He Has Power from His Parent

Anak itu urusannya banyak, nggak cuma makan doang - R

🍃🍃🍃

Dean dan Loen berdiri di belakang R yang tengah duduk berhadapan dengan Pak Wahyu, guru olahraga mereka. R menahan tawanya saat guru baru itu berkacak pinggang dengan tatapan yang menantang. Kumis tebal miliknya ikut bergerak ke atas dan bawah seiring dengan mulutnya yang berbicara.

"Saya sudah banyak mendengar cerita kamu dari guru lain, Aris."

R masih sibuk memainkan ponselnya. Seperti biasa, ia akan mengadu ke mamanya apabila ada guru yang mengajaknya bermain seperti sekarang. Dengan santai, R sedikit menendang meja guru agar bisa memutar kursinya--yang terdapat roda--ke kiri dan ke kanan.

"Menghadap ke saya sekarang!" gertak Pak Wahyu.

Dean dan Loen tersentak saat gurunya tersebut berteriak. R menyunggingkan senyum dan menghentikan aksinya, lalu mendekat hingga menatap lekat ke lelaki yang kembang kempis berkat ulahnya. Ia senang melihat orang yang berhadapan dengannya tersulut emosi seperti ini.

R segera memberikan ponselnya pada Dean yang berada di belakangnya dan kembali memajukan kursinya sampai menyentuh pinggiran meja. Ia kemudian menopang dagu dan tak mengalihkan pandangan pada Pak Wahyu. Lesung pipi yang sudah bertengger di raut wajahnya terlihat atraktif.

"Maaf, Pak, kalau benar Bapak sudah sering mendengar cerita tentang saya, Bapak nggak mungkin sembarangan membentak saya seperti itu. Berbohong nggak baik, lho, Pak," ucapnya dengan nada yang manja

"Apa maksud kamu?"

R segera bangkit dari duduknya dan berniat mendekatkan wajahnya pada Pak Wahyu. Namun, langkahnya limbung karena pening di kepala belakangnya tiba-tiba menyerang. Untung Dean dengan sigap menahan tubuh R sehingga ia tidaj terjungkal dan menanggung malu. Sayang, lelaki gengsian itu malah menepis bantuan Dean dan mendekat ke telinga Pak Wahyu, tanpa berterima kasih lebih dulu.

Ia pun mulai berbisik. Dean dan Loen yang geli melihatnya lekas menutupi mulut mereka, menahan tawa atas ekspresi Pak Wahyu.

"Gini, Pak, kursi bapak ini sungguh tidak ada apa-apanya dibanding kursi milik mama saya," ucap R pelan sambil melirik Pak Wahyu.

Ia kemudian berdiri tegak dan kembali menendang meja yang ada di hadapannya. Tidak keras, seperlunya saja, cukup untuk membuat guru barunya terperanjat. Ia tersenyum sinis, lalu mendorong kursi yang baru saja ia duduki. R merangkul kedua temannya, meminta bantuan sekaligus mengajak mereka keluar dari ruangan.

"Maaf, ya, Pak, kalau harus berurusan dengan saya. mama saya akan segera datang ke sini, jadi tunggu saja," ucap R sebelum melanjutkan langkah.

Dean dan Loen melambaikan tangannya pada Pak Wahyu sebelum benar-benar keluar dari ruang guru. R lantas melepaskan rangkulannya dan tertawa menghadap kedua temannya.

"Kaki gue sakit, eh."

"Lagian lo sendiri, sih, udah tau meja dari kayu gitu masih aja ditendang," ucap Dean.

"Emang ada meja dari busa, Nyet?" Loen mendengkus sambil menjitak kepala sahabatnya.

Loen yang tak terima langsung menendang pantat Dean dengan sangat keras. Dean pun langsung berlari menghindari amukan lelaki itu. R hanya tertawa dan meneruskan langkahnya perlahan, sambil memijat keningnya. Pukulan Kenand hari ini cukup membuat masalah.

Dean dan Loen yang sudah jauh berada di depan tiba-tiba berlari kembali menghampiri R. Sontak R membelalakkan mata dan mundur beberapa langkah agar tidak tertabrak teman-temannya itu. Ia langsung tahu alasan kedua kawannya setelah melihat mamanya berjalan ke arah mereka.

"R," panggil Maria, mama R.

Lelaki itu mendekati ibu yang telah melahirkannya dan mencium tangannya. Dean dan Loen juga mengikuti apa yang pentolan-nya lakukan. R segera memberi kode kedua temannya untuk berjalan terlebih dulu. Lagi pula, tas mereka masih ada di ruang kelas dan mereka perlu mengambilnya.

"Kamu, kok, pucat? Langsung pulang, ya, jangan macam-macam."

"Satu macem doang, Ma," bela R.

Maria mencium kening R dan melanjutkan langkahnya. Ia harus segera menemui guru anak semata wayangnya itu dan menyelesaikan masalah secepatnya. Banyaknya meeting dengan klien kantor membuatnya terburu-buru. Selain menjabat sebagai Co-Founder Yayasan Immersion, Maria juga memiliki kantor di bidang media yang sudah berdiri sekitar empat tahun.

"Kerja lembur bagai kuda," nyanyi R dengan sangat lantang.

