22. Sandaran hati
Reshi tersadar, ketika suara pintu apartemennya tertutup dengan keras. Ia menghela napas beratnya, sembari mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Kepalanya menoleh perlahan ke arah meja di sampingnya. Membuat tubuh letihnya melemas.
"Astaghfirullahal'adzim," ucap Reshi kala melihat kunci mobil Aresh berada di atas meja.
Ia menghempaskan tubuh lelahnya di sofa. Kedua mata tajamnya memerhatikan sebuah buku yang tertumpuk di atas tas selempang milik Aresh, di samping kunci mobil. Tangan kanannya terulur, mengambil buku yang sudah menarik perhatiannya.
Dengan wajah serius, Reshi memerhatikan cover buku itu dengan saksama. Cover yang dihias dengan potongan-potongan kertas berwarna-warni yang bertumpuk. Potongan-potongan kertas itu dibuat membentuk beberapa gambar yang lucu. Membuat orang yang melihatnya sangat tertarik untuk melihat isinya. These are the moments I want to remember. Sebuah kalimat yang tertulis indah di cover itu.
Di halaman kedua, ada sebuah tulisan yang menyambutnya. Capture happiness. Tulisan itu dibuat dari potongan-potongan huruf yang berada di dalam majalah. Tempelan gambar bintang, kamera dan segitiga, tampak menghiasi halaman itu. Reshi menyunggingkan senyumnya, kala melihat halaman selanjutnya.
Foto dirinya dan Aresh tampak menghiasi halaman itu. How it began. Tiga kata yang mewakili satu pertanyaan akan datangnya cinta. Ada gambar peta dan segitiga merah yang saling terhubung di sana. Reshi tak menyangka jika Aresh bisa membuat scrapbook tentang kisah cinta mereka berdua.
Kedua sisi bibir Reshi kembali tersenyum. Ketika melihat halaman keempat yang berisi beberapa foto dirinya dan Aresh. Foto pernikahannya, foto keintimannya bersama dengan Aresh, serta fotonya dan Aresh saat berlibur di Jogja kala itu. Reshi tertegun, saat membaca sebait kalimat indah dibalik halaman itu.
"Bahagiaku itu sangat sederhana, sesederhana saat kamu tersenyum bahagia dan selalu bersyukur atas apa yang sudah kamu punya."
Reshi kembali terkejut, melihat halaman selanjutnya. Ia tak menyangka jika ada beberapa foto candid yang Aresh miliki. Hanya dua foto yang diketahuinya. Foto saat Aresh menciumnya di dalam mobil, dan foto yang diambil secara tak sengaja oleh Mas Aji saat di pantai. My best partner in life. Rentetan kata yang tertulis di halaman itu dengan menggunakan spidol hitam. Membuat Reshi tahu, bahwa dirinya telah mempunyai tempat khusus di hati Aresh.
Reshi membuka halaman selanjutnya. Ia terperanjat. Ketika melihat fotonya bersama Aresh terlihat sangat intim di sana. Entah kapan Aresh mengambil gambar itu. Ia seakan tak mampu mengingatnya. Jika dilihat, foto itu diambil ketika dirinya berada di rumah ayah dan bunda Aresh, di sofa bed, di dekat balkon. Love, satu kata yang tertulis besar di halaman itu. Di bawahnya bertuliskan 'you and me' dengan ukuran yang sangat kecil. Bentuk hati yang bertebaran dan dua hati yang bertumpuk tampak menghiasi halaman itu. Di belakang halaman itu tertulis sebuah kalimat yang membuat Reshi terharu.
"Cinta itu kamu,
Kamu yang membuat jantungku berdetak dengan lebih cepat."
Kalimat indah itu di tulis di atas sebuah kertas berwarna merah muda yang dihiasi grafik lucu dari benang berwarna gradasi putih dan merah muda. Tepat di tengahnya terselip gambar hati besar berwarna coklat. Dua buah pita berwarna putih pun tertempel mewakili tulisan indah itu dengan bahasa inggris. You make my heart beat faster.
