5. Jatuh hati
Aresh berjalan tergesa-gesa melewati koridor kantor BIN, sembari mengalungkan ID card-nya kemudian mengenakan blazer hitamnya. Peluh masih membanjiri wajahnya setelah berlatih muay thai sebagai pemanasan sebelum dirinya melakukan ujian bela diri. Ia berlari cepat menuju lift yang akan menutup pintunya. Jari telunjuk kanannya segera menekan sebuah tombol agar pintu lift terbuka kembali. Membuat beberapa orang menatapnya.
“Mau kemana kamu, Resh?” tanya Maliq yang berada di sebelah Aresh.
Aresh menghembuskan napasnya, “Shooting,” jawab Aresh singkat.
“Shooting apaan?” ucap Maliq meledek.
“Shooting BF!” seru Aresh kesal.
Maliq terkekeh menyambut seruan Aresh yang sedang kesal karena pertanyaan tak bermutunya. Namun berbeda dengan beberapa orang yang berada di dalam lift. Mereka menatap Aresh dengan tatapan aneh karena jawaban asal yang didengarnya.
“Awas Lo, Bang!” ancam Aresh sebelum keluar dari lift.
Aresh segera berlari menuju tempat untuk berlatih menembak. Langkahnya mendadak berhenti kala mendapati Reshi yang sedang bersandar di tepi meja seraya memberikan tatapan tajam kepadanya. Aresh mengatur napasnya yang terengah-engah. Kemudian berjalan menghampiri Reshi sambil mencari-cari di mana pelatih tembaknya.
“Terlambat lima menit,” ujar Reshi setelah menengok jam tangannya, “Push up, dua puluh kali!” titah Reshi.
“Apa?!” sahut Aresh terkejut.
“Push up, dua puluh lima kali,” tambah Reshi karena Aresh tak segera melaksanakan perintahnya, membuat Aresh terbelalak tak percaya.
“Now!!!” perintah Reshi tegas.
Dengan kesal, Aresh meletakkan kedua telapak tangannya di atas lantai, sekitar selebar bahunya. Memposisikan tubuhnya tengkurap di atas lantai. Kemudian mulai mengangkat tubuhnya menggunakan lengan dengan gerakan mendorong lantai, diiringi Reshi yang memberikan aba-aba. Ia mengulangi untuk menurunkan dan mengangkat tubuhnya dengan kecepatan yang tetap hingga dua puluh lima kali. Setiap gerakan naik dan turun dihitung sebagai satu kali push up oleh Reshi.
“Dimana Pak Rasyid?” tanya Aresh kesal mencari pelatihnya.
“Ambil pistol dan mulai latihannya!” titah Reshi tegas.
Helaan napas berat Aresh kembali berembus, lantas melepaskan blazer-nya dan membuangnya sembarangan. Kemudian mengambil perlengkapan untuk latihan menembaknya. Ia mengecek pistol dan mengisi penuh magazine pistolnya dengan peluru yang sudah disediakan.
“Ready?” ucap Reshi kala melihat Aresh sedang mengokang pistolnya, “go!” seru Reshi sembari menekan tombol di stopwatch-nya.
Aresh segera masuk ke sebuah ruangan yang gelap. Hanya cahaya remang-remang dari pistolnya saja yang memberikan cahaya untuknya. Suara tembakan yang keras mulai berbunyi, ketika peluru pistolnya melesat ke masing-masing sasaran targetnya. Sasaran target berupa gambar orang yang tersebar di beberapa titik dan sudut ruangan. Ruangan yang sengaja di bentuk seperti ruangan-ruangan sebuah rumah. Kaki kanan Aresh mendobrak keras sebuah pintu kamar yang menjadi tujuannya, kemudian tembakan beruntun pun terdengar. Hingga sirine berbunyi dan semua lampu menyala.
“Shit!!!” umpat Aresh kesal sembari menendang target di hadapannya.
“Kamu menembak temanmu sendiri, Aresh. Ulangi lagi! Dan lakukan dengan benar!” perintah Reshi lugas dan dingin.
