1. Berawal dari tatap
Sorot mata tajam mengarah tepat ke titik tengah shoot range, target tembak yang akan menjadi tujuan akhir beberapa pelurunya nanti. Kedua tangannya tampak lincah melepas magazine tanpa harus melihatnya. Tangannya seakan memiliki mata tersembunyi untuk mengenali bagian-bagian pistol semi otomatisnya. Kepalanya menunduk, seraya memasukkan beberapa butir peluru untuk mengisi magazine dan kembali memasangkannya. Kemudian mengunci dan menyimpan pistolnya ke dalam sarung pistol yang berada di paha atas bagian kanan.
Ia pun beralih mengecek senjata laras panjang miliknya yang juga akan digunakan untuk berlatih menembak hari ini. Beberapa senjata yang lain tampak berada di dalam box besar persegi panjang yang dibawanya. Senjata-senjata itu memiliki fungsi yang berbeda-beda tentunya. Semua disesuaikan dengan jarak dan kondisi targetnya. Seperti biasa, lelaki muda itu tampak tak acuh dengan keadaan sekitarnya. Ia hanya peduli dengan benda kesayangannya dan juga targetnya.
“Bagaimana kalau kita bertaruh, Kapten Alif?” tantang Kapten Yongki dari Tim Bravo kepada Kapten Tim Alpha.
Kapten Alif pun menoleh dengan cepat. Tersenyum menyeringai kepada salah satu rekannya, Kapten Inf. Yongki Wiryawan. Kemudian memandang bergantian salah satu anak buahnya dan anak buah temannya, “That's good idea,” ujarnya setelah menatap Yongki.
“Vice leader versus sniper,” sahut Yongki.
“Sepertinya Anda lupa, Kapten Yongki. Reshi juga seorang sniper. This is battle sniper, right?” timpal Alif.
“Let's play!” seru Yongki kepada Alif.
Alif mengangguk senang. Kedua kapten itu memberitahu anggota timnya masing-masing, lantas mengumpulkan uang untuk bertaruh siapa yang akan memperoleh poin terbanyak dalam sesi latihan gabungan menembak nanti. Setelah itu mereka beralih untuk memberitahu jagoan mereka masing-masing.
“Lettu Inf. Reshwara Abi Nataya, kumpulkan poin sebanyak-banyaknya! Aku bertaruh banyak untukmu,” bisik Alif kepada wakilnya, Reshi.
Reshi menolehkan kepalanya. Ia menatap tajam Alif dengan tatapan tajam bak elangnya. Alif hanya tersenyum membalas tatapan tajam Reshi sembari menepuk lengan kokohnya.
“It's order, Reshi!” titah Alif tak terbantahkan.
Reshi hanya terdiam menatap kesal atasannya, Alif. Ia merutuki dirinya sendiri. Ia sepertinya telah tercipta untuk mematuhi semua perintah atasannya. Baginya, perintah atasan adalah sabda yang tak bisa terbantahkan.
Reshi mengalihkan pandangannya. Menatap lawannya yang berada di ujung timur. Keduanya saling beradu pandang dalam diam. Reshi bergeming, tak membalas senyuman ramah sang lawan. Lawan yang tak lain adalah junior tengil yang pernah dilatihnya dulu. Seperti biasa, ia hanya menampilkan wajah datarnya tanpa senyum.
“Do the best!” seru Alif memberi semangat.
Reshi menyiapkan senjatanya sembari mendengarkan Alif yang sedang berteriak memberi aba-aba dari jauh untuk memulai latihan menembak. Senjata laras panjang sudah berada di genggaman tangannya saat ini. Sorot mata tajamnya kembali mengarah ke arah shoot range berbentuk orang yang terbuat dari besi. Ia berdiri tegap di posisi start-nya di ujung barat, sembari mengenakan kacamata hitamnya. Suara kokangan senjata pun mulai terdengar, sebelum menempatkan senjata laras panjangnya sejajar dengan bahu. Kedua matanya kembali fokus ke satu titik target yang akan menambah poinnya nanti.