Reshi terkejut bukan main, saat melihat fotonya terpampang jelas di halaman selanjutnya. Senyum kecilnya tampak jelas di halaman foto itu. Seingatnya, foto itu diambil oleh Alif. Simply adorable you. Tiga kata itu ditulis indah dengan menggunakan tinta yang bercampur-campur. Tinta hitam, tinta timbul berwarna emas, dan spidol.
Lagi, Reshi kembali dikejutkan dengan rangkaian kata indah di halaman sebaliknya. Dilihat dari tanggal yang tertera di sana, ia sudah berada di Sudan untuk bertugas. Dadanya mulai serasa sesak, ketika membaca rentetan kata yang ditulis oleh Aresh di atas kertas berwarna coklat kayu bergambar peta Benua Afrika. Ada tanda huruf R dari potongan kertas berwarna pink di peta Negara Sudan. Puisi itu sepertinya bukan buatan Aresh sendiri. Karena di bawah tulisan itu tertera nama yang asing bagi Reshi. Nama itu adalah Nina.
Di bentang peta itu, kamu dan aku berjarak.
Di bentang pulau ini, walau begitu, kamu dan aku begitu jauh berserak.
Langitmu dan langitku menggelap bersama.
Detikmu dan detikku, berdetak seirama.
Langitmu dan langitku, sama-sama melindungi kita.
Detikmu dan detikku, sama-sama berlalu indah.
Di bentang dunia ini, seberapa pun jauh berpisah jarak tak bermakna lagi.
Selama tak ada bentang apa-apa di antara kita.
Tubuh Reshi menegang hebat setelah melihat halaman selanjutnya. Napasnya tertahan di tenggorokan selama beberapa detik. Gambar test pack yang terpampang di halaman itu, mampu membuatnya terdiam membeku bak patung. Happiness. Satu kata yang tertulis dengan ukuran besar, dan disusun dari potongan-potongan huruf dari majalah. Satu kata itu pun mampu mewakili arti terdalam dari foto itu.
"Bia," ucap Reshi bergetar.
Dengan tak sabar, Reshi kembali membuka halaman selanjutnya. Jantungnya kali ini seakan berhenti berdetak saat melihat gambar yang tertempel di sana. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Kepalanya menggeleng tak percaya, melihat dua buah foto USG yang berada di halaman itu. Lidahnya tiba-tiba menjadi kelu. Ia seakan tak mampu untuk berucap apa pun. 8 weeks. Tulisan besar yang tertera di sana.
Tangan kanannya bergetar ketika menyentuh foto USG itu. Ia membasahi bibirnya yang terasa sangat kering. Napasnya masih tertahan kala menyentuh foto itu.
"Kamu hamil, Bia?!" Ucap Reshi tak percaya.
Reshi kembali terperanjat, saat membaca rangkaian kata yang Aresh tulis dengan tinta berwarna biru di balik halaman itu. Rasanya ia tak mampu lagi bisa bernapas dengan normal saat ini. Pandangannya mulai mengabur, membaca kata demi kata yang Aresh tuliskan.
Tidak ada kata yang bisa mewakili perasaan Bunda saat ini. Terima kasih, karena kalian telah hadir membawa kebahagian untuk Bunda. Walau hanya sesaat, tapi Bunda sangat merasa bahagia atas kehadiran kalian. Meski Ayah tak ada di sini, tapi Bunda yakin, foto kalian akan membuatnya bahagia.
Selamat jalan, Sayang ...
We love you so much more.
Sebulir air mata Reshi menetes setelah selesai membaca tulisan itu. Tanggal yang tertera di bawah tanda tangan Aresh telah menunjukkan kapan kejadian itu berlangsung. Reshi segera beranjak dari tempat duduknya. Diambilnya kunci mobil Aresh, setelah menghapus air matanya dengan serabutan. Ia berlari dengan tergesa-gesa menuju basement parkir di apartemennya.
"Kamu di mana, Bia," gumam Reshi frustasi, saat mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru basement parkir.
Reshi kembali berlari dengan cepat. Ia segera menuju lobi. Berharap ia mendapatkan informasi di sana. Dengan napas terputus-putus, Reshi berhenti tepat di hadapan security apartemen yang sedang berjaga.
"Maaf, Pak. Bapak melihat istri saya tidak tadi?" tanya Reshi terbata-bata karena mengatur napasnya.
"Ibu Reshwara?" tanya security itu.