Aresh berjalan lemas mengekori Reshi. Ia kembali mengulangi latihan menembaknya. Dalam hati, ia sudah ingin berteriak dengan sekeras-kerasnya. Melampiaskan rasa kesalnya dan rasa lelahnya hari ini. Ditambah wajah dingin Reshi yang membuat tangan Aresh gatal untuk mencubiti wajah tampan nan beku itu. Sirine kembali berbunyi, membuat kesabaran Aresh habis.
“Argh!!!” teriak Aresh kesal sembari merobek target di samping kanannya.
“Terlalu lambat. Ulangi lagi!!!” titah Reshi.
Aresh berjalan lemas menuju meja tempat di mana beberapa senjata dan perlengkapannya berada. Reshi terdiam memerhatikan Aresh yang sudah tampak kelelahan. Jikalau bisa, ia ingin bersikap lembut kepada Aresh. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukannya jika dirinya sedang dalam bertugas.
“Istirahat, lima menit!” ujar Reshi yang disambut helaan napas lega dari Aresh.
Aresh segera berjalan mengambil blazer hitamnya yang tergeletak di dekat dinding. Kemudian duduk di lantai, menyandarkan kepalanya di dinding sembari memejamkan kedua matanya. Sedari tadi, pandangan Reshi tak pernah lepas dari wanita yang sudah membuat dirinya membagi rasa cintanya kepada Sang Penciptanya.
“Minum!” ujar Reshi saat menyodorkan sebotol air mineral kepada Aresh.
Aresh mendongakkan kepalanya, lantas mengambil botol air mineral itu dengan kasar dari tangan Reshi. Kemudian membuka tutup botolnya dan segera mereguknya hingga hampir habis. Kedua sisi bibir Reshi tersungging ke atas dengan samar, saat melihat betapa menggemaskannya wajah Aresh yang sedang kesal itu.
“Kamu kurang fokus, Aresh! Seharusnya kamu bisa menyelesaikan kurang dari satu menit.” Reshi menasehati seraya mengecek pistol yang telah selesai digunakan oleh Aresh.
Aresh berdiri, lantas berjalan menghampiri Reshi yang sedang memasukkan beberapa peluru di magazine pistolnya. Ia memerhatikan kedua tangan Reshi yang sangat lincah dan lihai memegang senjata. Seperti tangan ayahnya yang selalu menjaganya setiap waktu. Kedua matanya beralih menatap wajah tampan Reshi tanpa berkedip. Mencoba menatap wajah calon suaminya yang entah mengapa masih setengah hati menerimanya. Hampir dua minggu ini, keduanya baru bisa bertemu setelah acara drifting. Namun sikap Reshi tak pernah berubah sedikit pun.
“Kamu itu nggak punya banyak kosakata ya di otak kamu? Apa kamu selalu dingin seperti ini kepada semua orang? Dingin seperti es, nggak bisa senyum, irit bicara, cuek, bossy, seakan nggak bisa tersentuh oleh siapapun,” oceh Aresh yang membuat Reshi menoleh dan menatapnya tajam.
“Seperti itulah calon suami kamu,” balas Reshi percaya diri.
Aresh menyapu bibirnya dengan lidah, “Jadi, aku harus menjadi api dahulu supaya kamu bisa meleleh sama calon istri kamu ini?” sungut Aresh kesal.
“Kamu itu api terbaik untukku, sejak pertama kali kita bertemu,” tandas Reshi sebelum meneguk air mineralnya.
Aresh terus menatap Reshi yang sedang meminum air mineralnya, lantas bibir tipisnya tersenyum simpul. Otaknya mulai liar untuk mencoba berkomunikasi dengan Reshi. Mencoba mengenal Reshi lebih jauh lagi.
“Reshi,” panggil Aresh, “kalau aku bisa menyelesaikannya kurang dari satu menit, kamu harus memberikanku hadiah. Bagaimana?” sambung Aresh menantang.
Kedua alis Reshi terangkat ke atas. Ia menatap tajam Aresh dengan tatapan bak elangnya. Sekuat tenaga menahan senyum, karena ulah menggemaskan Aresh yang sedang memohon kepadanya. Tangannya mengepal keras, menahan agar tak menyentuh atau mencubit kedua pipi Aresh yang menggodanya.
“Baik! Aku akan memberikan mahar spesial untuk kamu,” sahut Reshi.