“Stand by!” pekik Alif memberi aba-aba, “ready?”
Bunyi peluit pun terdengar, sebagai pertanda dimulainya pertandingan. Bunyi suara tembakan yang keras terdengar bersamaan setelah suara peluit berhenti. Reshi menembakkan targetnya setelah sampai di posisi tempat dimana dirinya harus menembak. Kemudian berlari sebelum menembakkan peluru keduanya di target selanjutnya hingga target terjatuh. Dentuman suara keras dari senjata laras panjang Reshi dan lawannya menjadi suara merdu di telinga beberapa orang yang melihatnya.
Tangan kanan Reshi segera mengambil pistol yang berada di sarung pistol, di paha kanannya. Kemudian menembakkan beberapa pelurunya ke arah tiga target yang berjejer rapi dengan cepat, hingga semua target terjatuh. Ia kembali berlari sembari melepas magazine yang telah kosong, dan menggantinya dengan yang baru. Magazine yang diambilnya dari saku rompi anti peluru yang dikenakannya.
Suara tembakan keras yang bertubi-tubi pun terdengar, kala Reshi menembakkan pelurunya untuk melumpuhkan target yang terakhir, “Clear!” seru Reshi mendahului lawannya.
“Safe the gun!” teriak Alif untuk meminta keduanya menyimpan pistol ke sarungnya.
Reshi mengunci pistolnya sebelum memasukkannya ke dalam sarung pistol. Ia menatap hasil tembakannya di target yang terakhir. Kepalanya menoleh kala Alif dan Yongki mendekat ke arahnya. Kedua kapten itu memeriksa dan meneliti hasil tembakan Reshi dan lawannya, Arya. Senyum seringaian muncul dari wajah Alif saat memandang Yongki.
“Alpha menang,” ucap Alif bangga.
Yongki mengangguk, “Good job, Lettu. Reshwara!” ujar Yongki menyalami Reshi.
“Siap! Terima kasih, Kapten.” Reshi menyahuti dengan sopan tanpa senyum di wajahnya.
Arya pun menyalami Reshi, “Senang bisa melawan Anda, Coach,” ucap Arya yang dibalas anggukan kepala dari Reshi sebelum pergi.
Alif segera berlari mengejar Reshi. Ia menyejajarkan langkahnya ketika berada di samping Reshi.
“Kita bertemu di kantor BIN pukul satu siang nanti. Bersiaplah untuk liburan kita selanjutnya. See you soon my beloved Ice!” ujar Alif mengoda sebelum dirinya berlari menuju anggota timnya yang lain.
Sorot mata tajam Reshi kembali mengarah ke punggung Alif yang menjauh dari pandangannya. Tatapannya hampir sama saat dirinya menatap musuh atau pun shoot range targetnya. Tajam dan dingin. Satu persatu senjata miliknya mulai masuk ke dalam box. Panas matahari yang mulai menyengat seakan tak mengganggu kegiatannya sama sekali. Ia tampak santai merapikan benda-benda kesayangannya itu. Membuat Alif menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan tak asing dari rekan kerjanya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. Reshi selalu memperlakukan senjata-senjata bak seorang kekasih.
¤¤¤
Enam orang berbadan tinggi dan tegap berjalan santai menuju ruang meeting khusus di kantor BIN. Setelan jas hitam yang mereka kenakan menyamarkan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Seakan sudah menjadi kebiasaan, mereka berenam berjalan layaknya sebuah barisan kecil yang rapi. Berbanjar dua di bagian tengah, membentuk segi enam. Langkahnya serempak seakan ada sesuatu yang memberi aba-aba kepada keenam prajurit TNI Sat-81 Sandhi Yudha, atau mereka biasa disebut pasukan siluman TNI.