Reshi langsung membalasnya dengan anggukan kepala, "Iya, Pak," jawab Reshi singkat.
"Tidak, Pak. Dari tadi saya belum melihat Ibu Reshwara lewat ke sini," tutur security itu.
"Apa saya bisa melihat CCTV di sekitar lorong apartemen saya, Pak? Tolong saya!" Pinta Reshi memohon.
Kedua security itu mengangguk menjawab permintaan Reshi. Salah satu security itu menyentuh layar datar yang menampilkan lorong apartemen Reshi. Ia memundurkan waktunya beberapa menit. Beberapa detik kemudian, seorang wanita tampak keluar dari apartemen Reshi. Wanita itu berlari menuju arah tangga.
"Ibu berlari menuju ke arah tangga, Pak," ucap security setelah Reshi berlari terlebih dahulu menuju lorong apartemennya kembali.
Setelah sampai di lorong apartemennya, Reshi segera berlari ke arah tangga. Langkahnya semakin cepat, saat melihat tubuh Aresh tergolek lemah di bawah sana. Tubuh Reshi seakan melemas. Melihat wajah Aresh yang sangat pucat di hadapannya.
"Sayang! Bangun!!!" Seru Reshi sembari menepuk-nepuk pipi Aresh.
"Bia!!! Bangun, Sayang!!!" Teriak Reshi sebelum membopong tubuh Aresh untuk segera dibawa ke rumah sakit.
---
Reshi berjalan lemas ke ruang perawatan Aresh, setelah mengurusi berbagai macam administrasi yang harus diselesaikan. Bertemu dengan Alif beberapa menit yang lalu, membuatnya seakan mendapat oase di gurun pasir. Alif mengembalikan mobil mewah Rendra dan barang-barang penting yang sangat dibutuhkannya saat ini. Ini semua karena istri Alif, Nadine, juga dirawat di rumah sakit yang sama saat ini.
"Reshi," panggil Tita ketika berpapasan dengan Reshi yang sedang menunduk memikirkan tentang Aresh.
Reshi menghentikan langkahnya, "Kak Tita!" Seru Reshi terkejut.
"Kamu sedang apa di sini? Siapa yang sakit?" tanya Tita ingin tahu.
"Aresh, Kak," jawab Reshi singkat.
"Aresh sakit apa?" tanya Tita cemas.
"Dia cuma butuh istirahat aja, Kak. Aresh kecapekan," jelas Reshi singkat.
"Ya sudah, nanti Kakak jenguk ke sana," ujar Tita sebelum pergi.
"Kak Tita tunggu!" Reshi menahan kepergian Tita, "Apa Kakak mengetahui tentang kehamilan Aresh waktu itu?" tanya Reshi penasaran.
Tita mengangguk, "Cuma Kakak dan Ibun yang tahu," jawab Tita merasa bersalah.
"Jadi, tidak ada yang mengetahui soal hal ini?"
"Aresh ingin kamu yang pertama tahu tentang kehamilannya. Saat dia memeriksakan kandungannya, hari itu juga dia harus dikuretase. Mereka telah meninggal di dalam kandungan."
"Mereka? Kembar?"
"Iya, anak kalian kembar. Kakak dan Ibun yang menemani dia di rumah sakit selama hampir seminggu."
"Bunda? Rendra dan Kahiyang? Kemana mereka?"
"Aresh melarang Kakak dan Ibun untuk memberitahu siapa pun."
Reshi terdiam membeku, ketika mengetahui apa yang terjadi kepada Aresh selama dirinya pergi. Ia pun baru menyadari arti air mata Aresh yang selalu menetes kala menelpon atau ber-video call. Aresh selalu bersikap baik-baik saja di hadapannya. Dan semuanya Aresh lakukan hanya untuk menutupi lukanya sendiri.
"Dokter Tita, sudah ditunggu, Dok!" Pekik seorang perawat yang menghampiri Tita dan Reshi.
"Iya, Sust," sahut Tita sopan, "Reshi, Kakak pergi dulu ya. Sembuhkan luka Aresh! Hanya kamu yang bisa, " tutur Tita sebelum berpamitan.