Tubuh Aresh menegang. Napasnya tertahan kala mendengar ucapan Reshi yang diluar dugaannya. Mereka saling beradu pandang dalam diam. Suara berdeham dari Reshi membuat Aresh segera tersadar dengan kikuk.
“Sinting!!!” pekik Aresh menutupi degup jantungnya yang masih tak beraturan.
Aresh membalikkan badannya, lantas mengambil pistolnya. Mengecek pistol, memasukkan dua magazine di setiap saku rompi anti pelurunya. Kemudian mengenakan penutup telinga yang mirip seperti headphone setelah mengenakan kacamata khusus untuk berlatih menembak. Senyum manis Reshi tersungging memandang Aresh yang sedang menahan malunya.
“Ready?” tanya Reshi lugas, disambut anggukan kepala dari Aresh sebelum mengokang senjatanya.
Reshi berjalan menghampiri Aresh, “Sini tangan kanan kamu!” perintah Reshi yang membuat Aresh bingung.
Reshi mengangkat tangan kanan Aresh. Kemudian memasangkan gelang dengan inisial huruf R di pergelangan tangan kanan Aresh. Aresh terdiam, kedua matanya memerhatikan gelang dengan inisial huruf A di pergelangan tangan kanan Reshi. Gelang yang sama, seperti gelang yang sedang Reshi pakaikan kepadanya.
(Visualisasi)
“Semoga, aku bisa menjadi salah satu lelaki dari inisial huruf R yang menetap di hati kamu,” ucap Reshi sembari memasangkan gelang di pergelangan tangan kanan Aresh, “R untuk Ayah kamu, Raka. R untuk Kakak kamu, Rendra. Dan R, untuk Suami kamu nanti, Reshwara,” tutur Reshi yang membuat kedua mata Aresh merebak karena terkejut bercampur haru.
“Good luck, my Aresh!” imbuh Reshi sembari mengusap pucuk kepala Aresh.
“Ready?” ulang Reshi memberi aba-aba, membuat Aresh tersadar dari rasa harunya, “go!” teriak Reshi sambil menekan tombol di stopwatch-nya.
Aresh segera mendobrak pintu di hadapannya. Suara tembakan yang keras pun mulai berbunyi. Pertanda peluru Aresh melesat mengenai target sasarannya. Diambilnya magazine dari saku rompi anti pelurunya untuk mengganti peluru yang sudah habis sembari melangkah mendekati target sasaran selanjutnya. Kemudian ia kembali mendobrak kamar untuk menyelesaikan latihannya. Suara tembakan beruntun terdengar, kala Aresh menembak target sasarannya yang terakhir. Helaan napas lega berhembus, bersamaan dengan Aresh yang menatap target sasaran di depannya.
“Perfect! Fifty eight seconds,” ujar Reshi yang keluar dari pintu yang lain.
“Latihan selesai! Dan kamu lulus untuk ujian menembak hari ini,” sambung Reshi yang disambut senyum manis dari Aresh.
Aresh mengunci pistolnya, sebelum memasukkannya ke dalam saku rompi anti pelurunya sembari berjalan menghampiri Reshi.
“Thank you,” ucap Aresh sembari mengangkat tangan kanannya, menunjukkan gelang pemberian Reshi.
Reshi terdiam, jantungnya berdegup kencang saat Aresh mengambil tangan kanannya dengan perlahan. Kemudian kedua matanya beralih memerhatikan tangan kanan Aresh yang mengambil pulpen di saku seragam doreng-nya, membuat napasnya tertahan di tenggorokan. Sentuhan lembut Aresh benar-benar membuat kinerja otak dan seluruh saraf Reshi menjadi tidak normal. Ditatapnya tangan Aresh yang sedang menuliskan sesuatu di telapak tangannya. Sebuah skema tentang cinta segitiga yang membuat kedua sisi bibir Reshi tersungging ke atas.
Huruf I yang ditulis sejajar dengan lambang hati dan diikuti huruf U. Kemudian di setiap huruf itu diberikan sebuah tanda panah yang mengarah ke atas, tepat di tulisan Allah. Aresh tersenyum setelah selesai menuliskan apa yang ingin di sampaikannya. Hanya ungkapan hati yang masih membuatnya bingung hingga detik ini.
