Mencari Kenyataan
"Makanlah terlebih dahulu, setelah itu aku akan memberikan upahmu," kata Duane saat mengunjungi gudang pagi itu.
"Baik, Tuan." Riu mengunyah roti yang dibawakan Duane.
"Nanti pergilah ke rumah depan, aku ingin sedikit berbincang denganmu." Riu mengangguk dengan cepat.
"Jangan katakan apa pun yang menyangkut dirimu yang harus dirahasiakan, kecuali dia bertanya tentang tanda lahirmu, tunjukkan, karena itu akan menjadi petunjuk di mana keberadaan keluargamu. Aku rasa mereka juga sudah berpindah tempat sejak insiden kelahiranmu." Bisikan yang membuat Riu sedih. Kenapa kelahirannya seolah menjadi hal yang sangat mengerikan.
Setelah membasuh wajah dan mengemasi barangnya yang tak seberapa, Riu berjalan menuju rumah depan yang sangat besar. Duane sudah menunggu di kursi di teras. Riu duduk di anak tangga untuk menghormati tuan yang sudah memberinya pekerjaan itu. "Duduklah di sini" Duane menunjuk kursi di depannya. "Duduklah di sini, jangan sungkan." Riu dengan rikuh beranjak dan duduk di kursi itu.
"Terima kasih sudah memberikan pekerjaan untukku, Tuan." Riu tersenyum lebar.
"Aku yang berterima kasih karena apelku tidak jadi membusuk karena kamu panen tepat waktu. Kerjamu cukup cepat untuk anak seusiamu. Ini untuk upahmu." Duane mengangsurkan kantong berisi uang ke arah Riu yang mengambilnya dengan bahagia.
"Tuan, ini terlalu banyak." Riu menatap Duane tak percaya melihat isi dari kantong itu.
"Itu lebih dari cukup, pergunakan dengan sebaiknya. Sebenarnya aku ingin menahanmu di sini, kamu bisa tingal di sini, tapi karena kamu ingin mencari keluargamu maka aku tidak bisa menahanmu." Duane sangat ingin anak itu tinggal karena dia bisa menjadi teman bagi Nick.
"Iya, Tuan. Aku harus mencari mereka." Riu tertunduk sedih.
"Di mana kamu akan mencarinya? Dan apa yang menjadi petunjukmu?" Duane penasaran.
"Aku pernah mendengar kalau mereka ada di Selatan. Dan hanya ini petunjukku." Riu membuka bajunya dan menunjukkan tato di punggungnya. Sebuah tato besar dengan gambar phoenix yang dikelilingi api. Duane sepertinya pernah melihat gambar itu tapi di mana?
"Kapan kamu memilikinya?"
"Sejak aku lahir kata Paman yang mengasuhku."
"Paman? Di mana dia sekarang?"
"Mati, maling itu menusuknya dengan pisau." Riu semakin sedih jika mengingat hari itu.
"Maafkan aku, aku turut berduka. Pasti berat bagimu. Baiklah, jika kamu ingin pergi, pergilah. Berhati-hatilah, jika kamu menemukan kesulitan, pergilah ke rumah dengan gambar apel di atapnya, katakan mereka kamu kenal dengan Duane. Ini, bawalah bekalmu, cukup untuk dua hari. Dan hematlah uangmu." Duane memberi wejangan panjang lebar untuk Riu yang seketika berbinar dengan bekalnya.
"Akan aku ingat semua nasihat Tuan. Terima kasih banyak untuk semuanya." Riu kemudian undur diri dan melangkah ke jalanan yang ramai.
Duane menatap punggung Riu dengan banyak pertanyaan, dia merasa pernah melihat gambar yang ada di punggung anak itu. Tapi di mana?
Riu tertawa-tawa dengan langkah riangnya. Kantung uangnya sudah dia simpan di kantung besar yang dia sandang di punggung beserta baju-bajunya. Sementara kantung berisi roti dari Duane dia pegang dengan kedua tangannya, didekapnya di dada dengan bahagia. Dia tak perlu khawatir dengan makanan untuk dua hari ke depan.
Jalanan kota yang ramai membuat Riu yang selama ini memilih untuk berjalan di pinggir desa atau hutan, takjub. Kereta kuda dengan berbagai bentuk dan mewah membuatnya terheran-heran. Saat sedang duduk di pinggir jalan melihat lalu lalang di depannya, Riu terkejut saat seseorang merampas kantung yang dia dekap di dadanya, kantung rotinya. "Jangan!" Dengan tangan kecil dia berusaha mempertahankan rotinya yang berharga.
Pencopet itu menendang dada Riu dan membuatnya terjengkak, lalu pencopet itu terjerembab karena ada bayangan hitam yang menjegal kakinya. "Setan!" Pencopet itu berteriak ketakutan karena menyadari tangan hitam itu masih ada di kakinya. Riu kemudian mengambil kantung rotinya.
Orang-orang mulai mendekat. "Ada apa?" Seorang wanita paruh baya bertanya sambil membawa panci.
"Dia mencoba mengambil rotiku." Riu menunjuk pencopet yang masih terbaring di tanah.
"Kamu mencopet dari anak kecil?" Wanita mengacungkan pancinya.
"Dia, dia memiliki ilmu setan, ada tangan yang menjegalku!" Teriak pencopet itu.
"Jangan berkhayal, mana tangan itu?" Orang-orang menertawakan pencopet yang kebingungan itu. Buru-buru dia bangkit dan melarikan diri.
"Kamu tidak apa-apa?" Wanita itu bertanya pada Riu yang menggeleng cepat. "Hati-hatilah, banyak orang jahat di sini." Riu mengangguk dan pergi.
"Terima kasih, Paman." Riu berbisik sambil meninggalkan kerumunan dan menyusuri jalan menuju selatan, yang dia perkirakan masih sangat jauh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top