Andai Mantra Dewi Kunti Benar Nyata
Hari semakin sore. Sanggar tari milik Bu Wulan sudah sepi; setengah jam yang lalu anak-anak sudah bubar. Bu Wulan juga sudah masuk ke dalam rumah, beristirahat setelah dari pagi hingga tengah hari sibuk membimbing tari. Sementara aku dan Sena masih betah berlama-lama duduk di pembatas teras sanggar tari. Saling bersandaran punggung dan menikmati keripik singkong ditemani es jeruk. Suara gemeluk gigi bertumbukan membuat riuh hening di antara kami dan saling bersahutan.
Menari cukup membuat sebagian energiku terkuras. Apalagi menari Rama Shinta bersama Sena dengan durasi lumayan lama; hampir 15 menit. Bukan durasi dan tarian yang membuatku kelelahan, tapi jantungku yang terus berdebar tak mau kompromi membuatku lebih lelah dan ... lemah tak berdaya. Lebay? Bodo amat.
"Mmm, ternyata kamu orang yang mengasyikkan," gumam Sena setelah berhenti mengunyah dan meneguk es jeruknya hingga setengah tandas.
"Oh, ya? Padahal Wildan bilang aku menyeramkan," kekehku.
Sena ikut terkekeh. "Karena dia belum kenal kamu dan tidak mau mencoba mengenalmu."
Aku mendesah malas hendak menceritakan perihal hidupku pada Sena. "Aku saja yang pemalu dan selalu menghindar dari mereka."
"Bukan. Kamu bukannya pemalu. Aku lebih memandangmu sebagai orang yang introvert ketimbang pemalu," terang Sena.
"Sama saja itu, kali!" celetukku.
"Beda. Kalau kamu pemalu, kamu tidak akan pernah mau manggung di cafe. Dan lagi kamu begitu antusias berkumpul dengan orang-orang yang memiliki dunia sama denganmu. Buktinya tadi kamu menari tanpa malu-malu di depan anak-anak. Kamu malu menari?"
Aku tertegun, mencerna segala penjelasan Sena. Aku pikir ada benarnya juga perkataan Sena ini. Buktinya aku selalu sukses dan percaya diri saat aku menyanyi memetik gitarku di depan pengunjung cafe. Bahkan tadi aku dengan tidak tahu malu mau-mau saja menari Rama Shinta bersama ... Sena. Oh, Tuhan! Wajahku bersemu merah mengingat itu lagi.
"Kamu kenapa meninggalkan pekerjaanmu di Jogja?" Sena kembali mencecar.
Aku melenguh sebal, mengubah posisi duduk menghadap halaman sanggar tari dengan wajah tertunduk. "Karena aku sudah tidak kuat lagi, Sena," gumamku lirih.
Sena mengangkat kedua alis menoleh dan menatapku penuh tanya. "Tekanan dari rekan kerja?" tebak Sena.
"Bukan, tapi tekanan dari keluargaku karena tak kunjung punya pasangan. Kamu tahu tidak, sungguh berat saat mendengar pertanyaan horor mana pacarmu, kapan menikah, kok, sendiri saja. Semua itu membuatku lelah. Bahkan ibuku menuduhku ingin menjadi perawan tua." Aku sedikit menggebu menceritakannya, mungkin karena selama ini terlalu lama memendam masalah sendirian.
Mata Sena mengerjap sekali. "Umurku 28 tahun tidak masalah belum kunjung menikah."
"Kamu ini laki-laki, beda sama perempuan. Umur 28 tahun itu sudah masa-masa bahaya bagi keluargaku." Kusandarkan kepala pada tiang penyangga di sisiku. "Aku mau pindah ke Korea saja. Biar seperti Song Hye Kyo, usia 30-an baru menikah tenang-tenang saja," imbuhku konyol.
Sena hampir tertawa, namun ia tahan dan melempar pandangan ke halaman sanggar tari. Suasana kembali hening, kami berdua asyik melihat sekitar yang mulai temaram karena senja hampir tiba. Gesekan daun pohon akasia seolah bernyanyi saat tertiup angin semilir. Saat seperti ini aku jadi membayangkan wanita cantik di iklan shampo yang rambutnya bergoyang tertiup angin. Sayangnya, rambutku yang kerap dicepol ini mana mungkin bisa menandingi wanita cantik dalam iklan shampo.
Seperti bisa membaca pikiranku, tangan Sena mulai bergerak usil menarik ikat rambut yang mencepol rambutku. Rambutku terurai bersamaan dengan embusan napas kasar karena gusar. "Kenapa kamu kebiasaan sok akrab sekali?" geramku.
"Lho, kita memang sudah akrab dari beberapa hari yang lalu," kekeh Sena.
Telepon dari Nina membuatku urung merebut kembali ikat rambutku.
"Halo, ada apa?" tanyaku to the point.
"Bisa cepetan pulang nggak? Aku di kontrakan sendirian. Badanku masih belum sehat," mohon Nina dengan suara lemah.
"Aku lagi di Bogor. Kamu sakit apaan?" tanyaku lagi.
