakan perkenalkan dirimu!" Bu Sita mempersilakan.
"Selamat pagi. Perkenalkan, aku Bima Hisyam Bagaskara, pindahan dari Jakarta. Aku harap kita bisa berteman baik." Bima tersenyum manis di akhir kalimatnya.
"Namanya kok bisa mirip banget sama Arjuna? Jangan-jangan mereka saudara."
"Bener, udah kaya anak kembar saja nama mereka."
Bisik-bisik itu terdengar jelas di telinga Arjuna, tetapi hanya ditanggapi dengan gelengan pelan serta senyum kecil. Tak dipungkiri bahwa ia pun sempat berpikir begitu, hanya saja segera mengenyahkan pikiran itu.
"Bagaskara di Indonesia ada banyak banget, Jun. Nama itu cuma sekadar mirip sama Ayah." Arjuna meyakinkan dirinya sendiri.
"Apakah ada yang ingin kalian sama Bima?" Suara Bu Sita mengembalikan fokus mereka pada murid baru itu.
Semua siswa menggeleng, sehingga Bima tersenyum lega. Bisa saja, pertanyaan yang mereka ajukan justru akan membuatnya kesulitan dalam menjawab. Pastinya akan mengundang kecurigaan dari mereka, terutama Arjuna.
"Bima, silakan kamu duduk di samping Arjuna." Bu Sita menunjuk kursi kosong di barisan paling depan.
Bima hanya menjawab dengan anggukan, kemudian berlalu menuju meja kosong yang dimaksud. Langsung disambut dengan senyum manis khas Arjuna.
"Kita ketemu, Jun. Enggak masalah, kan, kalau gue duduk di sini?" Bima memastikan.
"Enggak, duduk aja. Lagian gue juga sendiri, malah senang kalau lo mau duduk di situ. Gue jadi ada teman diskusi."
Bima mendudukkan diri di kursi usai mendapat izin dari Arjuna. Ibarat ketika akan masuk rumah orang, harus permisi lebih dahulu. Kursi itu memang kosong pun bukan milik remaja beralis tebal itu, tetapi sebagai murid baru dia harus menunjukkan sikap yang baik, bukan?
Perhatian mereka sepenuhnya teralih ketika Bu Sita memberikan lembar latihan. Penghuni XII IPS 2 pun sibuk mengerjakan tugas. Ada beberapa murid yang menoleh ke kanan dan ke kiri karena tidak bisa mengerjakan, sedangkan Arjuna dan Bima tampak santai-santai saja. Dalam satu jam, lima puluh soal itu telah selesai dikerjakan.
"Buat yang belum selesai bisa dilanjutkan di rumah, pertemuan berikutnya akan kita bahas sama-sama."
"Baik, Bu." Mereka menjawab serempak.
Usai Bu Sita menghilang balik, penghuni kelas itu berhamburan keluar. Meninggalkan Arjuna dan Bima yang masih membereskan buku yang berserakan di meja.
"Jun, abis ini mau ke mana?"
"Gue ke kantin, bantu Bang Alvi jualan di sana. Lo sendiri mau ke mana?"
Bima menaikkan kedua alisnya, memastikan bahwa tak salah mendengar.
"Lo kerja di kantin? Ini, kan, masih jam sekolah, Jun?"
"Iya, apa salahnya? Selama bukan jam pelajaran, enggak akan ada masalah, 'kan? Gue duluan ke kantin, keburu bel masuk." Arjuna bangkit sembari tersenyum lebar.
Bima masih terdiam, bahkan hingga Arjuna telah menghilang dari pandangan. Tak menyangka bahwa teman sebangkunya itu harus bekerja ketika waktu istirahat.
"Rasanya ini enggak adil. Seharusnya lo bisa menikmati masa remaja dengan baik, bukan malah harus bekerja keras begini untuk melanjutkan hidup," lirih Bima.
Bima segera bangkit dan menyusul ke ke kantin. Sesampai di sana Arjuna telah tampak sibuk mengantarkan pesanan ke meja-meja. Tak ada gurat kesedihan di wajah bulat remaja itu, justru senyumnya tetap mengembang sempurna.
Remaja bertubuh jangkung itu memilih duduk di meja paling pojok sembari mengamati pergerakan Arjuna, berbekal segelas es teh yang sempat ia beli.
"Jun, lama banget sih? Mana bakso yang kita pesan, keburu bel masuk nih!" Suara Ardian mengalihkan perhatian seluruh penghuni kantin.
Arjuna yang tengah sibuk mengantar pesanan di meja seberang pun mendongak dan mengucapkan maaf dengan gerakan bibir. Ia lantas berbalik untuk mengambil pesanan Ardian dan teman-temannya.
Empat mangkok bakso telah dibawa dengan nampan, ia mempercepat langkah demi kepuasan teman-temannya. Tak ingin sikapnya yang kurang gesit justru akan berimbas pada kaburnya pelanggan tetap Alvian.
"Maaf lama, silakan dinikmati." Arjuna tersenyum lebar.
"Minuman kita mana nih? Masa dari tadi belum diantar juga?" Suara Tasya terndengar kesal.
Arjuna hanya mengangguk sekilas, berjalan cepat ke arah meja bar untuk kembali mengambil pesanan. Namun, kakinya dijegal oleh Davian sehingga ia terjatuh hingga tiga gelas minuman di tangannya tumpah. Beruntung gelas itu bukan gelas kaca, melainkan gelas plastik.
"Ini pantas didapatkan oleh anak koruptor seperti lo. Kasihan ya, harus kerja jadi pelayan biar bisa hidup. Kenapa enggak bunuh diri saja, percuma juga lo hidup kalau enggak guna!"
"Lo yang enggak berguna! Makan aja masih minta orang tua." Suara Bima mengalihkan perhatian Davian.
Arjuna masih membisu, tak berani bersuara. Ia masih menetralkan emosi yang bergejolak di dada, sembari memijat pelan kakinya yang terasa sakit ketika digerakkan.
Bima beralih mendekati Arjuna, mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit. Namun, remaja berkulit putih itu menggeleng pelan sembari meringis kesakitan.
"Kalian benar-benar keterlaluan, Arjuna itu teman kalian. Bagaimana bisa kalian memperlakukan dia dengan buruk?" Alvian menghampiri meja Davian.
"Bang, enggak perlu dilanjutkan. Lagi pula Juna enggak apa-apa kok, biarkan saja." Arjuna berusaha melerai keributan yang terjadi.
"Enggak, Jun! Mereka ini sesekali harus diberi pelajaran agar tidak bertindak di luar batas. Abang enggak suka dengan cara mereka memperlakukan lo." Alvian terpancing emosi.
Arjuna perlahan bangkit, menahan tangan Alvian yang hampir mendarat mulus di wajah Davian. Merasa bersalah karena tanpa sengaja ia yang menyebabkan keributan itu terjadi.
"Bang, cukup. Juna enggak mau masalah ini semakin melebar. Jangan mengotori tangan dengan bertindak buruk pada mereka, biarkan saja. Justru itu akan membuat kita tampak sama dengan mereka." Arjuna berusaha melerai.
Mendengar pernyataan Arjuna, pemuda itu menurunkan tangannya.
"Kalau bukan karena Juna, Abang sudah melaporkan kalian ke guru BK atau kepala sekolah sekalian."
"Bang, sudah. Malu dilihatin anak-anak yang lain." Arjuna menyeret Alvian menjauh.
Kulon Progo, 8 Januari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top