Mereka berenam memiliki spesifikasi tugas perang rahasia, termasuk kemampuan dalam intelijen tempur atau combat intell, dan counter insurgency (kontra pemberontakan). Satuan-81 merupakan salah satu perangkat BIN (Badan Intelijen Nasional) di dalam operasi khusus yang bersifat paramiliter. Untuk itulah mereka berenam berada di sini.
“Kakak Ice, kau tahu tidak kita akan berlibur kemana? Kakak Tiger bilang, kita orang akan berlibur jauh. Beta sungguh tak sabar untuk berlibur lagi,” celoteh Sertu Inf. Orion Hitto Tamaela dengan logat khas Ambon-nya.
Ice adalah nama panggilan bagi Reshi. Sedangkan Tiger adalah nama panggilan dari Kapten Inf. Alif Abimanyu Shahab. Reshi mengedikkan bahunya pertanda tak tahu. Ia terus berjalan sembari menatap lurus ke depan, tak mengacuhkan selorohan rekan-rekan timnya. Telinganya seakan sudah tersumbat agar tak acuh mendengar ocehan teman-temannya.
“Heh, Amboina! Bodoh kali kau! Kau tanya pertanyaan tak penting seperti itu kepada Ice, sampai natal monyet juga tak akan dia jawab!” sahut Lettu Inf. Alexander Sinaga dengan logat khas Medan yang sangat kental, disambut kekehan kecil dari keempat rekannya kecuali Reshi yang masih saja menyimpan suaranya.
“Maksud Kakak Dalmatian apa?” tanya Orion tak paham kepada Alex dengan panggilan khususnya.
Letda Inf. Rikas Harsa Atmadja pun menyahuti sembari menepuk pundak Orion yang berada di depannya, “Kamu tahu kenapa Lettu. Reshwara dipanggil dengan Ice?” tanya Rikas kepada Orion yang baru sebulan bergabung dengan Tim Alpha, menggantikan salah satu personil Tim Alpha yang gugur dalam tugasnya.
Orion menggeleng setelah menolehkan kepalanya kembali ke belakang. Menatap Alex, Rikas, dan Komang secara bergantian dengan wajah polosnya. Langkahnya pun tertinggal dengan Reshi yang berada di sebelahnya. Hingga Reshi berjalan sejajar dengan Alif.
“Kamu tahu gunung es, Amboina?” tanya Sertu Inf. I Komang Sastra kepada Orion dengan panggilan barunya yang diambil dari nama hewan endemik terkenal di Maluku, Nuri Raja Ambon atau dalam bahasa inggris, Amboina King Parrot.
“Lettu. Reshwara itu seperti gunung es. Di mana bagian atas dari gunung es yang hanya kelihatan kecil di atas permukaan laut itulah yang bisa kita lihat. Dan itu adalah contoh dari sifat Lettu. Reshwara. Perilaku, tindakan, dan keputusannya terasa dingin seperti es. Dan bagian bawah dari gunung es itu sama sekali tak dapat kita sentuh,” jelas Komang dengan sedikit logat Bali-nya yang hampir memudar karena sering berpindah-pindah tugas, membuat Orion mengangguk mengerti.
Alex pun merangkul pundak Orion, “Tenang Amboina, Kakak tampanmu ini akan bantu kau untuk melelehkan si Ice itu,” seloroh Alex yang sudah terbiasa berbicara blak-blakan tanpa takut kepada siapapun, seperti sifat anjing Dalmatian yang terkesan ramah namun mudah terprovokasi dan dapat menjadi agresif.
“Sepertinya, kamu tidak perlu mencari wanita untuk membuat apartemenmu ramai, Ice. Bawa saja mereka pulang, apartemenmu dijamin ramai macam arisan emak-emak,” gurau Alif kepada Reshi.
“Siap, Kapten!” ujar Reshi tegas menyetujuinya.