Reshi mengangguk. Ia melangkah kembali dengan perasaan yang tidak tenang. Rasa semakin bersalah pun mulai melingkupi dirinya. Ia telah membiarkan Aresh berjuang sendiri selama ini. Ia pun merasa gagal menjadi seorang suami untuk Aresh.
Di ruang perawatan, Aresh mengerjapkan kedua matanya dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruang perawatannya. Sebulir air matanya menetes. Mengingat dirinya yang pernah berada di ruangan ini beberapa bulan lalu. Perlahan, Aresh terbangun sembari menahan perih di salah satu bahunya. Ditatapnya jarum infus yang menancap di pergelangan tangan kanannya dengan tatapan nanar. Tangan kirinya terangkat, mencoba melepas jarum infus itu dengan hati-hati.
"Bia, kamu mau apa?" tanya Reshi yang baru saja memasuki ruang perawatan Aresh.
Aresh hanya terdiam. Ia terus berusaha melepaskan cekalan tangan Reshi di tangan kirinya dengan sekuat tenaga. Hingga membuat air matanya menetes.
"Kamu sedang sakit, Bi," tutur Reshi menahan tangan Aresh yang ingin melepas jarum infus.
Aresh mendongakkan kepalanya. Menatap Reshi dengan tatapan nanarnya, "Kata siapa Aresh sakit? Cuma Aresh yang bisa merasakan, apakah Aresh sakit atau tidak. Dokter atau pun Abang, nggak akan pernah bisa merasakannya!" Tukas Aresh keras menahan air matanya, membuat Reshi terperanjat.
"Maafkan Abang, Bia," ucap Reshi.
"Seharusnya, Abang tahu apa yang Aresh benci. Kalau memang Abang mengetahui apa kebahagiaan Aresh," tambah Aresh yang semakin membuat lidah Reshi menjadi kelu.
"Maafkan Abang, Bia," ulang Reshi meminta maaf, "Abang mohon, tinggalah di sini satu atau dua hari lagi."
"Aresh benci tempat ini. Aresh mau pulang sekarang!" Tandas Aresh memekik.
Reshi menghela napasnya, "Abang nggak akan pernah membiarkan kamu pergi dari sini sekarang!" Ujar Reshi dingin sembari memberikan tatapan tajam kepada Aresh, membuat pandangan istrinya mengabur.
"Aresh nggak akan pernah sembuh di sini. Aresh mohon, ijinkan Aresh pulang!" Pinta Aresh memohon.
"Maaf, Bia. Kamu harus beristirahat di sini! Minimal sampai besok pagi."
Air mata Aresh menetes, mendengar penolakan keras dari Reshi. Ia menundukkan kepalanya. Menatap selimut yang menutupi separuh tubuhnya, lantas meremasnya dengan tangan kirinya.
"Saat Abang pergi, setiap hari Aresh selalu menunggu kabar dari Abang. Setiap hari Aresh juga selalu berharap, Abang akan menjemput Aresh untuk pulang. Aresh hanya takut, kalau pertengkaran kita saat itu adalah hari terakhir kita bisa bersama-sama," ungkap Aresh.
"Sampai akhirnya, ada satu kejadian di mana Aresh yakin, bahwa Abang tidak akan pernah meninggalkan Aresh. Hari itu, Aresh ingin sekali memberikan kejutan untuk Abang. Memberi kabar bahwa Aresh sedang hamil," cerita Aresh diiringi air matanya yang menetes.
Tubuh Reshi menegang hebat, kala mendengar cerita Aresh selama dirinya pergi. Ia teramat menyesal. Meninggalkan Aresh sendirian untuk pulang saat itu. Dan juga, tak memberikan kabar kepada Aresh selama hampir sebulan lebih.
"Satu minggu Aresh merasa sangat bahagia saat tahu bahwa ada kehidupan di perut Aresh. Ketika Aresh memeriksakan diri, sekaligus ingin memberikan surprise untuk Abang, di saat itu pula kebahagiaan itu pergi. Mereka pergi tanpa ada tanda-tanda apa pun.
Dan di sini, di ruangan yang sama, selama hampir satu minggu Aresh berusaha untuk bisa berdiri lagi sendiri."