“Biarkan Allah yang menuntun kita,” ucap Aresh seraya menatap Reshi dengan lekat sebelum beranjak pergi.
Reshi kembali menatap tulisan Aresh di telapak tangannya. Lagi, senyum manisnya kembali tersungging. Kedua matanya beralih memandang punggung Aresh yang mulai menjauh dari pandangannya, kemudian hilang saat telah melewati pintu di hadapannya.
¤¤¤
“Non, ada tamu,” ucap Mbok Sulam kepada Aresh yang sedang mengambil segelas jus jambu dari dalam lemari pendingin.
“Siapa, Mbok?” tanya Aresh sebelum meminum jusnya.
“Mas ganteng, katanya calon suaminya Non Aresh,” tutur Mbok Sulam yang membuat Aresh tersedak.
Mbok Sulam segera memberikan segelas air putih kepada Aresh. Kemudian mengusap punggung Aresh perlahan. Aresh segera melangkah pergi meninggalkan Mbok Sulam di dapur. Ia berjalan cepat sebelum kakak-kakaknya bertemu dengan Reshi. Karena bisa dipastikan, ia akan menjadi bahan ledekan kakak-kakaknya seperti beberapa minggu yang lalu saat Reshi mengantarkannya pulang ke rumah setelah selesai drifting.
“Ada apa kamu ke sini?” tanya Aresh menatap Reshi yang sedang memainkan smartphone-nya.
Reshi mendongak, lantas menatap tajam Aresh dalam diam. Meneliti dandanan Aresh yang membuatnya sangat gemas bercampur kesal. Balutan kaos ketat berwarna putih menempel pas di tubuh Aresh, menampilkan lekuk tubuhnya yang indah. Dipadu dengan hot pants yang super pendek.
“Apa? Mau komen baju lagi?!” sungut Aresh yang sedang menebak isi kepala Reshi yang sangat kolot.
“Lain kali kalau ada tamu datang, pakai baju yang sopan,” tutur Reshi dingin tanpa senyum.
“Oke! Nanti aku pakai gamis biar kamu nggak protes terus!” balas Aresh asal.
“Kamu kalau ngomong sama Reshi, ati-ati! Dibelikan gamis satu lemari penuh baru tahu rasa kamu,” seloroh saudara kembarnya yang sedang lewat menuju dapur.
“Kak Yayang!!!” teriak Aresh memanggil istri dari saudara kembarnya.
Yayang berjalan santai menghampiri Aresh sembari menggendong anak perempuannya yang baru berumur satu tahun, “Aresh, nggak malu teriak-teriak begitu di depan Reshi?” ujar Yayang menasehati.
“Urat malunya sudah putus, Sayang!” sahut kembaran Aresh yang tak lain adalah suami Yayang, Rendra.
Dengan santainya Rendra duduk di samping Reshi, sembari memberikan sekaleng minuman isotonik kepada Reshi. Aresh mendengus kesal mendengar ocehan kembarannya. Yayang hanya tersenyum, lantas mengusap punggung Aresh dengan perlahan.
“Ganti baju sana! Yang sopan,” bisik Yayang kepada Aresh dengan sebelum pergi meninggalkan ruang tamu.
“Kamu mau apa ke sini?” tanya Aresh kepada Reshi.
“Cari Pokemon,” balas Reshi singkat, disambut gelak tawa dari kembaran Aresh.
“Lo tahu aja, Bro, kalau kembaran gue itu kayak Pikachu. Nyetrum kalau disentuh,” seloroh Rendra, kembaran Aresh.
Kedua tangan Aresh mengepal keras, “Kalau gue Pikachu, Abang bolanya. Gue gelindingin nanti sambil disetrum!” sungut Aresh kesal, namun disambut kekehan dari Rendra.
“Yang ada itu, kamu masuk ke dalam bola. Dodol! Sana ganti baju!” perintah Rendra keras.
“Tim Alpha sudah menunggu kamu sekarang. Katanya mereka kangen sama kamu,” ucap Reshi.
Rendra tersenyum menyeringai, “Tim Alpha yang kangen atau Lo yang kangen, Bro?” ledek Rendra memandang Reshi yang masih belum merubah raut wajahnya.
