Bagian 5

"Tak usah merisaukan apa yang telah dijamin oleh-Nya, tugasmu hanya berdoa dan berusaha. Dia yang akan membantumu dengan cara tak terduga."

~Alvian Mahendra Putra~

Arjuna dan Bima tiba di kos tepat saat azan magrib berkumandang dari masjid kompleks. Keduanya pulang dengan hanya berjalan kaki karena jaraknya tak terlalu jauh, lagi pula memang tak memiliki alat transportasi.

"Masuk aja, tunggu di dalam. Maaf kalau kamarnya berantakan, soalnya belum sempat berbenah." Arjuna mempersilakan.

"Enggak masalah, kalau enggak ada Bibi pasti kamar gue jauh lebih berantakan." Bima terkekeh.

Ruangan itu hanya berukuran 3x4 meter, dengan kasur lantai tipis sebagai alas, sebuah lemari kecil di samping pintu, serta meja kecil di sudut ruangan yang di gunakan untuk meletakkan lampu tidur. Sementara, buku-buku pelajaran milik Arjuna hanya diletakkan di dalam kardus.

"Lo kenapa pindah ke sini? Padahal sudah kelas XII, tinggal menunggu setahun lagi selesai." Suara Arjuna membuat Bima mendongak.

"Gue pindah ke sini karena lo, Jun," bisiknya.

"Kenapa, Bim?"

"Enggak, kok. Gue pindah karena Bunda diminta ke sini, ada kerjaan yang harus diurus gitu."

Arjuna tersenyum sendu, mengingat kembali sang ibu yang telah lama tiada. Tiba-tiba merasa rindu dengan sosok wanita yang penuh kehangatan dan kelembutan itu.

Suara klakson di halaman, mengalihkan perhatian keduanya. Mereka segera keluar, ternyata mobil itu yang menjemput Bima. Seorang wanita paruh baya turun dari pintu belakang, dengan tangan yang menenteng beberapa paper bag.
Wanita itu tampak cantik dengan balutan gamis peach serta jilbab yang senada.

"Katanya tadi terjebak macet, kok  sudah sampai sini." Bima menghampiri dan bergelayut manja di lengan wanita itu.

"Enggak malu dilihatin sama temanmu, sudah gedhe masih gelendotan gitu sama Bunda."

Interaksi Bima dan sang ibu, tak luput dari perhatian Arjuna. Diam-diam ia menangis melihat kedekatan Bima dengan ibunya.

"Andai saja Bunda masih ...."

Arjuna beristighfar dalam hati, tak layak baginya menuntut Sang Pemilik Kehidupan.

"Terima kasih, Nak. Sudah mengizinkan Bima untuk menunggu di sini. Oh iya, ini ada sedikit makanan buat kamu." Arini menghampiri Arjuna sembari menyodorkan paper bag di tangannya.

Arjuna hanya mengangguk sembari tersenyum, lantas mengambil satu dari tiga paper bag yang disodorkan.

"Semuanya buat kamu, ambil saja semuanya." Arini tersenyum lembut.

"Satu saja cukup, Tan. Lagi pula saya cuma sendiri daripada nanti mubazir lebih baik Tante berikan ke yang lain."

Arini mengusap puncak kepala remaja bertubuh ringkih itu, rasa sesak seketika mengantam dadanya.

Jika kamu tahu kebenarannya, apakah akan tetap bersikap sebaik ini pada kami? Batin Arini.

"Sekali lagi Tante ucapkan terima kasih."

"Sama-sama, Tan. Saya juga bertermakasih karena dibawakan makanan."

"Jun, gue balik. Sampai ketemu besok." Bima melambaikan tangan.

Usai mobil yang ditumpangi Bima menghilang di ujung jalan, Arjuna kembali masuk. Dibukanya paper bag itu, cukup terkejut dengan isi yang ada di dalamnya.

"Tahu dari mana kalau gue suka kacang mede? Mungkin hanya kebetulan saja." Arjuna menggeleng pelan.

Arjuna lupa bahwa semua yang terjadi memang telah dirancang dengan sebaik mungkin. Tak ada yang kebetulan di dunia karena semua memang telah digariskan oleh Sang Pemilik Kekuasaan.

Selesai menikmati camilan malamnya, remaja beralis tebal itu merebahkan diri di kasur. Kedua matanya terasa berat untuk terbuka, tak butuh waktu lama untuk menyelam ke alam mimpi.

