Yang Berlalu Tak Pernah Benar-benar Berlalu
Dunia memang sempit. Terkadang ke mana saja kita berlari pasti bertemu yang itu-itu saja. Bahkan aku yang sudah tiga bulan pergi dari rumah, dan memilih mengucilkan diri di rumah Tante Risma di Jakarta, masih saja dipertemukan dengan masa lalu. Bahkan aku seperti merasakan de javu saat menemukan kepingan masa laluku yang telah kutinggal pergi.
Aku turun dari jok belakang motor sport Sena. Seketika aku sadar Sena sedang mengajakku ke mana. Sebuah plang bertuliskan Taman Kanan-kanak sudah cukup menjelaskan semuanya. Sena melepas helm, sedikit menyugar rambutnya ke belakang sebelum ia menarik tanganku masuk ke dalam.
"Hai, Sena! Jadi bantuin?" tanya seorang laki-laki paruh baya berseragam cokelat.
"Jadi, Pak. Ini saya bawa istrinya Bimasena," kekehnya.
Aku menepuk jidat dan mendesis tak paham dengan kelakuan humoris Sena bermodal rayuan gombal.
Laki-laki bernama Suroso (aku lihat dari name tag di bajunya), tertawa dengan perut tambunnya yang bergoyang naik turun. Aku hanya nyengir, sepertinya Pak Suroso ini paham dengan tingkah dan celoteh ngawur Sena. Jadi, tak perlu menjelaskan panjang lebar bahwa aku bukan istrinya.
Taman Kanak-kanak ini ternyata milik dari menantu Pak Suroso. Dalam rangka memperkenalka tertib lalu lintas, ia berniat mengisi tembok di belakang sekolah dengan aneka gambar rambu lalu lintas dan beberapa ilustrasi menyeberang jalan yang baik di jalan raya. Sepertinya Pak Suroso ini polisi lalu lintas, beda dengan Sena yang bekerja di Bareskrim layaknya Om Juna.
Beberapa menit suasana sunyi, aku sibuk dengan kuas dan palet. Sementara Sena sibuk membuat skets dengan pensil. Taman Kanak-kanak sedang libur kenaikan kelas, jadi di gedung ini hanya ada aku, Sena, dan Pak Suroso yang baru saja keluar mencari makanan kecil dan minuman.
"Kamu dulu kuliah jurusan apa?" Suara Sena membuyarkan konsentrasiku. Sena masih saja fokus dengan pensil dan gambar skets di tembok.
"Seni rupa, terus sempat juga ikut kursus alat musik." Aku menyahut sambil memulai polesan cat beraneka warna di dinding.
"Pantas saja," gumamnya.
Keningku berkerut, menoleh ke arah Sena; menanti penjelasan lebih lanjut. Sena sama menoleh dan menatapku sejenak.
"Pantas saja tak begitu memusingkan penampilan. Manusia pecinta seni rupa biasanya begitu kan?
"Oh, iya juga, sih," sahutku. Kepalaku mengangguk-angguk beberapa kali secara perlahan.
Sena berkacak pinggang, memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku sedikit takut dengan tatapan horor macam itu. Aku mencondongkan tubuh ke belakang saat Sena mendekat dan menarik ikat rambutku.
"Nah, begini lebih bagus menurutku?" tutur Sena. Lagi-lagi senyum jenakanya muncul.
"Astaga! Kenapa kamu sok akrab sekali? Apa kamu terbiasa begini pada semua wanita? Kita baru kenal beberapa hari ini, 'kan?" Aku mendumal sembari kembali meraih ikat rambut, dan mengikat kembali rambut hitam pekat kebanggaanku yang rajin kucepol hampir setiap hari.
"Tidak, aku sudah mengenalmu jauh-jauh hari sebelum kamu mengenalku," sangkal Sena.
"Aish, terserah apa katamu! Kamu benar-benar aneh," gerutuku.
Sena masih terus mengamatiku dengan kedua tangan yang terlipat di dada bidangnya. Oh, Tuhan! Manusia duplikat campuran Chris Evans dan Song Jong Ki ini kenapa bisa nyasar dalam kehidupanku?
"Hai, Sena? Apa kabar?" Suara lembut seorang wanita menyapa dari arah belakangku.
Sena membeku, tatapan tajamnya berubah sendu. Fokusku pada lukisan di dinding tertahan, memaksa pikiran kepo untuk menoleh pada sumber suara. Detik itu juga jantungku serasa diremas, kepingan masa lalu menyeruak, menusuk kembali menimbulkan sembilu yang menyakitkan.