Reshi menegakkan tubuhnya. Ia menatap Rendra dengan tatapan tajam mengintimidasi, lantas meminum minumannya, “Lo tahu nggak kalau ada laki-laki dan perempuan sedang berduaan, berarti satunya itu siapa?” tandas Reshi dingin.
Aresh tertawa keras mendengar ucapan Reshi yang langsung mengenai sasaran, “Lo setannya, Bang! Mamam itu Ice!” gurau Aresh sebelum beranjak pergi.
“Bagus! Begini calon adik ipar gue? Kualat Lo, Bro!” gerutu Rendra.
“Gue cuma mau menyelamatkan telinga berharga gue aja,” balas Reshi yang mulai mengetahui tingkah polah calon istrinya dengan kakak-kakaknya.
“Ya gitu deh Aresh. Separuh cewek, separuh cowok,” ujar Rendra asal, “jangan pulang pagi! Jangan lecet, atau tergores sedikit pun!” ancam Rendra yang membuat Reshi mengangguk patuh.
Rendra menepuk bahu Reshi sebelum beranjak pergi, “Jaga dia! Hati-hati nanti!” titah Rendra menambahkan, anggukan kepala Reshi kembali menyambut perintah lugasnya.
“Ayo!” ajak Aresh menghampiri Reshi.
Reshi kembali meneliti dandanan Aresh. Kemeja putih yang dilipat lengannya, celana jeans robek-robek, dan sepatu flat berwarna biru muda yang senada dengan warna celana jeans-nya. Aresh mendengus kesal, lantas mengenakan jaket jeans belelnya.
“Ayo, Reshi! Keburu bad mood nih!” ujar Aresh sembari menarik tangan Reshi untuk keluar dari rumahnya.
Aresh menerima helm yang diberikan oleh Reshi. Ia memerhatikan Reshi yang sudah duduk di atas motor sport-nya seraya mengenakan helm. Mengagumi ketampanan Reshi yang bertambah level saat berada di atas motor sport-nya.
“Aku nggak punya mobil. Kamu pasti tahu bukan berapa gaji seorang tentara?” tutur Reshi ketika Aresh tak kunjung mengenakan helmnya, membuat Aresh tertegun.
“Ayo naik!” titah Reshi yang disambut anggukan kepala dari Aresh.
Aresh terdiam sembari mengenakan helmnya. Ia menaiki motor sport Reshi dengan perlahan. Kedua tangannya melingkar di perut Reshi, kala motor sport itu mulai melaju meninggalkan rumah kedua orang tuanya. Ia pun memandang sekeliling rumah kedua orang tuanya, yang mungkin sangat berbanding terbalik dengan kehidupan Reshi. Hingga detik ini pun, ia tak pernah mendengar Reshi menceritakan tentang keluarganya.
¤¤¤
Aresh menatap tangan kanannya yang sedang digandeng erat oleh tangan kiri Reshi saat mulai memasuki sebuah bar terkenal di Jakarta. Domain, bar ternama dengan lokasi yang memojok di lantai bawah Senayan City. Domain menawarkan semacam tempat berlindung bagi yang ingin menikmati minuman dengan suasana santai khususnya saat weekday. Dari luar, tidak terlihat tempat ini seperti sebuah lounge dan bar. Interior luar Domain didominasi oleh kayu. Hanya ada pintu kecil dari kaca yang bisa menunjukkan kalau tempat itu adalah sebuah tempat hang out.
Begitu masuk, terlihat area antara lounge, dance floor dan bar. Lokasi bar berada dalam satu garis lurus dengan pintu masuk. Sedangkan lounge dan dance floor berada di sisi sebelah kirinya. Temaram lampu dan nyala lilin menerangi area Domain yang menghadirkan suasana intimate. Kayu pinus adalah salah satu bahan yang menjadi interior bar ini. Untuk tempat duduk, ada sofa-sofa empuk dan kursi kayu. Sama persis seperti ketika kita berada di ranch pinggir danau Kanada dengan dominasi kayu dan kepala-kepala rusa yang menghiasi dindingnya.
Aresh memerhatikan beberapa orang yang sedang santai menikmati cheese atau chocolate fondue kebanggaan Domain dengan bir kesukaannya. Ada beberapa orang yang berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik dari DJ kenamaan.