Tim Alpha memasuki ruangan khusus setelah seorang penjaga membukakan pintu untuk mereka. Seberkas cahaya dari layar datar berukuran besar menyinari ruangan besar itu. Layar datar itu menampilkan gambar Menara Eiffel saat matahari terbit yang terlihat begitu indah. Mereka berenam segera duduk di kursi yang mengelilingi meja oval besar di ruangan itu. Sebuah kotak persegi berwarna hitam bertuliskan ‘Sierra Echo Charlie Romeo Echo Tango’ berada di atas meja oval di masing-masing bagian tempat di mana mereka duduk. Mereka pun saling berpandangan. Tahu jika liburan mereka ini sepertinya akan sangat berbeda dari biasanya. Hanya Orion yang belum mengetahui liburan apa yang akan diberikan atasannya nanti.
“Buka kotak itu! Cek semua peralatan dan segera pakai!” titah Kolonel Inf. Agus Yudhanto setelah saling memberi penghormatan.
Alif, Reshi, Alex, Rikas, Komang dan Orion segera membuka kotak persegi yang berada di hadapan mereka. Semuanya menatap beberapa benda yang berada di kotak itu.
“Periksa senjata!” perintah Kolonel Agus tegas, membuat keenam anak buahnya segera mengambil pistol yang berada di dalam kotak.
Suara kokangan pistol terdengar bersahutan kala para pasukan elit itu mengecek pistol terbaru mereka. Kemudian melepas magazine, mengecek isi peluru, dan juga peredamnya.
“Pistol FN Five-seveN menggunakan peluru berkaliber 5,7mm, semi otomatis, jarak efektif 50 m, jarak jangkauan 1.510 m, dengan kecepatan peluru 650 m/s.” Kolonel Agus menjelaskan.
“Suunto X-lander military series, jam minimalis dengan teknologi tinggi yang dilengkapi dengan altimeter, barometer, kompas, digital bahkan GPS. Mampu menahan peluru dari tembakan yang menghantam karena lapisan tebal di jam itu. Tahan di segala medan, tahan di lumpur hingga tahan terhadap korosi air laut,” lanjut Kolonel Agus, diiringi gerakan serempak keenam prajurit siluman yang segera mengganti jam tangan mereka dengan jam tangan tercanggih itu.
Agus pun menerangkan tentang fungsi bolpoin yang berada di dalam kotak itu, “Bolpoin multifungsi ini memiliki banyak fungsi selain sebagai alat tulis. Perekam, penyimpan data, laser pemotong baja, dan tembakan pembunuh. Jika situasi darurat, tembakan pada bagian arteri. Dalam satu detik, selesai,” kata Agus.
Bolpoin itu langsung berpindah ke saku atas jas para pasukan khusus. Mereka mengamati dua barang yang masih bersisa.
“Kacamata multifungsi, bisa sebagai handsfree dengan menekan brand di sebelah kanan," ucap Agus yang segera dipraktekkan oleh para Tim Alpha, "kacamata hitam itu juga bisa digunakan sebagai alat pendeteksi identitas seseorang. Semua data tentang orang tersebut akan muncul di depan mata,” lanjutnya.
Rikas, Komang dan Orion terkejut saat mereka menatap Reshi dengan menggunakan kacamata hitam itu.
“Damn it!!!” umpat Reshi geram dalam hati.
“Lepas kacamata kalian!” titah Reshi dingin sebelum melepaskan kacamata.
Ketiga rekannya itu segera melepas kacamata hitamnya dengan kikuk, sembari menatap takut Reshi yang sedang memberikan tatapan tajam mengintimidasinya.
“Kacamata itu bekerja otomatis saat menyentuh hidung. Jadi jika ingin menon-aktifkannya, cukup dilepas saja,” imbuh Kolonel Agus.