Aresh mendongakkan kepalanya, menatap Reshi yang hanya berdiri terdiam membeku, "Maafkan Aresh, Bang. Maaf, Aresh nggak bisa menjaga mereka dengan baik," ucap Aresh meminta maaf.
"Kenapa kamu nggak pernah menceritakannya kepada Abang?" tanya Reshi tanpa ekspresi.
"Aresh nggak tahu, bagaimana caranya harus bercerita kepada Abang. Aresh nggak mau fokus Abang terpecah karena keadaan Aresh di sini. Aresh tahu, seperti apa kondisi di Sudan sana. Aresh nggak ingin Abang kenapa-kenapa di daerah konflik itu." Aresh menjelaskan dengan perasaan waswas.
"Allah sepertinya sedang membenci Aresh. Dia mengambil orang-orang yang Aresh cintai. Ayah pergi, Abang juga ikut pergi waktu itu, dan terakhir anak kita pun pergi. Kalian semua pergi meninggalkan Aresh sendiri," ungkap Aresh diiringi tangisannya, membuat Reshi sekuat tenaga menahan emosinya karena mendengar penuturan Aresh.
"Allah nggak pernah membenci umat-Nya, Bia. Allah nggak akan pernah membenci kita. Apa yang terjadi kepada kita, entah itu baik atau buruk, itu semua karena Allah sangat menyayangi kita. Jangan pernah berkata seperti itu, Bia!" Ujar Reshi menasehati.
Aresh menatap Reshi dengan tatapan nanarnya, kala Reshi telah duduk di sampingnya. Reshi menggenggam erat salah satu tangan Aresh. Ditatapnya cincin pernikahan yang masih melingkar di jari manis di tangan Aresh.
"Kami nggak akan pernah meninggalkan kamu, Bia," ucap Reshi sebelum mendongakkan kepala menatap kedua mata Aresh, "Ayah selalu memerhatikan kamu dari jauh selama ini. Tanpa kamu tahu, Abang juga selalu mencari kabar tentang kamu waktu itu. Dan anak kita, mereka akan selalu ada di sini, Sayang," imbuh Reshi sembari meletakkan tangan kanan Aresh tepat di hatinya, membuat air mata Aresh mengalir kembali.
"Nggak akan ada yang pergi untuk meninggalkan kamu, Bia. Apa pun yang terjadi!" Terang Reshi lugas.
"Bagaimana kalau Aresh nggak bisa hamil? Abang pasti akan meninggalkan Aresh bukan?" tanya Aresh disela tangisannya.
"Abang mencintai kamu apa adanya, Bi. Kalau Allah belum memberikan kita keturunan sekarang, mungkin Allah mempunyai rencana yang lain. Kita belum pernah berpacaran bukan selama ini? Kita nikmati kebersamaan kita ini, Bia. Berdua, hanya Abang dan Bia," ujar Reshi yang membuat air mata Aresh semakin deras.
"Kenapa Abang nggak menjawab pertanyaan Aresh? Bagaimana kalau Aresh nggak bisa hamil?!" Aresh kembali mengulang pertanyaannya.
Kedua tangan Reshi menyeka air mata Aresh, "Abang yakin, suatu saat nanti Aresh pasti akan hamil lagi. Allah mengambil anak kita, karena Dia sangat sayang kepada mereka. Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik lagi. Kita akan berusaha bersama-sama, supaya kamu bisa hamil lagi. Jangan pernah menyerah, Bia! Kalau kamu menyerah, bagaimana dengan Abang? Apa kamu akan membiarkan Abang berjuang sendirian? Abang nggak akan bisa melakukannya sendiri, Bi," tutur Reshi menjelaskan, membuat lidah Aresh menjadi kelu dan hanya bisa menangis.
Reshi memeluk Aresh dengan erat. Hingga isakan tangis Aresh semakin terdengar di kedua telinganya. Membuat kedua mata Reshi berkaca-kaca. Dikecupnya pucuk kepala Aresh dengan cukup lama, sembari membacakan doa agar istrinya selalu kuat dalam keadaan apa pun.
"Abang nggak akan pernah meninggalkan Aresh. Kalau pun Abang harus pergi, itu semua karena ketetapan dari Allah," bisik Reshi di teling Aresh tanpa melepas pelukannya.
