Bab 3

Suasana sekolah sepi karena waktu memang masih menunjukkan jam enam pagi, tetapi Arjuna telah duduk di kantin untuk sarapan.

"Tumben Mas Juna sarapan di sini? Biasanya istirahat siang saja tidak ke sini?" Alvi meletakkan semangkok bubur ayam dan segelas teh hangat di meja.

Arjuna yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya mendongak sembari tersenyum sendu. Hal itu tertangkap jelas oleh manik hitam Alvian, membuat pemuda 25 tahun itu turut duduk menemani.

"Dalam hidup selalu saja ada ujian yang harus dilewati. Berat ataupun ringan tergantung bagaimana kita menyikapi," ucap Alvian tanpa menoleh.

Arjuna menghentikan suapannya, beralih menatap Alvian yang memandang lurus ke depan. Ia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan.

"Sudah mirip Mario Teguh, Bang. Kata-kata mutiaranya boleh juga." Arjuna terkekeh.

"Daripada ketawa enggak jelas, mendingan habiskan tuh bubur. Kalau enggak makan, pingsan di kelas, kan, enggak lucu."

"Bang Alvi bisa aja, tetapi makasih buat kata motivasinya." Arjuna tersenyum lebar hingga kedua netranya menyipit.

Alvi hanya mengangguk, kemudian kembali ke tempatnya karena kantin yang mulai ramai. Sementara itu, Arjuna kembali ke kelas usai menghabiskan sarapannya.

Saat memasuki kelas, beberapa temannya telah duduk di meja masing-masing. Ada yang sibuk berbincang, membaca buku dan ada juga yang tidur. Ia segera menuju ke bangkunya dan duduk di sana sembari membaca buku.

Waktu kian beranjak, kelas pun semakin riuh. Namun, tak dapat mengusik Arjuna yang tengah serius membaca buku. Lebih tepatnya berpura-pura membaca karena fokusnya telah lenyap karena masalah menimpa.

"Dengar-dengar, ayahnya Juna kemarin ditangkap polisi karena korupsi," bisik Reva.

Arjuna memejamkan mata sembari menarik napas panjang. Namun, tetap berusaha tenang. Seolah tak mendengar apa pun yang tengah dibicarakan oleh teman-temannya.

"Semua asetnya juga disita, termasuk rumah yang ditempati." Delia menimpali.

"Hah? Terus Juna tinggal di mana?" Ardian berteriak saking terkejutnya.

Dengan cepat bibirnya dibekap oleh Delia. Semua orang menoleh ke arah mereka bertiga, tak terkecuali Arjuna. Namun, remaja bertubuh ringkih itu hanya menoleh sekilas. Sadar bahwa dirinya tengah menjadi topik perbincangan, ia memilih berlalu keluar untuk menenangkan diri.

Setelah Arjuna menghilang di balik pintu, penghuni kelas XII IPS 2 itu berkerumun mendekati Reva. Penasaran dengan apa yang terjadi pada sang ketua kelas.

"Kalian tahu dari mana, Va?"

"Dengar dari Ayah, kan, sekantor sama Om Bagas." Reva menyahut.

Mereka kembali ke meja masing-masing begitu mendengar bel masuk berbunyi. Tak lama kemudian, Arjuna masuk disusul oleh Pak Radit-guru bahasa Indonesia-yang mengampu di jam pertama.

"Hari ini kita akan belajar secara berkelompok, setiap kelompok terdiri dari lima orang. Kalian bisa memilih sendiri teman yang menjadi tim kalian."

Mereka bergegas bergabung dan membentuk kelompok sesuai arahan Pak Radit. Namun, tak satu pun yang mendekati meja Arjuna. Remaja berwajah bulat itu hanya menghela napas, menyadari perubahan sikap teman-temannya.

"Oke karena hanya tersisa Arjuna, dia bisa memilih akan ikut di kelompok mana. Juna, kamu mau ikut kelompok mana?" Pak Radit memastikan.

"Bapak saja yang menentukan, saya berada di kelompok mana pun tidak masalah." Arjuna tersenyum sopan.

Akhirnya Pak Radit yang memilihkan anggota kelompok untuk Arjuna. Dengan begitu, ia tak akan merasa canggung ketika berdiskusi dengan teman-temannya.

