Bagian 10

Arini mondar-mandir di depan ruang perawatan, mencemaskan kondisi Arjuna. Remaja itu telah diamanahkan langsung oleh sang ayah, sehingga berada di bawah tanggung jawabnya. Ketika manik cokelat itu menangkap sosok pria berjas putih dari dalam sana, segera menghampiri.

"Dok, bagaimana keadaan Arjuna? Dia sakit apa?"

"Ibu tenang dulu. Saat ini kondisi pasien masih lemah, tetapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dugaan sementara, pasien mengalami demam tifus. Kami masih menunggu hasil tes widal terhadap pasien."

"Terima kasih, Dok. Apakah dia sudah bisa dijenguk?"

"Silakan, Bu. Kami permisi." Dokter itu berlalu pergi.

Wanita paruh baya itu segera masuk ke ruang rawat Arjuna, ditatapnya wajah pucat itu cukup lama. Wajah itu mengingatkannya pada mendiang sahabat lamanya. Alis yang tebal, bulu mata yang panjang dan lentik, bibir tipisnya, terutama wajah bulat itu. Benar-benar bagai pinang dibelah dua, hanya saja dengan versi laki-laki.

"Ara, putramu tumbuh dengan baik dan menjadi remaja yang tampan. Sayang, harus menanggung beban seorang diri. Meskipun begitu, kau tak perlu khawatir karena mulai sekarang aku akan mencintai layaknya putra kandungku," lirih Arini sembari mengecup pipi Arjuna. 

Lima belas tahun telah berlalu sejak kematian Mutiara akibat serangan jantung, momen yang tak pernah bisa ia lupakan. Meninggalkan duka mendalam pun penyesalan yang tak terhingga. Tanpa sengaja, ia yang membunuh sosok sahabat terbaik dalam hidupnya itu.

Arini menggenggam jemari Arjuna dan dikecup berkali-kali. Mengingat remaja itu yang harus berjuang sendiri demi menyambung hidup, membuat rasa bersalah di hatinya semakin membuncah.

"Andai saja kisah itu tak pernah ada, mungkin sekarang ibumu masih di sini untuk menemani dan menjagamu." Arini menerawang jauh ke masa lalu.

"Ra, aku janji akan menjaga Arjuna dengan baik. Menjadi sosok ibu yang sempurna baginya, meskipun tidak akan pernah sebanding dengan cintamu padanya," lanjutnya sembari mengusap  liquid bening yang telah menganak sungai.

Arini mengeluarkan ponsel dan memberitahu Bima bahwa Arjuna dirawat di rumah sakit Citra Medika. Meminta agar sepulang sekolah nanti mampir ke rumah dulu untuk berganti pakaian, sekalian mengambilkan baju ganti untuk sahabat barunya.

Perhatiannya teralih ketika Arjuna menggerak-gerakan jemari, tak lama kemudian netra sayunya terbuka sempurna. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, begitu menyadari kehadiran Arini remaja bermanik hitam itu tersenyum tipis.

"Terima kasih karena Tante sudah membantu. Juna enggak tahu apa yang akan terjadi kalau Tante Arin enggak datang berkunjung," lirih Arjuna.

"Iya, Sayang. Bagaimana kondisimu sekarang?"

"Alhamdulillah sudah lebih baik. Juna kapan boleh pulang, Tan?"

"Kamu masih harus dirawat di sini sampai benar-benar sembuh. Lagi pula tes widalmu juga belum keluar, Tante enggak mau ambil risiko dengan membiarkanmu rawat jalan."

Kedua tangan remaja itu saling meremas begitu mendengar pernyataan Arini. Itu sama saja harus menginap di rumah sakit berhari-hari, padahal yakin bahwa tubuhnya hanya minta diistirahatkan barang sebentar saja.

"Juna pulang saja, Tan. Kalau kelamaan di sini, biaya rawatnya pas–"

"Kamu enggak perlu memikirkan itu, semua biaya Tante yang tanggung yang terpenting kamu sehat dulu." Arini mengusap rambut hitam remaja itu.

Arjuna hendak berbicara lagi, tetapi wanita paruh baya itu memberi kode agar tak membantah. Mau tak mau, ia menurut saja.

