Bertemu Dewi Kunti
Angin semilir menerpa kedua telapak tangan yang kurentangkan. Aku tahu Sena menatapku sesekali melalui kaca spion motor sport merahnya. Biar saja, aku sudah terbiasa dengan tingkah aneh Sena akhir-akhir ini. Akhir-akhir ini aku sering pergi berdua dengan Sena. Entah itu pergi mencari makan di luar, minum kopi, atau hang out mengelilingi kota Jakarta, membeli camilan dan selalu aku yang harus menghabiskan. Lagi-lagi alasan ia sudah kenyang. Kalau kenyang, untuk apa mengajakku mencari camilan, coba?
Sena membawaku ke kawasan Bogor. Aku mulai celingukan saat motor Sena berhenti di sebuah halaman yang luas berpagar tinggi. Sebuah tatanan rumah khas Jawa dengan aneka ornamen ukiran pada kayu jati di sisi dinding terlihat sangat elegan. Bila seperti ini, aku kangen rumah dan kota Jogja. Kugigit bibir menatap rumah di hadapanku sekarang; menahan rindu akan rumah yang bergejolak.
"Ayo masuk," ajak Sena.
"Eh, ke mana?" sergahku cepat.
Sena menghentikan langkah menatapku dengan senyuman khasnya. "Ke rumahku. Aku ingin memperkenalkan Arimbi yang sesungguhnya pada ibuku. Agar dia percaya tokoh Arimbi benar-benar ada."
Bola mataku membesar hampir seperti keluar dari rongga mata. Rumah? Ibu? Astaga! Sena akan memperkenalkanku dengan ibunya? Oh, Tuhan, aku gugup. Belum sempat aku mencegah dan memberikan alasan ini itu, Sena sudah menarik tanganku masuk ke teras.
"Tunggu di sini sebentar. Duduk saja dulu," kata Sena seraya masuk ke dalam rumah.
Aku melongo, namun segera kutepis segala pikiran aneh yang membuatku bertanya-tanya kenapa Sena berkeinginan mengenalkanku pada ibunya. Kita hanya teman saja, bukan?
Teras rumah Sena cukup luas. Di samping kanan ada sebuah panggung, beberapa tokoh wayang berjajar dan tertancap tepat di depan geber berwarna putih. Kuberanikan diri naik ke panggung, menyentuh beberapa tokoh wayang yang amat kukenal. Eyang Kakung dulu suka bercerita kisah dua tokoh wayang ini; Dewi Arimbi dan Bimasena.
Arimbi, sang raksasa buruk rupa yang jatuh hati pada Bimasena putra dari Dewi Kunti. Cintanya tak kunjung berbalas. Hingga ia rela mengikuti ke mana pun keluarga Bimasena pergi. Hidup di hutan dan mengabdi sepenuhnya pada keluarga Bimasena. Ketulusannya selama ini menyentuh hati Dewi Kunti. Karena ketulusan cintanya, ungkapan Dewi Kunti mampu menjelmakan Arimbi si buruk rupa menjadi putri jelita. Bimasena jatuh hati padanya.
Tidak untukku, Arimbi. Bisakah dongeng itu terwujud menjadi kisah nyata? Jikalau saja bisa, maukah Dewi Kunti memberikan mantra ajaibnya untukku? Agar Sena jatuh cinta padaku dan tak berpaling saat wanita cantik mengelilinginya. Tak seperti laki-laki sebelumnya, menyatakan cintanya, namun tak sanggup menahan segala godaan di sekitarnya. Hingga aku perlahan mundur, meninggalkannya.
"Tidakkah kita mirip dengan mereka berdua?"
Aku tersentak mendengar Sena bersuara di sampingku. Saking asyiknya mengamati tokoh wayang sambil menerawang, aku sampai tak sadar kapan Sena ada di sampingku.
"Hei, jadi kamu menyamakanku dengan si raksasa buruk rupa?" Mataku memicing dengan kedua tangan terlipat di dada.
Sena terkekeh. "Siapa bilang kamu buruk rupa? Apa cantik itu hanya rupa saja?"
"Tapi pada kenyatakaan aku tak mengejar-gejar Bimasena, kamu yang setiap hari mendekatiku!" protesku.
"Mmm, baiklah. Aku anggap kamu jatuh cinta padaku, titik." Sena memutuskan sepihak.
Aku menggeleng dengan senyum tertahan. "Hish, dasar aneh!" gumamku.
Sena tertawa renyah, dari tawanya aku tahu Sena tadi sepertinya hanya bergurau untuk menghiburku.
"Ayo ke sanggar menari ibuku. Di belakang rumah, ibuku mendirikan sanggar tari," ajak Sena.