Saat sampai di rumah, R menghabiskan waktu di kamarnya. Ia menyilangkan kedua kaki dan mengambil snack yang ada di sebelah kanannya. Ia mengeraskan volume game-nya agar dapat menyamarkan suara dengkuran Dean. R dan Loen masih fokus menjajaki Xbox One X terbaru milik R. Mereka memainkan Player Unknown Background dengan mode duo.

"Shit, Man," umpat Loen saat jagoannya diambang kematian.

"Resek, pakek clutch segala."

Loen berteriak keras saat permainannya berakhir dengan kekalahan. Dean yang tidur dengan manis sampai tersentak mendengar suara temannya. Ia langsung melempar bantal yang ia kenakan ke arah Loen.

"Santai napa, woy!" ucapnya kesal.

"Sori, sori, khilaf."

R bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kasur. Ia menjatuhkan badannya di atas Dean yang membuat temannya itu mengeluh. Loen yang melihat hal itu reflleks melempar bantal yang baru saja mengenai kepalanya.

"Gue masih polos!" Loen berseru sambil mematikan game console milik sahabatnya.

"Yang nggak santai dari tadi, tuh, lo, De. Ngorok udah kaya orang ngumumin kematian di masjid. Kenceng bener pakek toa," canda R.

"Ya, beda, dong, R. Ngorok, kan, di alam bawah sadar, sedangkan teriak sadarnya sangat rasional."

Kesal, Loen ikut menjatuhkan badannya di atas R dan Dean. Mereka berdua kompak menjerit saat laki-laki itu menimpa mereka. R berusaha bangkit agar Loen terjatuh. Namun, percuma, kawannya itu malah memeluknya erat.

"Najis, woy! Gue itung, nih, ya."

Belum sampai R menghitung, Loen sudah bangkit dan duduk manis. R pun ikut bangkit dan memukul kepala temannya pelan. Dean menghela napas lega setelah terlepas dari berkilo-kilo tumpukan tersebut.

"Udah sore, cabut, yuk?" ajak Loen yang dibalas anggukan oleh Dean.

R berinisiatif untuk mengantar kedua temannya sampai depan pintu. Setelah memakai helm, Dean dan Loen melambaikan tangan mereka sebelum meninggalkan rumah R. Mereka menyalakan klakson saat berpapasan dengan mobil Maria. R yang mengetahui kepulangan mamanya langsung masuk rumah dan mempercepat jalannya menuju kamar.

Meski lelah, Maria masih mau mengetuk pintu kamar R berkali-kali karena tak segera mendapat jawaban dari pemiliknya. Nihil, ia memutuskan untuk turun dan berkutat di dapur. Ia menghangatkan makan malam yang sudah dimasak oleh asisten rumah tangganya. Setiap pukul lima sore, mereka pamit pulang untuk mengurus keluarganya di rumah. Maria tak pernah mempermasalahkan hal itu karena selama kerjaan rumah sudah beres, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sebuah note ia tinggalkan di sebelah makanan yang telah tertata di atas meja. Maria kembali meraih tasnya dan bergegas menuju mobil. Ia harus kembali ke kantor setelah menerima spam dari sekretarisnya.

R keluar kamar dan melihat kepergian mamanya dari atas. Setelah perceraian orang tuanya, rumah besar itu hanya diisi R seorang diri. Maria hanya ada di rumah untuk tidur dan menghangatkan makan malam R, juga mengingatkan obat rutinnya.

"Ck, selalu begini."

Lelaki itu menautkan alis ketika mendengar suara mobil yang masuk pekarangan rumahnya. Buru-buru ia turun, sebab hafal dengan empunya mobil itu. Saat di ambang pintu, ia memasang senyum terbaik dan menyambut pamannya yang keluar dari mobil.

"Halo, Jagoan. Om mampir karena lapar," sapa Farhan, paman R.

"Aku juga lapar, Om. Ayo!"

Farhan merangkul pundak R dan berjalan menuju ruang makan. Sebenarnya laki-laki paruh baya itu mendapat pesan dari adiknya untuk menemui R karena putranya itu tengah merajuk. Berhubung Farhan sedang di area rumah R, ia bisa datang lebih cepat dari biasanya.

"Lihat, mamamu meninggalkan pesan," ucap Farhan sambil memberikan catatan kecil yang ada di depannya.

"Anak itu urusannya banyak, nggak cuma makan doang," sindir R.

"Urusan mama di kantor, kan, juga dalam rangka ngurus anak, R."

"Beda, Om."

Farhan memilih tak menanggapi ucapan R. Lelaki itu selalu sensitif dan bad mood kalau sudah berurusan dengan mamanya. Walaupun tak pernah cek-cok seperti dengan Bani, papanya, R tetap memiliki jarak dengan Maria. Terlebih saat wanita tersebut mulai sibuk di kantornya.

"Bisa-bisa, nih, aku juga cerai ama mama," celetuk R asal.

"Hus, mulutnya! Mending kamu cepet habiskan makanmu, lalu minum obat."

R menyudahi makannya dan membawa piringnya ke dapur. Ia meletakkan benda itu begitu saja dan naik ke lantai dua, meninggalkan Farhan yang setia menatapnya. Lelaki itu sama sekali tak menoleh ke arah pamannya, bahkan ia menutup pintu dengan kencang.

"Keponakan siapa, sih, kaya begitu tabiatnya?" gumam Farhan.

~ to be continued ~

Aku dulu kejepit apaan, sih, bikin tokoh begini 🙃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top