"Jangan berpikir macam-macam, lebih baik kamu kembali istirahat. Tante juga sudah menghubungi Bima, sepulang sekolah nanti ke sini."

Sementara itu, Bima baru saja membaca pesan yang dikirim oleh sang ibu. Kekhawatirannya tentang Arjuna ternyata terbukti, remaja itu tidak masuk karena sakit. Bel pulang yang berbunyi, membuatnya bernapas lega.

"Teman-teman tunggu sebentar, apakah dari kalian ada yang mau ikut jenguk Arjuna? Sekarang dia dirawat di rumah sakit Citra Medika." Suara Bima mengalihkan perhatian seluruh penghuni XII IPS 2.

"Gue mah ogah! Kalau kalian mau jenguk dia, silakan." Davian menyahut.

"Lo sendiri aja, kita titip salam saja. Semoga enggak lekas mati," jawab Ardian sembari terkekeh.

"Biarkan saja, mau mati gue juga enggak peduli kok. Itu balasan yang cocok buat anak koruptor kaya dia, makan uang haram sih," sinis Tasya.

Apakah mereka akan bersikap sama, seandainya tahu kebenaran tentangku? Batin Bima.

Bima melangkah ke meja belakang dengan kedua tangan mengepal kuat di sisi tubuh, tatapannya tajam bak siap memangsa lawan. Tangannya menggebrak meja cukup kuat, hingga
membuat gadis berambut sebahu itu beranjak mundur. Semua perhatian sepenuhnya tertuju pada remaja bertubuh jangkung itu.

"Kalau lo enggak mau ikut, tinggal bilang. Enggak perlu bicara sekasar itu, Arjuna enggak bersalah di sini. Apa pantas kalian menumpukan kebencian padanya, padahal dia enggak tahu apa-apa?"

Bima menatap temannya satu per satu, semuanya menunduk. Entah menyesal atau sekadar takut dengan sikapnya, ia sendiri tak bisa menebak.  Kata itu memang tak tertuju padanya, tetapi tetap saja berhasil menusuk jantung. Bagaimana jika Arjuna mendengar sendiri ucapan Tasya?

"Asal kalian tahu, Arjuna sudah menderita karena kasus itu. Ditambah sikap kalian yang di luar batas, menurut kalian seberapa besar penderitaannya?"

Tak ada satu pun yang menyahut, semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Bima memilih berlalu begitu saja karena diabaikan. Harapannya cuma satu, setelah ini Arjuna kembali diterima dengan baik.

Sepeninggal Bima, kelas itu kembali riuh. Tak ada satu pun dari mereka yang menyangka bahwa Bima bisa bersikap setegas itu hanya untuk membela Arjuna.

"Kalian mau ikut jenguk Arjuna enggak?" Alvian melempar tanya.

"Enggak, gue malas jenguk anak koruptor itu. Mendingan gue nge-mall, nyalon buat perawatan daripada buang-buang waktu." Tasya berlalu keluar.

Murid lainnya masih tak tahu harus bagaimana, perkataan Bima memang tak salah. Arjuna tak bersalah di sini, tetapi tetap saja kejahatan yang dilakukan ayahnya merugikan banyak pihak.

"Terserah kalian, gue mau pulang. Lagi pula gara-gara bokapnya, nyokap kena PHK. Gue masih sakit hati soal itu." Davian menyahut.

"Gue mau balik juga, lagian udah ada Bima yang jadi perwakilan kelas buat jenguk si Juna." Sinta menimpali.

Akhirnya, mereka memilih pulang. Hati mereka telah dibutakan oleh kebencian yang ditebar akibat sikap buruk Revan. Menjadikan Arjuna pelampiasan atas kesalahan yang dilakukan oleh sang ayah, tanpa mau peduli bahwa remaja itu yang paling menderita di sini. Menganggap bahwa sikap yang ditunjukkan adalah yang paling benar.

Mereka hanya terpaku pada satu kesalahan yang sebenarnya tak pernah dilakukan oleh Arjuna. Namun, lupa bahwa lebih banyak kebaikan yang pernah ia lakukan. Manusia memang begitu, satu kesalahan di masa sekarang mampu menutupi sejuta kebaikan di masa lalu.

Kulon Progo, 12 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top