Tanganku gemetar, pikiranku kacau. Aku tahu tidak ada gunanya memikirkan Nina yang telah mengacaukan kebahagiaan masa remajaku. Hanya saja aku tak menyangka Nina melakukan hal bodoh di usiaanya yang sudah cukup untuk dianggap dewasa. Lalu, mengapa bisa wanita cantik seperti Nina menjadi terlihat buruk di mataku sekarang? Bahkan kecantikan fisiknya itu seolah lebur dan tak sanggup membuat kagum siapa pun yang melihatnya untuk kali ini.
**
Aku membanting daun pintu kamar Nina dengan cukup keras. Suara debuman terdengar memekakkan telinga, menyamarkan isak tangis Nina yang mulai meringkuk di ranjang. Mataku sudah memerah, menahan bulir bening di pelupuk mata, kemudian terburai saat aku duduk menyendiri di gazebo taman mini depan kontrakan. Beruntung penghuni kontrakan yang lain sedang pulang ke rumah masing-masing—weekend, jadi kontrakan kosong. Sementara Tante Risma dan Om Juna seperti biasa, sedang malam mingguan entah ke mana.
Pertengkaranku dengan Nina masih teringat dan terngiang jelas di telingaku.
"Apa yang kamu lakukan? Di mana akal sehatmu? Kamu tega jadi pembunuh hanya demi cintamu yang tak bertanggung jawab itu?" Segenap tanyaku tersembur begitu saja ketika aku baru saja tiba di kontrakan.
Nina tersenyum sinis bercampur ringisan menahan sakit di perutnya bila sedikit saja bergerak. "Tahu apa kamu tentang cinta, Arimbi? Kamu hanya gadis cupu, bodoh, lugu, dan buruk rupa!" celanya.
Cemoohan dari Nina tidak membuatku sakit hati, sungguh tidak. Hanya saja aku benci bila ada wanita yang tega merendahkan dirinya sendiri karena cinta. Pikiran logis Nina benar-benar dangkal. Mataku menatap Nina lurus-lurus. Gigiku bergemeletuk seirama dengan napas ketidaksabaranku yang memburu.
"Cinta seperti apa yang kamu maksud? Lihatlah, karena kebodohan pemahamanmu akan cinta, sekarang kamu hanya seperti puing bahkan remah-remah tak berharga di mata laki-laki mana pun! Bahkan Rizal pun meninggalkanmu sekarang!" semburku lagi. Kali ini aku berbicara dengan nada tinggi.
Nina tersentak, matanya berkaca-kaca. Aku tak peduli lagi air mata apa yang diuraikan olehnya. Menyesal atau tersinggung? Sungguh aku tak peduli lagi dengan seorang wanita yang tega membunuh janinnya sendiri.
"Seburuk apa diriku jika kamu sendiri memperburuk citramu? Siapa yang buruk rupa sebenarnya? Aku ... atau kamu, Nina?" Suaraku melirih, membuyarkan ketegangan di antara kami.
Aku menangis tergugu sendirian di taman mengingat pertengkaranku dengan Nina. Sudah berulang kali kutahan, tapi sia-sia saja. Aku ikut merasa berdosa tak sempat mencegah perbuatan Nina yang kelewat batas itu. Kuhapus air mataku saat derap langkah Sena dari kamarnya menghampiriku. Aku berusaha berpaling wajah darinya, menyembunyikan air mata dan isak tangisku. Sena mengembuskan napas perlahan dan mulai angkat bicara.
"Kamu sudah mengatakan hal yang benar. Jangan menangis lagi," ucap Sena lirih. Ia sudah duduk bersila di sampingku.
"Aku menangis karena merasa bersalah, Sena. Harusnya aku bisa mencegah Nina menggugurkan kandungannya. Aku merasa menjadi seorang teman yang tak becus di samping teman-temanku. Apa aku ini bodoh berpikir demikian?"
"Tentu saja tidak, kamu terlalu baik," sahut Sena. Aku bisa melihat Sena yang tersenyum menatapku melalui ujung mataku.Sena mengusap punggungku, memintaku berhenti menangis.
Kuhapus air mata dengan punggung tanganku, kemudian kuhela napas dengan kasar. Aku menoleh dan menatap Sena, kemudian sama tersenyum bersamanya.
"Ikat rambutku mana?" tanyaku berganti topik. Saking gugupnyasampai lupa dengan ikat rambut yang ditarik Sena. Baru kali ini aku tak mengikat rambut selama perjalanan dari Bogor menuju ke kontrakan Tante Risma.
Sena terkikik geli sambil merogoh saku celana jeans-nya—mengambil ikat rambutku. Mendengar Sena terkikik aku jadi mengikutinya tertawa kecil dengan suara sengau.
"Kamu cantik tanpa ikat rambut itu," gumam Sena setengah berbisik.
Apa? Tadi Sena bilang apa? Apa Dewi Kunti sudah memberikan mantra ajaibnya padaku? Benarkah aku menjelma jadi cantik di depan Bimasena sekarang? Oh, Tuhan! Wajahku memanas, jantungku berdetak tak normal. Beruntung lampu taman redup, jadi Sena tidak bisa melihat pipiku yang memerah karena malu.
**
(18-02-2018)
Jangan lupa vomment bagi yang berkenan.
Terima kasih. :))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top