Perlahan, Reshi merenggangkan pelukannya. Kemudian menyeka air mata Aresh dengan kedua tangannya. Ia menatap Aresh dengan tatapan tajam namun terasa meneduhkan. Keduanya saling beradu pandang dalam diam. Tangan kanan Reshi terangkat. Menyelipkan rambut panjang Aresh di telinga kanannya.
"Selama ini, Aresh menganggap Abang siapa?" tanya Reshi yang membuat Aresh terperanjat.
Reshi tak pernah menanyakan hal ini sebelumnya. Aresh menatap wajah tampan suaminya tanpa berkedip. Hingga setitik air matanya menetes.
"Abang itu bukan hanya suami untuk Aresh. Abang adalah teman dan sahabat terbaik bagi Aresh. Abang, satu-satunya orang yang bisa menjadi kakak sekaligus ayah untuk Aresh. Abang adalah separuh jiwa Aresh sekarang. Saat Abang pergi, Aresh akan menjadi limbung," terang Aresh mengungkap seluruh isi hatinya yang selama ini terpendam.
Reshi kembali menyeka air mata Aresh, "Aresh mau melakukan sesuatu untuk Abang?" tanya Reshi serius, dan disambut anggukan kepala dari Aresh.
"Mulai sekarang, Abang minta tolong! Apa pun yang sedang kamu lakukan, apa pun yang sedang terjadi sama kamu, tolong ceritakan semuanya kepada Abang! Apa kamu bisa melakukan itu, Bia?" pungkas Reshi memastikan.
Aresh mengangguk patuh, "Abang juga harus janji, kalau marah bilang. Jangan diam saja, Aresh takut!" Pinta Aresh sambil mengangkat jari kelingkingnya di depan wajah Reshi.
Reshi tersenyum, sebelum jari kelingking tangan kanannya bertaut dengan jari kelingking Aresh, "Kapan Abang pernah marah sama kamu, Bi?" ledek Reshi.
"Sering. Tadi juga Abang marah," sahut Aresh gemas sembari menyeka sisa-sisa air matanya, bersamaan dengan kekehan Reshi.
Aresh mengerucutkan mulutnya karena kesal. Dalam hati, ia merasa sangat bahagia. Melihat suaminya berada di hadapannya dengan senyum dan juga tawa yang selama ini dirindukannya.
"Abang nggak marah, Sayang. Cuma gemas saja sama kamu. Lagi sakit tapi gayanya sok kuat," seloroh Reshi.
"Aresh nggak sakit, Bang!" Protes Aresh sedikit memekik.
"Di mata Abang, kamu sedang sakit, Sayang. Sakit di luar dan sakit di dalam," sahut Reshi yang kembali ke mode seriusnya, "luka tembak kamu belum sembuh, Bi. Kamu juga butuh banyak istirahat. Kamu kecapekan. Dan luka dalam di hati kamu, Abang yang akan mencoba menyembuhkannya. Walau Abang tahu, sampai kapan pun bekas luka itu tidak akan pernah menghilang. Ijinkan Abang untuk menyembuhkannya, Bia. Luka itu karena Abang juga bukan?" pungkas Reshi.
Aresh tersenyum bahagia. Tangan kirinya terulur untuk membelai wajah tampan suaminya, "Abang sehat bukan?" gurau Aresh yang membuat Reshi tersenyum.
"Alhamdulillah sehat, Sayang. Cuma mengantuk saja," balas Reshi santai.
"Tidur sini!" Aresh menepuk-nepuk tempat tidurnya setelah sedikit bergeser.
"Boleh?"
"Boleh banget. Jangan lupa, Bia dipeluk ya!"
Reshi tertawa. Membuat Aresh tersenyum senang. Ia tak lepas memandang kebahagiannya yang sangat nyata saat ini. Kebahagiaan yang selama ini dirindukannya.
"Kamu belum makan kan, Bi? Abang suapin ya!" Ucap Reshi sebelum beranjak dari tempat duduknya, tepi tempat tidur Aresh.
"Nggak mau makan itu! Nggak enak," tolak Aresh menatap makanan dari rumah sakit di sampingnya.
"Terus kamu mau makan apa, Sayang?" tanya Reshi sabar.
"Ketoprak," sahut Aresh bersemangat.