“Welcome, couple of the year,” sambut Alex yang sedang menuangkan sebotol white wine ke dalam gelas slokinya.
“Eh, Kakak cantik sudah datang rupanya. Kakak mau minum apa?” tanya Orion yang menyambut kedatangan Aresh.
“Coffee latte,” jawab Reshi sebelum Aresh menjawabnya.
Aresh mengembuskan napasnya seraya menatap Reshi dengan sebal. Jauh-jauh datang ke bar terkenal hanya memesan coffe latte. Ia memerhatikan Alex, Komang dan Rikas yang sedang menikmati minuman beralkoholnya. Sedangkan Orion menikmati kentang goreng dengan saus mayonesnya.
“Wah, kau tak mau kecolongan rupanya, Ice!” seloroh Alex.
“Kayak nggak tahu Reshi aja,” tutur Alif yang datang dengan membawa dadu berukuran sedang di tangannya, diikuti dua orang sexy waitress di belakangnya.
Waitress itu membawa tiga buah gelas sloki kecil, tiga gelas cocktail favorit khas Domain, dua cangkir coffe latte, sebotol air mineral dan juga dua beef steak spesial untuk Aresh dan Reshi. Reshi segera meminum coffe latte kesukaannya. Kemudian beralih memakan beef steak yang sudah dipesankan teman-temannya. Tangan kiri Reshi terangkat, menahan tangan kanan Aresh yang akan mengambil gelas sloki di hadapan Alif.
“Minum kopi aja!” titah Reshi.
“Ih! Masa ke sini cuma minum kopi doang. Di rumah juga bisa bikin sendiri,” sungut Aresh kesal.
Reshi meminum air mineral di hadapannya. Kemudian berdiri seraya mengulurkan tangan kanannya kepada Aresh, “Kita pulang!” tandas Reshi tak terbantahkan.
Aresh segera memeluk lengan Alif dengan erat, “Nggak mau!” tolak Aresh keras.
“Reshi, calm down! Kita senang-senang dulu, bukannya itu tujuan kita ke sini? Ayolah! Besok kalau Aresh sudah menjadi istri kamu, baru kamu larang dia untuk minum,” ujar Alif melerai.
“Betul itu, Ice! Janganlah keras-keras begitu kepada Aresh! Kita bersenang-senang malam ini, menikmati hari libur kita,” tambah Alex dengan logat Medannya.
Reshi menghela napasnya sebelum beranjak pergi untuk meredakan amarahnya.
“Tenang saja, Reshi nggak akan meninggalkan kamu sendirian di sini,” tutur Alif yang sangat hafal dengan sifat Reshi.
“Let's get the party, guys!” seru Komang yang sudah mulai merasakan efek dari meminum vodka-nya.
“Oke, ladies first!” ujar Alif memberikan sebuah drinking dice kepada Aresh.
Aresh menerima dadu itu dengan senang hati. Kemudian melemparkan dadunya, dan sorak sorai pun terdengar.
“Wohooo! Drink 2 cups, Aresh. Lemparan yang sempurna,” ucap Rikas membaca tulisan di dadu yang Aresh lempar.
Aresh tersenyum, “White wine, please!” pinta Aresh.
Alex menuangkan white wine di dua gelas sloki yang Alif sodorkan. Kemudian memberikannya kepada Aresh. Aresh segera meneguk segelas sloki white wine hingga habis tak bersisa. Kepalanya menoleh mengikuti gelas sloki kedua yang sudah berpindah ke tangan Reshi. Dengan cepat, Reshi meneguk minuman beralkohol itu di hadapan Aresh dan teman-temannya.
“Bah! Masuk juga minuman itu ke perut Reshi!” seru Alex terkejut.
“Cinta memang buta ye!” oceh Alif tak percaya.
“Kakak Ice, kau baik-baik saja?” tanya Orion ketika melihat raut wajah Reshi yang terlihat aneh saat menelan minuman beralkohol itu.
“Lanjut!” seru Komang tak sabar.
Alif pun mengambil alih dadu di atas meja. Kemudian melemparnya, dan menyesap vodka yang Rikas sodorkan kepadanya. Sip, tulisan yang muncul di dadu yang di lempar Alif. Memiliki arti, menyesap.