Perasaan gembira membuncah. Sanggar tari? Ini mengejutkan dan menakjubkan. Aku mengikuti langkah Sena di sampingnya. Menyusuri jalan setapak di samping rumah, menuju sebuah bangunan berbentuk rumah Joglo dengan teras yang luas. Suara iringan musik tari Gambyong terdengar lamat-lamat, semakin dekat semakin merdu di telinga. Beberapa anak perempuan usia SD menari mengikuti arahan seorang wanita paruh baya di depannya.
Wajah wanita itu keibuan dan anggun meski telah termakan usia dengan rambut hampir memutih. Gerak tangannya luwes saat menari. Aku jadi teringat ibu. Oh ya, ibuku juga seorang guru tari. Ia mempunyai sanggar tari sendiri dengan puluhan murid baik usia anak-anak maupun mahasiswa. Aku dulu suka membantu ibuku mengajari anak-anak menari.
"Tidak mau ikut mencoba?"
Aku terkesiap, menoleh ke arah Sena yang sudah duduk di pembatas teras—terbuat dari kayu jati. "Boleh?"
Sena hanya mengangguk dan tersenyum. Aku berjingkrak kegirangan. Meletakkan tas ke lantai dan ikut bergabung dengan gerombolan anak-anak. Gerak tari masih aku ingat dengan betul. Tidak sia-sia ibu mengajariku menari dengan baik. Sesekali aku tersenyum saat mataku bersitatap dengan wanita paruh baya di barisan paling depan. Sena asyik menonton. Hari ini, aku merasa bersemangat dan gembira tiada tara. Sifat pemaluku menghilang, lebur termakan kesenangan yang telah lama kutinggalkan beberapa bulan ini.
**
Wanita paruh baya itu bernama Wulan; ibu Sena. Orangnya ramah dan baik. Bahkan selesai menari tadi, ia langsung mengajakku minum teh bersama Sena.
"Kamu suka menari?" tanya Bu Wulan sambil sesekali menyesap teh manis dari cangkir.
Aku mengangguk dan tersenyum. "Suka, Bu. Dari kecil suka menari sama ibu di rumah."
"Jarang ada wanita jaman sekarang yang suka menari tradisional." Bu Wulan memujiku.
Aku tersipu, memegang kedua pipi sambil menoleh ke arah Sena malu-malu. Sena hanya tersenyum lebar menatapku.
Dua orang anak berlarian menghampiri kami yang asyik menikmati teh. "Mas Sena, ayo menari lagi! Kita mau lihat Mas Sena menari tarian Rama Shinta. Mas Sena janji akan menari Rama Shinta,'kan?" Kedua anak itu sudah menggoyang-goyang lengan Sena.
"Ih, kapan janjinya? Aku tidak punya pasangan untuk menari Rama Shinta," tolak Sena sembari menggaruk kepalanya bingung.
"Kakak cantik ini bisa jadi Sinta, iya kan, Kak?" Gadis berambut ikal, berpipi tembem itu menunjukku.
Teh yang sudah kusesap hampir saja tersembur. Aku meraih tisu dan mengelap bibirku yang basah karena teh yang hampir muncrat. Aku? Sena? Rama Shinta? Astaga! Ini sungguh membuatku merinding bulu Roma!
"Nah, boleh. Ayo, dicoba!" Bu Wulan antusias membimbingku dan Sena berdiri.
Hingga aku dan Sena berdiri kikuk di tengah lingkaran anak-anak yang sedang duduk menanti kami menari. Oh, Tuhan! Aku lemas, menggigil, canggung. Sejuta rasanya.
"Aku pikir tidak ada salahnya mencoba. Jangan meragukan kemampuan menari suami Arimbi, istri Bimasena," bisik Sena di telingaku.
Aku menepuk jidat dan menggeleng kepala. Bisa-bisanya ia masih bisa bercanda saat aku mulai gugup dengan pipi yang memerah. Dasar perayu ulung! Kuhela napas perlahan sambil melepas kacamataku dan kuserahkan pada gadis berpipi tembem tadi.
"Oke, tidak ada salahnya," ucapku tegas.
Hari ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Di mana aku, si Arimbi berubah menjadi Shinta yang cantik saat Sena menari bersamaku. Bahkan Sena sama sekali tak memandangku seperti Arimbi si raksasa buruk rupa. Saat laki-laki bermata tajam ini menatapku, aku seolah menjadi wanita tercantik di dunia dalam tarian Rama Shinta.
**
(13-02-2018)
Halo, selamat pagi sambil seruput kopi. :"D
Terima kasih masih setia dengan Arimbi dan Bimasena.
Jangan lupa tinggalkan vomment bagi yang berkenan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top