Arjuna terbangun ketika alarm dari ponsel berbunyi nyaring. Jam di sana menunjukkan jam setengah enam pagi. Ia bergegas bangun dan menyambar handuk dari gantungan, kemudian berlalu ke kamar mandi. Maklum saja, kamar mandi yang tersedia berada di luar pun harus mengantri dalam menggunakannya.

Saat masih pagi begini, bisa langsung mandi karena penghuni lainnya masih belum terjaga dari tidurnya. Alasan kenapa memilih mandi lebih awal. Lima belas menit kemudian, ia telah rapi dengan mengenakan seragam sekolah.

Arjuna beralih menyiapkan buku sesuai jadwal hari ini, tak lupa mengecek kembali lembar tugas miliknya. Setelah memastikan semua tugasnya tak ada yang terlewat, bersiap untuk berangkat.

Ia mengecek sisa uang yang yang diberikan oleh Bi Onah, di dalam amplop itu hanya tersisa Rp. 150.000,00.

"Gimana caranya biar gue bisa dapat uang? Uang segini paling hanya bisa bertahan paling lama seminggu ke depan. Gue harus kerja apa?" Arjuna menunduk lesu.

Sebuah ide merasuk ke dalam otak, membuat kedua netranya berbinar. Ia melangkah penuh semangat menuju sekolah, menemukan harapan baru untuk tetap bertahan di tengah badai yang menerjang langkahnya. Tujuan pertama ketika sampai di sekolah adalah kantin untuk menemui Alvian.

Saat ia sampai, Alvian tengah berkutat dengan berbagai jenis masakan yang akan dihidangkan sebagai menu hari ini. Menyadari kehadiran Arjuna, pemuda itu tersenyum ramah seperti biasa.

"Mau sarapan apa? Bubur ayam atau nasi?"

"Gue mau pesan semangkok cinta dan segelas rindu. Ada, Bang?" Arjuna terkekeh.

Alvian turut terkekeh mendengar lelucon yang dilontarkan oleh Arjuna. Namun, di sisi lain cukup bersyukur karena remaja di hadapannya itu tak semurung kemarin. Dia telah mendengar kabar perihal Bagas yang dipenjara dan Arjuna yang dijauhi oleh teman-temannya karena masalah itu.

"Jun, Abang bisa minta tolong?"

"Asal enggak disuruh yang aneh-aneh, bisa. Kenapa, Bang?"

"Abang, kan, di sini cuma berdua. Kalau lo mau bisa bantu Abang melayani pembeli, soalnya kita lumayan kewalahan kalau ramai."

Arjuna mengucap syukur dalam hati, belum sempat mengutarakan niat justru ditawari terlebih dulu. Kedua netra itu berkaca-kaca karena terharu.

"Gue mau banget, Bang." Arjuna  semangat.

"Cuma Abang enggak bisa memberi upah yang besar, tergantung dari penghasilan yang masuk. Bonusnya, lo boleh makan gratis tiga kali sehari."

Arjuna memeluk tubuh kekar pemuda itu, saking bahagianya.

"Itu sudah lebih dari cukup, Bang. Gue udah berterimakasih banget karena memang lagi butuh kerjaan untuk menyambung hidup. Sekarang ini cuma bisa mengandalkan diri sendiri, Abang pasti sudah dengar tentang apa yang terjadi."

Alvian mengangguk, itu yang menjadi alasan utamanya membantu Arjuna. Lagi pula setiap kebaikan yang dilakukan pada orang lain akan kembali ke dirinya sendiri.

"Abang pernah ada di posisi itu, hidup sebatang kara tanpa orang tua dan sanak saudara. Lo masih jauh lebih beruntung dibanding Abang yang harus putus sekolah dan tinggal di jalanan."

Arjuna menepuk pundak Alvian sembari menggeleng pelan. Memberi isyarat agar tak perlu melanjutkan kisah yang hanya akan menguak luka lamanya.

"Semua yang terjadi adalah bagian dari proses pendewasaan diri, mungkin memang penuh luka dan air mata. Namun, suatu hari nanti pasti akan bersyukur atas apa yang terjadi hari ini." Arjuna tersenyum hingga kedua netranya menyipit.

Kulon Progo, 6 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top