Bimasena; Aku Terpana

Aku menyesap cappuccino-latte. Sesekali menghirup uap hangat darinya. Scene yang sejujurnya sangat pas untuk ....

No! Aku sedang tidak duduk bersama kekasihku atau bahkan menunggu pria tampan datang menjemputku. Jangankan kekasih, teman laki-laki saja aku tidak punya. Bukan berarti aku tidak ingin, mungkin memang nasibku begini.Lagipula siapa yang mau berkencan dengan wanita berkacamata minus 2 dengan wajah pas-pasan, hidung hampir tenggelam, ditambah tatanan rambut dicepol berantakan.

"Kamu itu cantik, Arimbi. Yang bisa menilai seseorang itu orang lain. Bukan diri kita sendiri."

Perkataan sahabatku—Arumi—terngiang di telinga. Ia adalah satu-satunya teman yang aku punya. Gadis berwajah keibuan berdarah Jawa sepertiku sudah kukenal sejak duduk di bangku SD. Tapi, semenjak aku memutuskan mencari pekerjaan di kota Jakarta kami terpisah.

Dengan berat hati, aku meninggalkan kota Jogja tempat kelahiranku. Mulanya aku bekerja di salah satu sekolah dasar elite di kota Jogja—mengajar Seni Budaya dan Keterampilan. Hingga semakin usiaku bertambah, aku semakin gerah dengan kejaran keluargaku perihal jodoh. Tak tahan lagi, aku memilih hengkang dari rumah dengan alasan ingin berkarier di Jakarta.

Berulang kali keluarga besar menjodohkanku dengan aneka macam laki-laki. Banyak yang mundur setelah melihat tampangku. Ada juga yang mengejar, tapi aku yang menghindar. Jujur saja, aku adalah tipe wanita pemilih. Walaupun aku sadar, aku bukan wanita tercantik sedunia, namun sifat pemilih tertanam dalam diriku. Sekali saja laki-laki di dekatku berani mendekatiku dengan cara yang kurang ajar aku mendadak ill-feel. Atau aku akan berpura-pura sakau saja supaya laki-laki itu menjauh.

Pernah tanteku dari Bali mengenalkanku dengan teman laki-lakinya, mengingat usiaku yang hampir mengakhiri angka dua puluhan. Waktu itu aku sedang liburan di rumahnya di Denpasar. Tapi peristiwa itu berakhir dengan adegan tanteku marah-marah saat tahu aku menampar temannya.

Hello! Apa aku salah menampar laki-laki yang dengan seenaknya hampir menciumku,sementara kita baru berkenalan sejam yang lalu dalam pesta ulang tahun tanteku?

Cerita perjodohanku yang lain? Oke, masih ada. Suatu ketika Eyang Kakung mengenalkanku dengan rekan bermain wayangnya. Laki-laki itu teramat sopan, bicaranya lemah lembut mendayu-dayu. Hingga aku pernah dengan iseng mencarikan mic wireless milik Eyang Kakung, dan aku berikan padanya. Aku tak bisa membayangkan jika aku menjadi istrinya kelak. Aku harus standby memasang mic agar aku selalu dengar saat dia memanggilku.

Dan semua perjodohan itu selalu gagal, sementara aku tak sanggup mencari jodohku sendiri dengan rupaku yang biasa-biasa saja.

Kembali kuhela napas panjang sebelum akhirnya beranjak dari cafe yang sejak dua jam tadi kusambangi. Sebelah bahuku sibuk membawa gitar akustik kesayangan berbalut tas berwarna hitam. Sedangkan tanganku membawa map merah berisi partitur lagu. Seperti yang sudah kusebutkan tadi, aku bekerja serabutan di kota Jakarta yang hiruk-pikuk. Menjadi guru musik atau seni lukis panggilan di sekolah-sekolah swasta atau negeri yang membutuhkan guru tambahan. Terkadang bermain musik di cafe-cafe teman Tante Risma. Kebetulan Tante Risma bekerja sebagai PNS—guru SMA di Jakarta. Ia baik padaku. Ia selalu menawarkan jasaku pada rekan-rekan guru dan pemilik cafe.

Aku bahkan tinggal secara gratis di rumah Tante Risma. Aku menempati sebuah kamar di belakang rumah yang sengaja dikontrakkan untuk teman-teman Om Juna—suami Tante Risma. Oh ya, Om Juna itu bekerja sebagai polisi di Bareskrim. Sebagian besar penghuni kamar-kamar yang berjajar di belakang rumahnya laki-laki. Ada juga sih yang perempuan. Mereka sama seperti Om Juna, maksudku profesinya sama.

Tak usah membayangkan betapa asyiknya tinggal berdekatan dengan para laki- laki tampan berdada bidang. Percuma saja, mereka tidak ada yang melirikku. Itu tidak mungkin! Siapalah yang tertarik denganku, bila setiap pagi aku duduk di depan kamar dengan kaus big size dan training kebesaran, rambut dicepol berantakan, dan tangan memegangmug berisi hot chocolate.

Kalian tahu, mereka hanya mengedikkan bahu saat menoleh padaku sebentar. Mungkin bergidik ngeri menatapku yang berantakan ini. Bodo amat, aku nyaman dengan kecuekan penampilanku ini. Aku juga enggan menyapa mereka lebih dahulu. Lebih tepatnya aku kurang percaya diri saja saat akan menyapa terlebih dahulu.