“Super bubble gum, permen karet super yang bisa membuat ledakan kecil hingga ledakan besar. Ledakan kecil seperti petasan akan terjadi jika permen itu dikunyah dalam waktu kurang lebih satu menit. Jika ingin terjadi ledakan yang lebih besar, maka kunyahlah permen karet itu lebih lama lagi. Maksimal mengunyah, 15 menit. Tempelkan permen karet yang telah dikunyah ke target sasaran. Reaksi akan muncul dengan perbandingan waktu dan lama mengunyah, 1:1.” Kolonel Agus melanjutkan penjelasannya.
Setelah selesai menjelaskan perlengkapan, Kolonel Agus melanjutkan memberi tugas kepada Tim Alpha. Mereka fokus menatap layar datar yang menampilkan wajah wanita cantik berbalut kemeja putih dan blazer hitam. Walau sebelumnya mereka sempat terkejut melihat gambar seseorang yang tak asing bagi mereka, terkecuali Orion. Berbeda dengan yang lain, jantung Reshi berdegup kencang kala melihat foto itu. Sorot mata tajamnya tampak sangat fokus menatap foto itu. Namun otaknya berkhianat karena memutar kembali kejadian dua tahun lalu. Di mana awal pertama kali dirinya bertemu dengan sosok di layar datar besar itu.
***
Pandangan mata Reshi terkunci. Memerhatikan sesosok perempuan muda yang sedang mendongengkan cerita dengan boneka tangan di kedua tangannya. Dari kaus yang dipakainya, dia adalah salah satu sukarelawan dari Kelompok 1000 Guru. Anak-anak para korban meletusnya Gunung Merapi terlihat bahagia dan bersemangat mendengarkan cerita dari perempuan cantik itu.
Kedua mata Reshi menatap perempuan itu dengan tatapan tajamnya, seakan mengunci target sasaran yang akan ditembaknya. Membuat semua rekan satu timnya, menatapnya dengan heran. Kejadian yang sangat langka, ketika seorang Reshi bisa menatap seorang perempuan dengan jangka waktu yang cukup lama.
“Taruhan!” seru Alif yang disambut tatapan gembira dari keempat anggota timnya, Alex, Rikas, Komang dan Made.
“Taruhan apa, Kapten?” tanya Sertu Inf. Made Irawan.
“Kira-kira, Ice berani tidak mendekati perempuan itu?” tanya Alif kepada keempat rekannya.
“Bah! Sampai jangkrik beranak, Ice tak akan berani mendekati perempuan itu. Jarak jauh saja sudah meleleh dia. Aku bertaruh separuh gajiku bulan depan,” ujar Alex percaya diri.
Komang terkekeh, “Tiang ikut Dalmatian saja,” sahutnya.
“Dasar Hanoman! Kau selalu saja mengekor padaku,” protes Alex menimpali ucapan Komang.
Suara kekehan pun terdengar. Tetapi belum mampu menembus indera pendengaran Reshi. Selorohan konyol teman-temannya yang sedang menjadikannya taruhan, hanya bagaikan angin yang berlalu saja. Reshi masih terhanyut dengan dunianya sendiri. Target indah dari Sang Maha Penciptanya terlalu menarik untuk disia-siakan.
“Ice pasti akan mendekati perempuan itu. Gaji penuh selama satu bulan,” taruh Alif lugas.
Rikas menyodorkan tiga lembar uang seratusan ribu kepada Alif, “Lettu. Reshwara tidak akan menyerah untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Dia hanya takut kepada Sang Penciptanya.”
“Ice tak akan mau mendekat. Ini taruhanku, Bli!” kata Made sembari memberikan lima lembar uang kertas berwarna biru kepada Alif.
Alif tersenyum menyeringai, “Let's see!” ujar Alif.
Alex, Rikas, Komang, dan Made menatap Alif yang sedang menghampiri Reshi. Alif sengaja berdiri di depan Reshi. Menutupi arah pandang Reshi hingga tersadar dari keterpukauannya. Reshi mendongak, menatap tajam Alif dengan tatapan kesalnya. Namun mulutnya tak mengucapkan sepatah kata pun. Alif tahu, jika Reshi sedang menahan amarahnya saat ini.
