Cukup Menjadi Sahabat

Haatchiiih...!

Ini sudah kesepuluh kali aku bersin. Tanganku sibuk menggeragap tisu dan menyisihkan gumpalan lendir dari hidungku. Hawa di sekitarku terasa dingin meski aku telah mengenakan jumper tebal—demam. Sudah dua hari ini tubuhku serasa malas diajak bekerja karena flu yang mendera.

Aku masih duduk di sofa ruang santai sambil menyesap air putih hangat dan bubur buatan Tante Risma. Sena keluar dari kamarnya dengan seragam cokelat dinasnya lengkap dengan baret dan pistol di pinggangnya.

"Kamu sakit?" tanyanya seraya duduk di sebelahku dan sibuk memasang tali sepatunya.

"Enggak, cuma flu, haatchiiiih...!"

Astaga! Memalukan sekali bersin di depan pria tampan sambil mengelap ingus. Sena malah terkekeh geli. Ia sempat meraih kotak tisu di meja dan menyerahkan padaku.

"Tunggu di sini sebentar," kata Sena.

Ia kembali ke kamarnya dan keluar lagi sambil membawa selimut tebal. "Semoga cepat sembuh," ucapnya.

"Terima kasih," sahutku canggung. Tanganku mengeratkan selimut ke tubuh. Sena tersenyum menatapku.

Sena yang sudah pamit, terhenti langkahnya di depan pintu ruang santai saat pintu kamar Nina terbuka. Wanita itu sibuk mengangkat beberapa kardus. Aku memutar bola mata tak habis pikir dengan wanita berdagu runcing itu. Kupaksakan tubuhku berdiri dan mengambil alih kardus yang lumayan berat dari tangan Nina.

"Duduk saja. Biar aku yang mengeluarkan kardus-kardus ini. Tidak seharusnya kamu membawa beban begini," kataku sedikit ketus.

Sena mendengus menghampiriku. "Kamu sakit, kamu juga perlu istirahat. Biarkan kardus itu di depan kamar Nina. Nanti sepulang kerja aku yang membereskannya."

"Makasih, Bripka Sena." Nina tersenyum manja.

Aku melempar pandangan jengah—muak. Sena mengeluarkan tiga kardus dari kamar Nina dan meletakkannya di ruang santai untuk sementara. Ia harus bergegas sekarang untuk bekerja. Om Juna bisa saja menghukumnya jika telat berangkat apel pagi ini. Om Juna tadi sebelum berangkat kerja sempat menemui Sena untuk bergegas. Ada kasus yang mengharuskan Sena terjun langsung ke TKP bersama Om Juna.

Aku menatap Nina beberapa detik sebelum angkat bicara. "Jangan bertingkah aneh dan berlaku tidak baik terhadap laki-laki mana pun, sebelum masalahmu clear."

"Apaan, sih, Arimbi? Aku tadi cuma ngucapin makasih aja, kok," sangkalnya. "Lagian apa hakmu melarang aku berdekatan dengan Sena? Kamu pacarnya Sena?"

Aku mendesis geram. "Nina, please, bersikaplah dewasa. Segera temukan Rizal! Aku nggak mau Sena terseret dalam masalahmu yang pelik itu."

Nina hanya mengedikkan bahu santai. Aku semakin tidak mengerti dengannya. Wanita berusia 28 tahun bisa bersikap demikian buruknya. Kuraih selimut Sena di sofa sembari berlalu masuk ke kamar. Cukup untuk berdebat yang tak penting dengannya. Semua ini sungguh membuat kepalaku semakin mau pecah saja.

**

Mataku terasa panas. Sedari tadi siang aku menghadap di depan laptop Nina. Nina sedang kerja lembur katanya. Dia belum sempat mengerjakan tugas dari atasannya untuk mengetik ulang laporan keuangan. Dan anehnya, sebesar apapun kemarahanku pada Nina, aku selalu tak sanggup menolak permohonannya.

Tisu berserakan di lantai. Aku semakin kerepotan dengan hidungku yang pilek. Sena mengerjapkan mata, menatapku yang masih saja sibuk dengan kerjaan orang lain di ruang santai.

"Kamu ini sedang apa?" tanyanya. Ia sempat melongok ke arah layar laptop.

"Nina sibuk, dia tidak sempat mengerjakan tugas dari atasannya. Lagian dia nggak boleh terlalu capek." Aku menyahut sambil terus fokus dengan kerjaan Nina.

Sena terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu atau malah menertawakan kebodohanku.

"Arimbi, bisakah kamu mengatakan tidak?" tanya Sena.

"Maksudmu apa, sih?"

Sena mendesah lirih. "Kamu sedang sakit, kalau memang tidak sanggup memberikan bantuan katakanlah tidak bisa. Jangan takut untuk menolak, karena kamu juga punya hak untuk menolak, bukan?"

Kuhentikan gerakan jariku dari atas keyboard. "Sena, Nina lebih membutuhkan bantuan daripada aku. Dia nggak boleh bekerja terlalu berat. Aku takut terjadi sesuatu padanya."

"Tapi bukan berarti kamu tak mementingkan kesehatanmu sendiri begini." Sena mendebat.

Aku hanya mengedikkan bahu dan menyesap air putih hangat, kemudian kembali bekerja. Sena menggelengkan kepala. Ia memilih bergegas ke kamar dan mandi. Sena baru saja pulang kerja dan belum sempat mengganti pakaian seragamnya.

Jam dinding antik di ruang tamu Tante Risma berdentang delapan kali. Itu artinya sudah pukul delapan malam. Nina tak kunjung pulang. Ke mana sebenarnya wanita itu? Tidak bisakah ia menelepon barang sebentar?

Mataku mulai kelelahan, efek obat flu yang kuminum membuatku mengantuk. Perlahan aku meletakkan kepala di atas meja. Sedikit demi sedikit mataku mulai terpejam. Sebelum benar-benar terpejam, lamat-lamat aku seperti melihat sosok Sena datang dan tersenyum padaku. Antara sadar dan tidak sadar, aku masih bisa merasakan telapak tangan Sena yang mengusap lembut rambutku, kemudian ia duduk di sampingku hingga aku benar-benar terpejam.

Saat aku benar tertidur, harapanku melambung. Semoga, Tuhan bersungguh-sungguh mengirim Bimasena untuk Dewi Arimbi si buruk rupa yang selalu gagal mendapatkan cintanya. Aku tak berharap terlalu tinggi.

Cukup di sampingku saja Sena. Sebagai sahabat, itu pun sudah membuatku gembira.

**

(10-02-2018)

Halo, selamat malam. :))

Kabarnya, Arimbi akan beredar di toko buku Gramedia dan Togamas se-Indonesia pada tanggal 8 Maret 2018.

Yuk, segera menabung dari sekarang untuk bisa memeluk versi cetak Arimbi dan Sena.

Terima kasih banyak atas dukungannya. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top