Bagian 4
"Sahabat terbaik adalah mereka yang setia menemani sekalipun dalam titik terendah. Tak memilih pergi, meskipun diusir berkali-kali."
Arjuna Hisyam Bagaskara
Bel masuk telah berbunyi sejak lima menit yang lalu, tetapi Arjuna tak berniat kembali ke kelas. Ia telah meminta izin pada Bu Sita selaku wali kelas sekaligus guru pengampu di jam terakhir, dengan alasan sakit kepala.
Alhasil, sekarang bisa berbaring di ruang UKS dengan nyaman. Beruntung dokter yang berjaga sedang tidak di tempat, sehingga tak ada yang tahu bahwa hanya alibinya saja.
"Biarlah sekali ini aja gue bolos dari kelas daripada di kelas, tetapi pikiran ke mana-mana."
Remaja itu tak benar-benar sakit, hanya saja menghindar bertemu dengan teman-temannya. Sikap mereka membuatnya tidak nyaman karena diasingkan dan diabaikan. Ia baru kembali ke kelas ketika bel pulang berbunyi nyaring dan sekolah telah sepi, itu pun hanya sekadar untuk mengambil tas.
"Arjuna!"
Arjuna menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara. Ia mengangkat alisnya tinggi, merasa asing dengan orang yang kini berjalan ke arahnya.
"Lo Arjuna, 'kan?"
"Iya, lo siapa?"
"Gue, Bima. Kita bakal jadi teman sekelas mulai besok." Bima menyodorkan tangannya.
Arjuna tak menyambut uluran tangan itu, membuat Bima segera menarik tangannya. Kemudian, beralih menggaruk kepala yang tak gatal sama sekali.
"Lo tahu nama gue dari mana?"
Gue harus jawab apa? Kenapa enggak kepikiran kalau Juna akan tanya soal itu, batin Bima.
Arjuna melambai-lambaikan tangannya di wajah Bima, tetapi tak ada direspon. Sebuah tepukan pelan mendarat di pundak remaja beralis tebal itu, hingga membuatnya terkejut.
"Ditanya malah melamun, lo tahu nama gue dari mana? Padahal kita enggak pernah ketemu sebelumnya."
Arjuna menatap Bima dengan tatapan menyelidik, merasa ada kejanggalan dari sikap remaja bertubuh jangkung di hadapannya itu. Wajah dan senyum itu memang familiar, tetapi tak berhasil mengingat di mana pernah bertemu.
"Arjuna, Bapak minta tolong antarkan Bima untuk lihat-lihat sekolah kita. Mulai besok dia akan sekolah di sini." Suara Pak Rahmat—kepala sekolah—menginterupsi keduanya.
Bima tersenyum lega ketika dihampiri oleh Pak Rahmat, sehingga perhatian Arjuna teralihkan. Jadi, tak perlu menjawab pertanyaan yang diajukan sebelumnya.
"Baik, Pak. Saya akan mengajak Bima untuk berkeliling." Arjuna tersenyum sopan.
Usai berpamitan pada Pak Rahmat Arjuna kembali ke kelas diikuti oleh Bima yang mengekor di belakangnya. Tak ada perbincangan yang mewarnai, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Lo tinggal di mana?" Bima memecah keheningan.
"Enggak ada pertanyan lain apa? Gue diminta Pak Rahmat buat mengenalkan lo sama lingkungan sekolah bukan kehidupan pribadi!"
Sial, harusnya gue enggak tanya soal itu sekarang. Pikirkan alasan yang logis kenapa lo tanya itu, Bim! Batin Bima.
Arjuna berjalan cepat meninggalkan Bima yang masih terdiam di tempatnya. Bagi Bima, pertanyaan itu cukup biasa. Namun, bagi remaja bertubuh ringkih itu cukup sensitif untuk dibahas.
"Gue tanya tempat tinggal karena ini sudah sore, kalau rumah lo jauh mending besok saja kita lanjutkan pengenalan sekolahnya." Bima beralibi.
Arjuna menghentikan langkah sembari melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Benar saja waktu telah menunjukkan jam empat sore.
"Rumah gue dekat sini, lo enggak perlu khawatir. Mending cepetan jalan, biar bisa segera pulang."