Reshi beranjak dari tempat duduknya tanpa melepaskan sorotan mata tajamnya kepada Alif. Alif mencengkram salah satu tangan Reshi dengan kuat, saat Reshi melangkahkan salah satu kakinya untuk pergi.
“Datangi perempuan itu! Atau kamu tidak akan pernah bisa tertidur nyenyak setelah ini. Kesempatan nggak akan datang dua kali, Ice!” ujar Alif memancing Reshi untuk mendekati perempuan itu.
Reshi menghempaskan tangannya dengan kasar. Melepaskan cengkeraman tangannya dari tangan Alif.
“Minimal kamu cari tahu namanya, Ice!” seru Alif sembari menatap punggung tegap Reshi yang menjauh.
Senyum Alif tersungging, saat melihat Reshi menghampiri perempuan cantik yang sedang membawa dua botol air minum di tangannya. Perempuan cantik yang sebenarnya bukan orang asing bagi Alif. Perempuan itu biasa dipanggil dengan nama Aresh. Alif berharap, kehadiran Reshi bisa membuat Aresh membuka hatinya kembali.
Alif, Alex, Rikas, Komang, dan Made mengulum senyum mereka melihat Reshi menghadang jalan perempuan itu. Kaki kanannya menggeser ke samping kanan dengan kikuk, bersamaan dengan langkah si perempuan yang akan berjalan ke sisi kanannya. Reshi terdiam menatap kedua mata perempuan di hadapannya dengan lekat. Membuat si pemilik mata indah itu mengerutkan dahinya samar. Perempuan itu pun menatap balik Reshi tanpa takut. Hingga membuat detak jantung Reshi berdetak abnormal.
Reshi tak tahu apa yang sedang terjadi kepada dirinya saat ini. Seluruh syaraf dan organ-organ penting di tubuhnya seakan tak bekerja dengan baik. Semua mengkhianati perintah otak cerdasnya. Bak sebuah komputer yang sedang terkena virus berbahaya. Ia lebih memilih berhadapan dengan Perompak Somalia dari pada berhadapan dengan perempuan cantik ini. Kaki kirinya bergeser ke samping kiri, bersamaan dengan langkah si perempuan yang akan berjalan ke sisi kirinya. Perempuan itu mendengus dengan kesal.
“Mas! Bisa minggir nggak?! Mau lewat nih!!!” sungut perempuan itu.
Reshi tetap terdiam. Suara merdu perempuan itu membuat degup jantung Reshi semakin tak karuan.
“Oh, atau Masnya mau minum?” tanya perempuan itu kembali, “nih!” imbuhnya sembari menyodorkan sebotol air minum.
“Aku Reshi,” ucap Reshi memperkenalkan diri.
Perempuan itu mengerutkan dahinya, lantas menatap Reshi semakin lekat. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Reshi. Membuat Reshi terdiam mematung tanpa bernapas, hingga waktu pun seakan ikut terhenti. Perempuan itu memundurkan langkahnya kala melihat tubuh Reshi menegang. Keduanya saling beradu pandang.
“Memangnya aku menanyakan nama kamu tadi?” ujar perempuan itu, diiringi keterkejutan Reshi yang berhasil ditutupi.
Tawa keras terdengar dari kelima rekan Reshi yang sedang duduk di atas batu yang bertumpuk-tumpuk. Perempuan itu segara menatap mereka dengan tatapan tajamnya, dan gelak tawa pun terhenti saat itu juga. Reshi mengumpat kesal dalam hati. Betapa bodoh dirinya menuruti perintah Alif.
Perempuan itu kembali menatap Reshi, “Sepertinya, kamu perlu belajar lagi untuk bisa berkenalan dengan seorang wanita, Reshi,” ejeknya sebelum melangkah pergi meninggalkan Reshi.