“Nyesap vodka itu berasa makan sate satu tusuk, cuma jadi selilit!” sungut Alif kesal yang disambut gelak tawa rekan-rekannya, kecuali Reshi.
Aresh masih menatap Reshi yang hanya terdiam memakan kacang kulit di hadapannya. Reshi terlihat tak acuh kepada siapa pun di sekitarnya. Membuat Aresh menjadi sangat tak nyaman di dekatnya. Semua rasa bercampur baur di dalam hatinya, seperti minuman cocktail di hadapannya. Antara takut, cemas dan kesal.
Sedangkan Reshi sendiri mencoba untuk tetap bersikap tenang dan berusaha menghilangkan rasa aneh di mulutnya setelah meminum minuman haram itu. Walau ia tahu pasti bahwa sedari tadi Aresh sedang menatapnya dengan lekat. Jika bukan karena Aresh, ia tak akan pernah meminum minuman yang selama ini menjadi pantangan baginya. Ia hanya tak ingin merusak kepercayaan Rendra yang sudah diberikan kepadanya jika Aresh pulang dalam keadaan mabuk. Setelah ini, ia harus cepat-cepat melaksanakan salat taubat sebelum ajal menjemputnya tanpa diduga.
Aresh kembali mendapat giliran, setelah Rikas selesai mengumpat kesal karena dadunya menunjukkan tulisan, no drink.
“Double shit!” umpat Rikas geram karena kesialannya.
Dalam diamnya, Reshi memerhatikan dadu yang dilemparkan oleh Aresh. Dadu itu bertuliskan drink a half, “Sini minumannya!” pinta Reshi dingin.
Semua menatap Reshi yang sedang mengulurkan tangan kanannya untuk mengambil minuman beralkohol yang akan di minum oleh Aresh.
“Kakak Ice, minum ini saja!” ucap Orion sembari memberikan segelas cocktail kepada Reshi.
“Drink a half, Ice!” peringat Alex saat Reshi meraih minuman beralkohol itu tanpa ragu, kemudian segera meneguknya.
Kedua mata Reshi menyipit, kala merasakan rasa cocktail yang diminumnya. Rasa aneh yang seakan membakar tenggorokannya. Aresh dan kelima rekannya menatap Reshi seraya menelan salivanya dengan susah payah. Minuman itu adalah cocktail favorit di Domain, White Lychee Sangria, yaitu paduan unik dari leci dengan vodka juga ditambah cointreau, sauvignon blanc, dan daun mint serta jeruk untuk menambah segar.
“Damn it!!!” umpat Reshi keras.
Kelima rekannya tampak kaget saat mendengar umpatan kesal dari Reshi. Reshi tak pernah mengeluarkan umpatan seburuk itu selama mereka mengenalnya. Kepala Reshi menggeleng, ketika mulai merasa kepalanya berdenyut dan pening.
“Party is over!” seru Alif menghentikan permainan.
Alif tak ingin jika teman baiknya, Reshi, menjadi mabuk karena meminum minuman beralkohol. Ia sangat tahu, jika ini adalah kali pertama bagi Reshi meminum minuman beralkohol. Dan semua yang Reshi lakukan hanya untuk Aresh. Agar Aresh tak meminum minuman keras itu.
“Next!” pekik Reshi yang membuat semuanya bingung.
“Ah, lama!” seru Komang yang mengambil dadu untuk bermain.
Komang bersorak ketika mendapatkan dadu lemparannya menunjukkan perintah untuk meminum dua gelas sloki, drink 2 cups. Membuat semuanya menatap Komang yang sedang meminum vodka-nya dengan girang.
Aresh menghela napasnya, melihat keenam pasukan siluman itu sedang bercanda dan bergumam aneh karena pengaruh minuman beralkohol. Ia menatap Reshi yang sedang meneguk segelas sloki vodka karena lemparan dadunya yang bertuliskan, drink at will. Tulisan yang memerintahkan si pelempar dadu untuk meminum minuman sesuai kehendaknya.
“Reshi! Ayo kita pulang!” ulang Aresh merengek meminta pulang.
Berulang kali Aresh mencoba untuk mengajak Reshi pulang, namun usahanya selalu gagal. Reshi terus saja bermain drinking dice dengan teman-temannya. Aresh tahu, jika Reshi sudah mulai mabuk saat ini.