Arjuna mengajak Bima melihat-lihat sekolah, bahkan setiap tempat ataupun ruangan yang dilalui dijelaskan dengan detail.
"Sekolah kita mempunyai tiga gedung utama, gedung A digunakan untuk pembelajaran kelas X, gedung B untuk kelas XII dan gedung C untuk Kelas XI."
"Kenapa enggak berurutan saja, gedung B untuk kelas XI dan gedung C untuk kelas XII?"
Arjuna tersenyum simpul, tak menyangka bahwa Bima akan bertanya sedetail itu.
"Gedung C dekat dengan lapangan basket, kantin, serta terletak paling ujung dan dekat dengan jalan raya. Demi kenyamanan agar terhindar dari kebisingan kelas XII ditempatkan di gedung B."
Bima manggut-manggut sembari mendudukkan diri di kursi depan ruang OSIS. Kakinya terasa pegal karena berjalan mengitari sekolah yang cukup luas. Ia meraba tenggorokannya yang terasa kering, berharap Arjuna akan peka dengan kode yang dilayangkan.
"Sekarang gue mau ke kantin, sekalian mau cari makan. Lo mau ikut atau langsung pulang?"
"Ikut, kebetulan gue haus banget. Belum makan juga dari pagi karena ditinggal Bunda ke keluar kota." Bima segera bangkit.
Arjuna menggeleng pelan, kemudian melangkah lebih dulu. Keduanya berjalan beriringan sembari sesekali terlibat perbincangan. Lebih tepatnya, ia hanya akan menjawab singkat ketika Bima bertanya.
"Lo mau pesan apa? Biar gue pesenin sekalian." Arjuna menawarkan.
"Berhubung enggak tahu ada menu apa, samain aja sama pesenan lo. Tenang, gue bisa makan semua jenis makanan kok. Asal bisa dimakan dan enggak haram," jawab Bima sembari terkekeh.
Arjuna mendekati meja Alvian dan memesan dua mangkok bakso serta dua gelas es teh yang langsung diangguki oleh pemuda itu. Usai memesan, ia kembali menghampiri Bima yang telah duduk santai di meja pojok.
Meskipun waktu telah beranjak sore, tetapi kantin masih ramai. Terbukti dari sebagian besar meja yang terisi. Wajar saja karena anak basket tengah mengadakan latihan untuk pertandingan minggu depan, sehingga banyak yang meluangkan waktu sekadar menonton tim kesayangan mereka.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, pesanan mereka pun datang. Mereka segera menyantap makanan yang telah tersaji di hadapannya tanpa terlibat perbincangan. Hanya suara denting sendok yang beradu dengan mangkok yang menghiasi.
"Jun, gue boleh mampir ke rumah lo dulu? Sopir yang biasa antar-jemput baru berangkat ke bandara untuk jemput Bunda, sedangkan gue takut naik kendaraan umum."
Arjuna melirik jam di ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul 17.15. Ia berpikir sejenak, mencoba mencari solusi terbaik.
"Lo bisa ikut ke kosan, nanti biar sopir lo jemput di sana aja. Lagian bentar lagi magrib, mana tega nyuruh lo nunggu sendirian di sekolah. Masuk magrib, kantin juga udah tutup."
Bima tersenyum lebar, rencananya berjalan mulus tanpa hambatan. Dia tak berbohong karena memang tak bisa naik kendaraan umum pun sopirnya memang dalam perjalanan menjemput sang bunda di bandara.
"Makasih, ya. Lo enggak takut gitu gue apa-apain di kos? Gue rampok, misalnya." Bima menaik-turunkan alisnya.
"Di kos gue enggak ada barang berharga, mau merampok apaan? Bantal sama guling?"
"Jalan sekarang aja, yuk! Keburu magrib entar, jalannya lumayan jauh soalnya. Eh, lo enggak apa-apa jalan kaki?" Arjuna memastikan.
Bima menggeleng pelan, apa pun akan dilakukan asal bisa mengetahui tempat tinggal Arjuna. Dia sudah berjanji untuk selalu menemani remaja bertubuh ringkih itu.
Tenang saja, aku akan menepati janji untuk menjaganya, batinnya.
Kulon Progo, 5 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top