Burung Mati
Ayam berkokok dengan sangat nyaring, Riu masih ingin bergelung di dalam selimut tebalnya. "Bangunlah, jika kita bisa cepat menyelesaikannya, kita bisa segera pergi," bisikan yang membuat Riu bangun dengan enggan. Anak itu mengucek matanya, sorot sinar matahari menyeruak di antara celah dinding kayu.
Setelah mengunyah satu apel, Riu berjalan menuju pohon apel yang akan dipanennya hari ini. Kemarin dia sudah menyelesaikan beberapa, jika dia bisa bekerja dengan cepat, besok dia akan menyelesaikan semua pohon apel di halaman belakang itu.
"Kau sudah bangun?" Pembantu Tuan Duane kaget melihat bocah itu sudah bersiap untuk memanen apel.
"Iya, Paman, semakin cepat semakin baik, bukan?"
"Aku suka semangatmu, sebentar lagi aku akan membawakan sarapanmu." Laki-laki itu meninggalkan Riu yang mulai memanjat pohon.
Matahari semakin menampakkan wujudnya, burung-burung mulai beterbangan dan berkicau meninggalkan sarang mereka. Riu suka sekali mendengarkan kicauan burung di pagi hari.
"Hei, sarapanmu kuletakkan di sini, makanlah dahulu!" Pembantu itu meletakkan beberapa roti dan segelas susu di bawah pohon apel yang Riu panjat.
"Terima kasih, Paman!"
Seorang anak seumuran Riu memegang ketapelnya, melihat ke arah burung yang bertengger di dahan pohon. Dengan matanya yang jeli, dia membidik burung itu, meleset. Dia mendengus kesal, dan mencoba lagi.
Riu sedang memakan sarapannya saat seekor burung terjatuh terkena ketapel anak itu. "Biarkan." Tapi Riu tak menghiraukan bisikan itu, dia mendekati tubuh burung yang terkulai lemah di tanah. "Jangan." Bisikan itu memperingatkan Riu.
"Bangunlah," bisik Riu sambil mengelus bangkai burung malang.
Anak lelaki yang memengang ketapel itu terkejut saat melihat bayangan hitam mengelepar dan mengepakkan sayapnya. Burung itu kembali hidup? "Ayah!" Teriakan yang membuat Riu terkejut karena tak menyangka anak itu berada di belakangnya. Riu berusaha tenang sambil memegang bangkai burung itu. "Apa yang kamu lakukan padanya?" Anak itu menunjuk bangkai yang Riu pegang.
"Aku tak melakukan apa pun, aku ingin menguburkannya." Riu mendengar langkah tergesa mendekati mereka.
"Ada apa, Nick?" Duane dan pembantunya sudah berada di dekat mereka.
"Dia, dia bisa membuat burung itu hidup lagi!" Nick menunjuk bangkai yang tak bergerak di tangan Riu.
"Apa yang kau katakan? Burung ini tidak bergerak." Duane mengambil bangkai itu dari tangan Riu.
"Tapi aku melihatnya! Ada bayangan hitam yang bergerak saat dia mengambil bangkai itu!" Nick berusaha meyakinkan ayahnya.
"Kamu sudah keterlaluan, aku akan menyita ketapelmu, mulai hari ini jangan keluar rumah." Duane kesal karena anak bungsunya itu selalu berulah. "Maafkan dia, dia memang selalu membuat masalah."
"Tidak apa-apa Tuan, biarkan saya yang mengubur burung itu." Riu meminta bangkai itu dari tangan Duane.
Pembantu Duane menyerahkan sekop yang kebetulan dibawanya, "Pakailah ini."
"Terima kasih, Paman." Riu menerimanya dan menuju tanah yang dekat dengan pagar terluar dari halaman belakang Duane.
"Maafkan aku," bisik Riu lirih, takut terdengar oleh orang lain.
"Sudah terlanjur, burung itu akan menghuni kebun ini, kita tidak mungkin membawanya. Saya sudah berpesan untuk berhati-hati." Bisikan yang membuat Riu menundukkan wajahnya dalam. Setelah galian tanahnya dirasa cukup dalam, dia meletakkan bangkai burung itu di sana dan menimbunnya. "Berjanjilah." Riu mengangguk tanpa menjawab, karena dia tahu pasti akan melanggar janji itu di lain waktu.
Sisa hari itu, Riu menjadi pendiam dan bekerja lebih keras, pohon-pohon apel itu akhirnya dia selesaikan. Dia harus secepatnya pergi dari sana.
"Kamu menyelesaikannya?" Pembantu Duane kaget karena beberapa keranjang sudah terisi dan apel-apel itu sudah terpanen.
"Iya, Paman." Riu mencoba tersenyum.
"Mandilah, makan malammu sudah kusiapkan di gudang. Kamu tidak akan pergi malam ini bukan? Tunggulah besok pagi." Riu mengangguk setuju.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top