Bagian 11
Aku tak akan menyalahkan siapa pun atas semua yang telah terjadi karena kutahu semua telah dirancang sedemikian rupa oleh Sang Pemilik Kehidupan. Tugasku hanyalah menerima dan menjelani dengan sebaik-baiknya
~Bima Hizam Bagaskara ~
Sesuai permintaan sang ibu, sepulang sekolah Bima kembali ke rumah lebih dulu. Sekadar mengganti pakaian dan mengambil baju ganti untuk Arjuna. Setelahnya, segera bergegas menuju rumah sakit.
Ketika ia tiba di rumah sakit, Arjuna baru saja tertidur usai meminum obat miliknya. Sementara, Arini tampak sibuk dengan laptop miliknya di sofa tak jauh dari ranjang. Dari balik pintu Bima tersenyum sendu, merasa bersalah pada sosok yang terbaring di sana.
"Seharusnya kami membawamu ke rumah sejak awal, sehingga semua ini tak mungkin terjadi," lirih Bima.
Cukup lama Bima berdiri di depan pintu, hanya melongok melalui pintu kaca tanpa berniat masuk. Ada beban yang hanya diketahui olehnya, tetapi berbagi pada sang bunda juga bukan sebuah pilihan.
"Apakah ketika semuanya terbongkar, kamu akan tetap menerima kehadiranku dan Bunda? Aku terlalu takut untuk mengakui kebenaran yang ada, bahwa kita terikat oleh darah yang sama."
Bima mengatur napas, kemudian berlalu masuk dan meletakkan tas yang berisi baju ganti di sisi ranjang. Tak lupa meletakkan keranjang buah di nakas.
"Kamu udah makan, Bim?" Arini mengalihkan perhatiannya dari laptop.
"Belum, Bun. Bagaimana aku bisa makan kalau Juna saja masih terbaring lemah seperti ini?"
Arini menggeleng pelan, hafal betul bagaimana karakter putra semata wayangnya itu. Di sisi lain, ia bahagia karena Bima bisa menerima kenyataan bahwa Arjuna adalah adik tirinya yang hanya selisih dua bulan.
"Sayang, Arjuna akan baik-baik saja. Setelah ini, kita akan tinggal bersama. Bunda telah meminta izin pada Ayahmu untuk mengajaknya tinggal di rumah kita." Arini mengusap puncak kepala putranya.
Bima tersenyum senang, kedua mata bulatnya tampak berbinar. Ia sudah menunggu dalam waktu yang lama untuk memiliki saudara dan sekarang semua telah terwujud. Remaja berwajah oval itu benar-benar memiliki adik lelaki yang bisa diajak bermain dan belajar bersama.
"Bun, Bima takut kalau Arjuna tidak bisa menerima kita seandai–" Wajah berseri itu tiba-tiba berubah muram.
"Bima, jangan berprasangka buruk dulu. Kita berdoa saja semoga Arjuna bisa menerima kenyataan yang ada," potong Arini cepat.
Bima terdiam, netra sayu itu menatap sosok remaja yang tampak terlelap di brankar dengan selang infus terpasang rapi di tangan kirinya. Rasa bersalah itu kembali menguasai hati dan jiwa. Ada banyak kata andai yang ia layangkan dalam hati.
Perhatian Bima teralih ketika sang ibu mengusap lembut punggung tegapnya. Wanita paruh baya itu seakan mengerti apa yang tengah dirasakan dan dipikirkan oleh putra semata wayangnya.
"Tak ada yang bersalah di sini karena kita semua sejatinya adalah korban. Namun, terlepas dari apa yang telah telah terjadi kita tak perlu terus terjebak dalam penyesalan."
Bima mengangguk kecil sembari tersenyum. Ia yakin bahwa semua ini tidak mudah dilewati oleh sang ibu, tetapi wanita itu cukup kuat dan tegar untuk bisa menerima kenyataan. Kenyataan bahwa sang suami memiliki keluarga kedua bahkan diminta menjadi ibu untuk putra Bagaskara dari istri yang lain.