Reshi menaikkan salah satu alisnya, "Ketoprak?" tanya Reshi heran.
"Aresh nggak tahu itu yang namanya mengidam atau bukan, waktu itu Aresh cuma ingin makan ketoprak tapi Abang yang membelikannya. Sayangnya Abang nggak ada, jadi ya cuma bisa diam sampai mereka pergi. Apa pun makanan yang Abang beli nanti, Bia akan makan," cerita Aresh yang membuat Reshi tertegun karena terkejut.
Reshi mengusap pucuk kepala Aresh, lantas kembali duduk di tepi ranjang, "Abang akan membelikan makanan pesanan kamu, sampai dapat. Selama Abang di rumah, jangan sungkan meminta sesuatu sama Abang. InsyaAllah Abang akan berusaha mendapatkannya," tutur Reshi yang membuat hati Aresh tersentuh.
"Terima kasih, Abangnya Bia," ucap Aresh.
"Iya, Sayang. Sama-sama," balas Reshi.
Perlahan, Reshi memajukan wajahnya mendekat ke wajah Aresh. Menghapus jarak di antara dirinya dan istrinya, Aresh. Membuat Aresh lupa bernapas, kala hembusan napas Reshi menerpa wajahnya. Kedua matanya memejam saat bibir Reshi melumat lembut bibirnya. Tangan kirinya mengusap lembut tengkuk Reshi. Mengijinkan suaminya, Reshi, untuk menciumnya lebih dalam lagi.
Keduanya saling melumat, saling berbagi saliva tanpa canggung. Meluapkan kerinduan mereka dalam ciuman intim yang mulai memabukkan. Mencucup, mencecap dan melumat tanpa jeda. Lidah keduanya saling bertaut. Bergantian mengeksplorasi rongga mulut. Deru napas yang memburu mulai terdengar di sela-sela ciuman panas mereka. Remasan tangan kiri Aresh di pinggang Reshi, membuat Reshi tersadar. Ia menghentikan aktivitas panasnya.
Reshi menahan senyumnya, kala melihat raut wajah kecewa dari istrinya. Ia kembali mencium bibir tipis Aresh dengan singkat, sebelum menyunggingkan senyum manisnya. Dibelainya wajah cantik Aresh yang selalu dirindukannya.
"Nanti kita lanjutkan lagi, Sayang. Kalau kamu sudah sembuh," ujar Reshi yang membuat wajah Aresh memanas, "masa bikin PR-nya di rumah sakit, nggak seru!" Ledek Reshi berbisik.
"Abang!!!" Pekik Aresh menahan malu, dan disambut kekehan dari Reshi.
"Kamu sedang sakit sekarang. Abang itu selalu lupa kalau sudah mencium bibir kamu," ungkap Reshi jujur, membuat tubuh Aresh menegang.
"Kamu nggak kenapa-kenapa, Abang tinggal keluar sebentar?" tanya Reshi yang dijawab anggukan kepala dari Aresh, "Abang keluar dulu, hati-hati ya, Sayang! Kalau ada apa-apa panggil perawat!" Titah Reshi tak terbantahkan.
"Iya, Sayang. InsyaAllah, Bia bisa jaga diri sendiri. Ibu Reshwara sudah bisa mandiri sekarang," ujar Aresh bangga.
Reshi mengangguk, diiringi senyuman manisnya. Kemudian ia mencium kening, hidung dan melumat bibir tipis Aresh sebelum beranjak pergi. Aresh tersenyum bahagia. Ketika Reshi menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan lekat seakan enggan untuk pergi walau sesaat. Reshi melangkah pergi, setelah Aresh memberikan kiss bye dan melambaikan tangan dengan tangan kirinya.
Aresh tersenyum bahagia. Tangan kirinya menekan dadanya dengan hati-hati. Merasakan detak jantungnya yang masih berdetak kencang di dalam sana. Kemudian meremas bajunya, kala mengingat bagaimana lembutnya ciuman Reshi beberapa menit yang lalu. Inilah kebahagiannya. Suami tercintanya, Reshi. Ia pun tak sabar untuk bisa kembali ke rumah, menunggu kedatangan ayahnya dan berkumpul bersama dengan keluarga tercintanya.
Tbc.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top