Tiba-tiba Mbak Ike—seorang polwan—dan teman-teman polwan yang juga ngontrak di sini muncul. Saat itu aku seperti itik buruk rupa di antara jajaran angsa putih yang anggun. Sebenarnya mereka semua baik, sering mengajakku bergabung untuk makan di luar. Tapi aku menolak karena malu dan merasa tak sepadan dengan mereka.

Kemudian yang terjadi adalah aku semakin percaya bahwa sosok raksasa buruk rupa tokoh wayang Dewi Arimbi benar-benar melekat padaku. Sungguh nama ini kutukan untukku, sehingga aku selalu kehilangan percaya diri saat berkumpul dengan wanita-wanita cantik.

Kuletakkan gitar di pojok kamar. Jam dinding bergambar Mickey Mouse masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Smartphone di saku jumper yang kukenakan berdenting mencari perhatian dariku.

Tante Risma: "Tante sama Om lagi ada acara di Bandung. Besok baru pulang."

Aku mengembuskan napas sambil memutar bola mata dengan malas. Maklumlah, ini weekend dan mereka baru menikah tiga bulan lalu. Masih suasana pengantin baru mungkin. Kulempar ponsel ke sisi tempat tidur.

Tercium aroma mie rebus dari arah dapur kontrakan Tante Risma, mengajak perutku yang sore ini baru diisi sepotong roti dan cappuccino-latte berdendang riang. Eh, tapi siapa coba, malam-malam begini masak mie? Ini weekend, biasanya penghuni kontrakan pulang ke rumah masing-masing.

Kuberanikan diri melangkah ke dapur meski setengah takut-takut. Ah, benar saja. Lampu dapur menyala. Kamarku memang berada di paling pojok dan berdekatan dengan dapur. Aku masuk ke dapur dengan kedua tangan berkacak di pinggang. Tidak ada siapa pun di sini. Tapi ada bekas panci untuk memasak mie. Aku memekik saat menyentuh panci. Panas!

Sebuah tepukan di sebelah bahu membuatku terperenyak dan berjingkat terkejut diiringi teriakan histeris.

"Aku mohon, please, jangan ganggu aku Om Maling mie rebus!" racauku dengan mata tertutup kedua telapak tangan.

"Mau?"

Sosok itu bersuara. Aku membuka beberapa jariku, mengintip siapa yang sedang seenaknya memegang mangkuk berisi mie rebus spesial dengan telur yang terus menggoda iman perutku.

Astaga! Laki-laki tampan dari mana yang nyasar ke sini? Kubuka telapak tanganku, menatap takjub dengan sosok tinggi tegap, berdada bidang layaknya Chris Evans. Alisnya tebal menghiasi tatapan mata tajam dengan manik mata hitam pekat. Bibir tipis bersemu merah layaknya artis korea Song Jong Ki. Astaga! Ini sih, paket komplit badan artis Avengers tampang artis DOTS.

Ia maju selangkah, hampir menghapus jarak yang semula satu meter jadi sejengkal. Aku mencondongkan tubuh ke belakang sambil berpegangan meja kitchen set; takut kalau terjengkang karena saking terpesonanya. Sedikit terkejut saat ia meraih name tag yang masih terkalung di leherku. Aku lupa melepasnya, tadi aku baru saja pulang kerja di cafe teman Tante Risma.

"Arimbi," bacanya. Ia meletakkan mangkuk mie ke meja, kemudian tersenyum menatapku.

"Y-ya?" Aku tergagap, berharap tak meleleh seperti es krim karena tatapannya.

"Istriku," imbuhnya. Kali ini senyumnya lebih lebar dari sebelumnya.

"Ap-apa?!" pekikku terkejut. Apa ia sudah gila? Tiba-tiba mengakui aku yang biasa-biasa ini menjadi istrinya.

Ia masih tersenyum, menunjuk name tag yang terukir di baju bagian dadanya. Aku baru sadar ia mengenakan seragam cokelat kebanggaan Kapolri, sama seperti seragam Om Juna.

"Bimasena," katanya lagi.

Kuamati name tag yang ia tunjuk. Kedua alisku terangkat tak mengerti.

"Dewi Arimbi sang raksasa berhati rupawan istri dari Bimasena. Benar, bukan?" Ia menerangkan sambil kembali mundur ke belakang menjauh dariku.

"I-iya," sahutku. Astaga! Kenapa aku main iya saja?! Aku benci disamakan dengan Arimbi si raksasa. Itu kutukan! Ingin sekali kusentil bibirku yang lancang meng-iya-kan pernyataannya barusan, tapi kutahan. Takut terlihat konyol.

"Maaf mengejutkanmu. Aku baru tinggal di sini. Iptu Juna yang menawariku tinggal di sini." Ia sudah duduk menikmati mie rebus. Bercerita ngalor-ngidul tentang kedekatannya dengan Om Juna. Dan aku seperti orang bodoh hanya membulatkan bibir membentuk huruf O berulang-ulang sambil manggut-manggut.

Berkali-kali aku menelan ludah menatap ia sibuk menyumpitmie rebus yang menyisakan aromanya saja. Ia nyengir, menyadari diriku yang hampir saja ngiler melihat ia menghabiskan mie.

"Masih sisa sebungkus, kalau kamu mau bikin," katanya menawarkan mie instan dari kresek yang tergeletak di meja dapur.

"Oh, boleh," sahutku gembira. Kubetulkan posisi kacamata sebelum akhirnya menyingsingkan lengan untuk membuat mie.

Sena tertawa kecil.

**

(23-01-2018)

Jangan lupa vote dan comment bagi yang berkenan. Terima kasih. ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top