"Kalian harus membuat dongeng fabel. Tugas dikumpulkan minggu depan." Pak Radit menjelaskan.

"Baik, Pak. Kalian bisa cari referensi dari perpustakaan sekolah ataupun internet. Penilaian utamanya adalah amanat yang disampaikan melalui dongeng itu sendiri. Kalian bisa bergerak sekarang karena saya sedang ada kepentingan."

"Baik, Pak."

Pak Radit meninggalkan kelas XII IPS II diikuti oleh Arjuna, Nadia, Lina, Damar, Davian dan Tasya yang berencana ke perpustakaan. Tak ada perbincangan selama perjalanan, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sesampai di perpustakaan, mereka menyebar untuk mencari referensi buku yang dicari. Dalam lima menit, Arjuna telah berhasil menemukan buku yang dicari. Ia hafal dengan letak buku-buku yang ada di sana, sehingga bisa dengan mudah menemukan.

"Guys, gue udah dapat bukunya nih." Arjuna mengangkat buku di tangannya tinggi-tinggi.

Kelima temannya yang tadi sibuk mencari pun menoleh dan menghampiri Arjuna, kemudian duduk berhadapan di meja paling pojok. Namun, mereka hanya saling pandang tanpa berbicara apa pun.

"Lo aja yang ngerjain, kita mau balik ke kelas. Yuk, guys!" Seru Davian.

Nadia, Lina, Tasya dan Damar turut bangkit dan berlalu tanpa kata. Meninggalkan Juna yang terpaku di tempatnya. Dadanya seketika sesak, menyaksikan sikap teman-temannya yang mengabaikan.

Arjuna menangkup wajah dengan tangan sembari menarik napas panjang, mencoba menguraikan sesak di dada. Namun, bukannya berkurang. Sesak itu justru terasa semakin mengimpit, membuatnya seolah kehabisan oksigen.

Astagfirullah, kenapa mereka berubah secepat ini? Apa semua ini karena masalah yang menimpa Ayah? Batin Arjuna.

Arjuna berusaha mengenyahkan rasa sakit di hati, beralih meraih buku yang tadi diambil. Membacanya dengan saksama dan memikirkan ide untuk tugas dari Pak Radit. Membuat dongeng fabel tentu tak akan semudah yang dibayangkan, apalagi bila hanya dikerjakan seorang diri.

"Gue enggak bisa mengandalkan mereka dalam tugas ini. Jadi, mau enggak mau harus mengerjakan sendiri. Melapor ke Pak Radit pun rasanya tidak mungkin, itu sama saja dengan membunuh mereka."

Remaja beralis tebal itu pun memilih acuh tak acuh pada sikap teman-temannya. Lebih memilih fokus pada tugas yang harus diselesaikan, waktu seminggu itu hanyalah sebentar. Ia berada di sana hingga bel tanda istirahat pertama berbunyi.

Arjuna masih membolak-balikkan halaman buku yang dibaca ketika anak-anak yang lain masuk.

"Itu, kan, Arjuna anaknya Pak Bagas yang kemarin ditangkap karena korupsi."

"Enggak tahu malu banget ya, masih berani muncul di sekolah. Kenapa enggak dikeluarkan aja dari sekolah?"

Arjuna mendengar semuanya dengan jelas, kali ini bukan hanya bisik-bisik seperti teman sekelasnya. Namun, berbicara tepat di samping remaja itu. Ia yang sejak tadi memilih diam pun merasa terusik, tetapi masih berusaha menahan diri.

"Jangan-jangan bayar uang sekolah di sini juga uang hasil korupsi!"

Arjuna mengepalkan kedua tangannya di bawah meja sembari merapal istighfar dalam hati. Mencoba meredakan emosi yang menguasai jiwa, tahu bahwa semua itu hanya akan sia-sia.

Anggap saja lo enggak dengar apa pun, Jun, batin Arjuna.

Ia pun memilih berlalu keluar, berada di sana hanya akan menambah dalam luka dalam hatinya yang masih menganga lebar.

"Anaknya sih teladan, tapi sayang bokapnya koruptor."

Seandainya kalian ada di posisi Arjuna, apa yang akan kalian lakukan? Diam atau melawan?


Anfight batch 6
Day 3
Kulon Progo, 3 Januari 2020
















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top