Pada awalnya pertengkaran hebat itu sempat terjadi, tetapi pada akhirnya Arini memilih mengalah. Apalagi ketika mengetahui bahwa madunya juga telah memiliki seorang anak yang usianya tak terpaut jauh dari sang putra. Rasanya tak adil apabila ia meminta Bagaskara untuk menceraikannya. Bagaimanapun juga wanita itu dan putranya butuh kehidupan yang layak dan keluarga yang utuh.
Alasan mengapa ia yang memilih untuk tak mengusik kehidupan wanita yang juga berstatus istri dari Bagaskara. Ia menjauh agar tak menimbulkan kekacauan, memilih membesarkan putra semata wayangnya tanpa figur seorang ayah.
"Bun, Bima boleh tanya sesuatu?"
Arini yang sedari tadi sibuk bermesraan dengan laptop di pangkuan, mendongak. Beralih menatap putranya yang tampak ragu untuk bicara.
"Ada apa, Sayang?"
"Apa pernah terbersit dalam benak Bunda untuk membenci Ayah ataupun Arjuna dan ibunya?"
Arini terkesiap, tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari Bima. Namun, ia segera bisa menetralkan keterkejutannya dengan tersenyum kecil.
"Bunda tidak memiliki alasan yang kuat untuk membenci mereka terutama Arjuna."
Bima tersenyum lebar, tahu bahwa tebakannya tak meleset. Ia bertanya hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri. Remaja bertubuh tegap itu pun memiliki pemikiran yang sama. Tak ada alasan baginya untuk membenci karena nyatanya kehadiran Arjuna merupakan salah satu doa yang diijabah.
"Bun, Bima janji akan menyayangi dan melindungi Arjuna apa pun yang terjadi nanti. Bagiku, dia tetap adik yang selama ini selalu kuharapkan kehadirannya. Tak peduli bahwa Allah mewujudkannya dengan cara yang terduga."
Kalimat terakhir itu terdengar dengan jelas di telinga Arjuna, tetapi sama sekali tak mengerti tentang apa yang tengah dibicarakan. Remaja bertubuh ringkih itu membuka mata dan mendapati Bima yang duduk tepat di sampingnya.
"Kalian bahas apa? Apa yang diwujudkan dengan cara tak terduga?"
Suara lirih Arjuna mengalihkan perhatian ibu dan anak itu, keduanya sama-sama tersentak kaget. Keduanya saling pandang, kemudian menggeleng bersamaan.
"Bukan apa-apa, Jun. Oh iya, bagaimana keadaanmu sekarang?" Bima mengalihkan perhatian.
"Sudah jauh lebih baik, kok. Terima kasih karena Tante Arin dan kamu telah banyak membantuku." Arjuna tersenyum kecil.
"Tidak perlu berterimakasih karena sudah sewajarnya kita saling membantu satu sama lain. Lagipula kita, kan, keluarga."
"Keluarga?"
Arjuna menaikkan alis tebalnya, menuntut penjelasan atas kata yang baru saja diucapkan oleh Bima. Ia sudah berpikir keras, tetapi tak menemukan jawaban yang tepat.
Bima merutuki bibirnya yang tak bisa diajak kompromi. Ia masih belum bisa menceritakan tentang semuanya sekarang, apalagi dengan kondisi adik tirinya yang terbaring di brankar rumah sakit.
"Kami sudah menganggapmu sebagai keluarga. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita saling membantu satu sama lain." Arini menimpali.
Bima mengganguk sembari tersenyum. Cukup lega karena sang ibu berhasil memberikan jawaban memuaskan pada Arjuna. Terbukti remaja berambut lurus itu tak bertanya lebih.
Baiklah. Jika kalian tak mau memberitahu maka aku yang mencari sendiri jawabannya, batin Arjuna.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top