Reshi mencekal tangan perempuan itu. Ditatapnya kedua mata indah di hadapannya itu dengan tatapan tajam mengintimidasi. Membuat si pemilik mata indah itu menelan salivanya dengan susah payah.
“Dipertemuan kedua nanti, aku pasti akan mengetahui namamu. Aku nggak akan pernah lupa bagaimana wajah calon ibu dari anak-anakku nanti,” ucap Reshi tegas.
Reshi melangkah pergi meninggalkan si perempuan yang sedang membeku di tempatnya. Membeku karena perkataan aneh dari Reshi. Reshi menatap tajam kelima rekannya yang sudah berdiri dan bersiap pergi meninggalkannya. Dan mereka tak akan bisa lari dari amukan murkanya.
***
“Nareshwari Alyana Bagaskara. Agen Intelijen dari BIN, dengan kode SA 809. Terkenal dengan nama panggilan Aresh, atau Agen A (read: ei). Mengundurkan diri sebagai Agen Intelijen BIN seminggu setelah ayahnya dikabarkan meninggal. Kurang lebih dua tahun yang lalu,” terang Kolonel Agus.
“Tugas kalian, mencari dan membawa dia kembali ke Indonesia dengan utuh! Dia adalah kunci untuk bisa menemukan ayahnya yang disinyalir memiliki hubungan dengan kaburnya teroris Abu Rasyid tiga tahun yang lalu,” perintah Agus.
Agus menyentuh layar datar besar di hadapannya lantas menggeserkan tangannnya ke kiri, gambar pun berganti dengan cepat, “Ini foto ayahnya,” jelas Agus ketika foto lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan diusianya itu muncul di layar datar.
“Agen Intelijen senior BIN. Kematiannya masih menjadi misteri hingga detik ini. Agen Intelijen Malaysia melaporkan telah melihat keberadaan Agen ini di Vietnam,” ungkap Kolonel Agus.
“Jadi, dia masih hidup?” tanya Alif penasaran.
“Itulah tugas kalian. Bawa pulang Agen Aresh, kemudian bantu dia menemukan keberadaan ayahnya!” titah Kolonel Agus tegas.
Reshi menatap gambar di layar datar besar itu tanpa berkedip. Mengingat kembali kerjasama timnya terdahulu dengan agen senior itu. Entah kebetulan semata atau memang takdir yang membawanya ke dalam kasus rumit antar negara dan keluarga wanita yang dicintainya tanpa sadar.
“Lettu Inf. Reshwara Abi Nataya!” panggil Agus dengan suara kerasnya.
Reshi masih terdiam menatap layar datar besar itu. Sedangkan kelima rekannya menatap Reshi dengan heran.
“Lettu Inf. Reshwara Abi Nataya!!!” seru Agus tak sabar, bersamaan dengan Alif yang menendang kaki kanan Reshi dengan pelan.
Reshi terkesiap, “Siap Komandan!” sahut Reshi tegas.
Agus menghela dan mengembuskan napas beratnya, “Bisakah Anda mengulang kembali apa yang sudah saya katakan tadi, Lettu. Reshwara?” tanya Kolonel Agus mengetes.
Reshi memandang rekan-rekannya bergantian, seraya menelan salivanya dengan susah payah, “Segera temukan Agen A dan,” kata Reshi sembari berpikir, “cari keberadaan ayahnya!” pungkas Reshi asal.
Kolonel Agus menatap tajam Reshi dengan sorot mata kesalnya, “Ambil amplop coklat itu, dan laksanakan tugas kalian!” perintah Agus.
“Siap Komandan!” sahut Tim Alpha serempak.
Semua Tim Alpha membuka amplop coklat yang baru saja dibagikan oleh ajudan Kolonel Agus Yudhanto. Amplop yang berisi identitas baru mereka selama menjalankan tugas rahasia di Kota Mode yang amat terkenal di seantero dunia.
ARESH®
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top