“Tadi nggak mau pulang, sekarang minta pulang terus. Labil kamu, ah!” sahut Reshi sedikit kesal.
“Eh, Ice! Kau sudah mencoba menyesap bibir Aresh belum? Pasti manis kali itu bibir,” ujar Alex yang sudah mabuk.
“Bukan muhrim, Bang!” sahut Reshi singkat.
Aresh menyapu bibirnya dengan lidah karena bingung. Reshi seakan bukan dirinya sendiri saat ini. Sedari tadi dia selalu mengoceh tak jelas menyahuti ucapan-ucapan konyol rekan-rekannya.
“Nanti saja kamu mencicipi bibir manis Aresh! Susah nanti kalau kamu kecanduan bibirnya,” ujar Alif menimpali.
“Siap, Kapten!” seru Reshi keras, berusaha untuk duduk tegak.
“Reshi, cukup! Kamu sudah mabuk,” pekik Aresh menahan Reshi untuk meminum white wine yang Alex sodorkan.
“Mabuk cinta kamu, Resh!” sahut Reshi yang mampu membuat mulut Aresh menganga karena terkejut.
Kelima rekannya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Reshi yang tak biasa itu. Membuat Aresh kembali menghela napasnya.
“Aseeek ..., Kakak Ice gombalannya maut sekali!” oceh Orion.
Aresh beranjak untuk berdiri, “Kalau begitu, aku pulang dulu!” pamit Aresh kepada Reshi.
Reshi tersenyum menatap Aresh yang sedang menampilkan wajah kesalnya. Tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Aresh.
“Aku antar! Kamu tanggung jawabku sekarang,” tutur Reshi yang mulai mabuk.
Reshi menggeleng-gelengkan kepalanya ketika pandangannya mengabur. Tangan kirinya memegang kepalanya yang terasa berat. Tangan kanannya meraih tangan kiri Aresh untuk digandeng.
“Ice, kau kalah!” seru Komang yang sudah mabuk berat.
“Jangan bawa Aresh ke hotel, Ice!” tambah Alif yang sudah mabuk.
“Siap, Kapten!” sahut Reshi sebelum melangkah pergi meninggalkan rekan-rekannya.
“Kakak Ice, nanti Beta menginap di apartemen Kakak ya!” teriak Orion.
Reshi mengangguk, sembari terus berjalan keluar meninggalkan Bar. Langkahnya yang sempoyongan membuat Aresh sekuat tenaga mencoba menahan tubuhnya agar tak terjatuh.
“Aku saja yang membawa motornya,” ucap Aresh merebut kunci motor Reshi.
“Memangnya bisa?!” ujar Reshi meledek.
“Bisa! Kamu itu ngeselin banget ya ternyata. Awas aja kalau besok-besok minum lagi!” sungut Aresh mengomel sambil membantu Reshi memakaikan helmnya, lantas segera duduk di jok depan motor sport seraya mengenakan helmnya.
“Ngeselin mana sama kamu yang nggak pernah peka dengan perasaanku, hmmm?” sahut Reshi sembari menaiki motornya, kemudian mengeratkan tangannya di perut Aresh dan menyandarkan kepalanya yang terasa berat di punggung Aresh.
Jantung Aresh berdegup kencang tak menentu. Ia terdiam, merasakan debaran hatinya karena ucapan dan tindakan Reshi yang tak terduga. Walau mabuk, tapi ucapan Reshi masih saja menusuk tajam jiwanya yang sudah lama tak tersentuh oleh laki-laki. Kedua matanya menatap kedua tangan Reshi yang melingkar di perutnya.
“Ayo, Sayang! Jalan!” gumam Reshi yang sudah merasakan pusing di kepalanya.
Aresh segera menyalakan mesin motor sport Reshi, lantas menarik kopling dan meng-gasnya bersamaan sebelum melaju pergi meninggalkan halaman parkir Domain Bar. Otaknya mulai berpikir, kemana dirinya akan membawa Reshi untuk pulang. Dengkuran halus dari Reshi terdengar jelas di telinga Aresh. Menandakan bahwa Reshi sedang tertidur atau tak sadarkan diri.
ARESH®
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top