"Mita?" lirihku.
Mita sama terkesiap menyadariku ada di sini. Dari sorot matanya, aku bisa tahu bahwa pikirannya sama denganku yang sedang terjun bebas kembali ke masa lalu.
**
Suara debuman bola basket terdengar di lapangan basket sekolah. Semua siswa masih asyik dengan sorak-sorai membahana memenuhi hiruk-pikuk suasana classmeeting. Mita dan Nina tampak asyik ikut memberikan support dengan terikan centil mereka. Sementara aku, hanya sesekali bertepuk dan tersenyum di belakang mereka berdua.
"Kak Rizal, ayo semangat!" teriak mereka antusias.
Pipiku memanas. Ah, bukan karena panas terik matahari! Ini murni awal dari kisah my first love on my first sight. Mendengar nama Rizal disebut entah kenapa selalu membuatku berdebar, kemudian wajahku memanas.
Aku terperenyak saat Nina menyikut lenganku. "Mmm, ada bau-bau cinta monyet pada pandangan pertama, nih!" ejeknya renyah.
Aku terkekeh geli. "Kok, tahu?"
"Yaelah, dari awal kamu suka liatin Kak Rizal sambil mesam-mesem kita juga tahu," imbuh Mita.
Nina mendekat dan berbisik, "Aku punya nomor HP dia, mau?"
Mataku membola sempurna mendengar bisikan Nina. "Serius?"
Mita medecakkan lidah. Terang saja ia demikian. Selama ini, di sekolah Mita dan Nina memang terkenal populer. Mereka berdua juga dekat dengan jajaran kakak kelas yang kece dan sama populernya. Melihat sikapku yang seolah tak percaya membuat Mita sedikit kesal rupanya.
Semua berawal dari sini. Di mana aku mulai terlempar dari garis pertemanan mereka. Entah itu hanya perasaanku saja, atau mungkin itu kebenarannya. Yang jelas, nama Rizal menjadi awal mula biduk ketidakpercayaanku terhadap kata persahabatan dengan mereka lebur.
**
Alunan petikan gitar terdengar lembut melalui jemariku. Sesekali aku memejamkan mata menikmati suara merdu bertajuk You're My Sunshine dari Jasmine Thompson yang dibawakan oleh Angel. Sepulang dari taman kanak-kanak tadi aku langsung bekerja di cafe. Sebenarnya, bekerja di sini juga serabutan, hanya saja aku suka melakukannya. Hampir setiap hari aku menyempatkan bermain musik atau mendengar musik. Hal itu cukup menyenangkan dan menghibur hati yang lelah.
Suara tepukan dari pengunjung cafe terdengar semarak. Aku tersenyum sedangkan Angel—penyanyi cafe itu mengangguk dan ikut bertepuk menatapku.
"Makasih, Kak Arimbi. Aku senang bisa main di cafe bareng kamu, Kak," katanya riang.
Aku meringis sambil mengangguk, kemudian tersenyum. "Ya, aku juga senang mengiringi suara kamu yang bagus itu."
"Eh, serius?" Angel terlalu senang hingga ia berjingkat-jingkit antusias mendengar pujian dariku.
"Lho, serius dong! Untuk ukuran anak remaja SMA macam kamu tentu saja itu sangat bagus," pujiku lagi.
Angel lagi-lagi kegirangan. Gadis remaja itu memang penuh semangat, murah senyum, dan easy going. Ia sempat memelukku sebelum beranjak pulang. Pukul 9 malam sebentar lagi cafe tutup, jadi hampir semua pekerja di sini kelimpungan ingin cepat-cepat beres-beres dan pulang. Tak terkecuali aku yang juga sama sibuknya mengemas gitar akustik ke dalam tas.
"Istri Bimasena, mau pulang tidak?" Suara sapaan tersebut membuatku celingukan takut ada yang mendengar dan salah paham.
"Ih, kamu ngapain ke sini?" tanyaku geram seraya menghampirinya ke bawah panggung.
Sena terkekeh, kedua tangannya ia sembunyikan dalam saku celana chino berwarna hitam yang ia kenakan. Tidak ada tanda-tanda ia habis tugas dari kepolisian karena ia tidak mengenakan seragamnya. Matanya menelisik ke setiap sudut cafe.
"Istri Bimasena juga bekerja di sini?" tanyanya, mengabaikan pertanyaanku barusan
Aku memutar bola mata dengan malas. Oh, Tuhan, hidupku menjadi semakin sulit saja mengenal laki-laki ini. Tentu saja menyulitkan! Tampangku ini sudah pas-pasan dan sulit mencari jodoh. Dengan caranya memanggilku istri Bimasena itu bisa saja laki-laki yang berniat mendekatiku langsung mundur; menyangka aku adalah istrinya sungguhan. Ya, meski aku, sih, senang saja kalau ternyata Sena benar-benar jodohku. Tapi laki-laki misterius ini belum lama aku kenal. Siapa yang tahu kalau ia playboy, bagaimana? Diusiaku yang sekarang ini sudah tentu harus dewasa dalam memilih jodoh. Jangan asal suka karena tampan.
"Iya, aku bekerja di sini. Kamu ngapain ke sini?"
Sena menghentikan aktivitas menelisik isi cafe dan memfokuskan pandangannya padaku. "Tentu saja menjemputmu. Iptu Juna sudah mengizinkanku menjemputmu pulang hari ini," terangnya. "Wah, sepertinya asyik bekerja di sini. Aku juga mau bekerja part time di sini. Tapi jam kerjaku padat. Kalau ada kasus mendadak dan harus ke TKP jadi sulit membagi waktu."
Sena berceloteh seolah aku benar-benar menjadi teman akrabnya. Padahal aku sama sekali belum begitu dekat dengannya.
"Duduk saja dulu, aku mau membantu temanku itu," kataku memotong celoteh panjang lebarnya yang entah ke mana alurnya.
Sena memandang ke mana arah jari telunjukku menunjuk. Ia tersenyum saat melihat wanita berbaju pelayan dengan perut membuncit sedang menata gelas di atas mini bar. Entah senyum apa itu, aku tak begitu memedulikannya dan langsung meninggalkannya sebentar.
Aku pikir ia akan bosan menungguku, tapi nyatanya ia masih saja menungguku setengah jam sambil bermain ponsel.
"Sudah? Aku baru tahu ternyata istri Bimasena rajin dan suka menolong ibu hamil," celotehnya lagi. Bahkan celotehannya itu dengan mudah ia lontarkan sembari fokus di layar ponsel.
Aku tak menjawab, hanya mengamatinya yang masih asyik bermain game dari ponsel pintar berlogo apel tergigit itu.
"Ah, menang lagi," gumamnya senang. "Yuk, pulang!"
Sebuah gerakan tak disangka-sangka. Ia bangkit dari duduk dan menggenggam telapak tanganku. Astaga naga! Apa yang harus aku lakukan berjalan sambil bergandegan begini, dengan orang yang kerap memanggilku 'istri Bimasena' setiap waktu? Kuharap Sena tak melihat gelagat canggung dan wajahku yang memanas.
"Eh, tadi Pak Suroso bilang lukisan kamu bagus, lho. Katanya lain kali mau dilukiskan lagi. Oh ya, kata Iptu Juna kamu dulu juga guru melukis, ya? Katanya dulu waktu SMA kamu juga sering juara lomba lukis." Lagi-lagi laki-laki sok akrab berwajah manis ini berbicara panjang lebar, padahal aku tak sedikit pun menanggapinya.
Mendengar kata SMA disebut aku jadi teringat Mita. Ada hubungan apa sebenarnya antara Mita dan Sena? Pacar? Wajar, sih, kalau pacar. Mita cantik dan Sena tampan. Mereka berdua tampak serasi. Ah, kenapa aku jadi merasa semakin tidak percaya diri begini, ya?
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Kuberanikan diri bertanya saat Sena mengajakku mampir duduk di kedai milkshake dekat kompleks perumahan Om Juna. "Kamu dan Mita kenapa bisa kenal?" Aku langsung melontarkan pertanyaan saat Sena mengangguk tegas.
Sena terdiam beberapa detik. Kemudian ia tersenyum tipis. "Teman saja. Kamu teman SMA Mita, ya, 'kan?"
Kuanggukan kepala sembari menggigit crepes cokelat. "Dulu satu SMA di Jogja, tapi kuliah beda jurusan."
Sena kembali terdiam. Ada gelagat enggan membahas wanita bernama Mita. Ia lebih memilih sibuk dengan milkshake-nya. Aku pun sama; enggan membahas Mita. Mungkin kelak bila waktu dan takdir mengizinkan, pasti semua akan jelas dengan sendirinya. Semua masih menjadi teka-teki Tuhan. Tuhan menghadirkan Sena dan Mita dalam kehidupanku, disaat aku sedang menata hidup. Ya, menata hidup dalam rangka pelarian dikejar wajib cepat menikah oleh keluargaku.
**
(27-01-2018)
Jangan lupa vomment bagi yang berkenan.
Terima kasih. ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top