2. Mimpi yang Berulang
Ruang konser. Biasanya penuh dengan orang-orang berbeda karakter. Saling bercengkerama mencari keputusan paling baik untuk menyenangkan para penggemar. Itu biasanya. Dan saat ini sedang tidak biasa. Dreya duduk di undakan panggung sendirian. Hanya ada dirinya, napasnya, dan pikirannya yang melanglang buana.
Polesan make up sudah dihapus. Acara fansign sudah selesai sekitar sejam yang lalu. Namun, Dreya masih belum ingin pulang. Mendadak pikirannya penuh dengan kejadian di acara fansign tadi. Dimulai dari silver sparkle, manipulasi, hingga gadis asing berambut putih. Jelas ia tidak mengenal gadis itu. Tidak pula ingin terlalu akrab. Apalagi gadis itu bukan penggemarnya. Memangnya untuk apa? Perasaan tertekan yang sudah mulai hilang dari dirinya kini muncul lagi. Gadis itu penyebabnya.
Ia pikir, tidak akan ada yang menyadari bahwa sebenarnya silver sparkle yang menjadi ciri khasnya itu adalah hasil manipulasi. Sebuah kemampuan yang entah bagaimana caranya bisa ia miliki sejak kecil. Tentu saja itu pemikiran bodoh. Di dunia ini, pasti ada setidaknya satu orang yang memiliki penglihatan super peka. Mampu melihat kejadian aneh yang tidak mungkin dimiliki manusia biasa. Jika itu terjadi, maka habislah sudah.
Karena seseorang telah berhasil memergokinya menggunakan kemampuan "ajaib" yang sekali lagi, tidak mungkin dimiliki manusia biasa.
Dreya menekuk lututnya mendekat ke tubuh. Biasanya setelah konser selesai, ia akan merasa senang bukan kepalang. Namun sekarang, untuk bersikap normal saja ia tidak bisa. Mood-nya hancur semenjak gadis itu pergi dari hadapannya tadi. Ia seperti kembali pada dirinya yang dulu. Hampir menjadi gila karena tidak tahu makhluk seperti apa ia sebenarnya. Apalagi ibu dan Finn bukanlah keluarga kandungnya, semakin bertambahlah tekanan.
Jika begini, Dreya harus apa? Tidak mudah menghilangkan pikiran buruk seperti membolak-balik lembar buku. Harus butuh proses. Dan proses yang seperti apa, Dreya tidak tahu.
"Kenapa masih di sini? Ayo pulang." Seseorang mendadak datang sambil berdecak.
Dari suaranya, Dreya tahu itu Finn. Kakak laki-lakinya itu memiliki suara serak yang agak berat. Dreya enggan menjawab pun enggan beranjak. Masih nyaman dengan posisi duduknya.
Finn mendekat. Ia berhenti di hadapan Dreya sambil berkacak pinggang. "Kamu mau di sini sampai kapan? Ini sudah malam. Ayo pulang. Istirahatlah!"
Tak ada jawaban. Finn menggeleng. Dihampirinya Dreya, duduk di samping gadis itu dan merangkul gadis itu lembut. "Kamu kenapa?" tanyanya.
"Aku ini ... sebenarnya siapa?"kata Dreya sambil menunduk. Melihat ujung sneakers miliknya yang sebenarnya tidak menarik.
"Lagi?" Finn mengernyit heran. "Kalau kamu mau tahu, ini sudah kali ke seratus lima puluh tujuh kamu menanyakan hal yang sama. 'Aku ini siapa?'. Tentu kamu adik perempuanku, siapa lagi?"
"Kamu tahu bukan itu maksudku, Finn." Dreya makin murung. Menenggelamkan wajahnya di antara lekukan lutut. Memilih mengabaikan fakta bahwa kakaknya itu diam-diam menghitung seberapa banyak ia bertanya tentang jati diri.
"Aku tahu, Dreya. Lebih daripada kamu, aku juga menanyakan hal yang sama. Bagaimana bisa kamu—yang secara fisik jelas adalah manusia—memiliki kemampuan yang tidak bisa masuk di akal. Adakah teori yang mampu menjelaskan? Beda lagi ceritanya kalau kamu sebenarnya adalah mutan yang sedang diteliti, tetapi mendadak kabur."
"Jangan melantur, Finn!" Dreya memperingatkan. Kepalanya masih tenggelam di antara kedua kakinya. Enggan mendongak menatap manik safir kakaknya yang sebenarnya menenangkan.
"Who knows, Dreya?" Finn menaikturunkan bahunya cepat. "Tidak ada yang tahu bagaimana kamu lahir. Bahkan ibu panti asuhan pun tidak. Kamu sudah ada di halaman panti saat tengah malam. Menangis kencang sampai membangunkan seluruh penghuni panti. Yah, meskipun aku tidak tahu langsung. Tapi ibu panti menjelaskannya saat keluarga kami mengadopsi kamu."
Finn benar. Dreya memang menangis kencang sekali tanpa tahu penyebabnya. Mengapa ia bisa ada di halaman panti asuhan? Ketika usianya baru sekitar delapan tahun, seorang diri. Saat tengah malam pula. Hanya kejadian itu yang ia ingat. Sisanya? Nol besar. Siapa ayahnya, siapa ibunya, apakah ia punya saudara atau tidak, semua itu tidak ia ketahui. Mungkin dirinya mendadak amnesia kala ia sampai di halaman panti.
"Tapi sekarang aku jadi yakin." Finn menatap bangku penonton yang gelap dan kosong. "Sikapmu sekarang pasti ada hubungannya dengan penggemarmu yang berambut putih itu, kan?"
Dreya mengangkat kepalanya cepat. "Dia bukan penggemarku!" sergahnya.
"Kalau bukan, lantas kenapa dia datang tadi? Minta tanda tangan pula. Kemudian berbisik padamu sampai kamu terlihat ketakutan. Memangnya ada apa?"
"Kamu sudah tanya padaku sebanyak dua kali." Dreya memalingkan wajahnya.
"Dan kamu juga tidak menjawab pertanyaanku dua kali. Jadi untuk kali ketiga aku bertanya, tolong dijawab dengan sangat jujur dan jelas. Ada apa? Kenapa kamu mendadak ketakutan? Bahkan setelah gadis itu pergi, sikapmu pada para penggemarmu sedikit berubah. Seolah ingin cepat lari dari tanggung jawab." Jika Dreya keras kepala, mungkin Finn akan bertingkah lebih keras kepala daripada dirinya. Buktinya, Finn malah membuatnya kembali menatap manik safir Finn hanya dengan satu tepukan pelan di pipinya.
"Kalau harus jujur ... " Dreya menyerah. Ucapannya menggantung. Sejenak, ia menarik napas dalam sebelum mengeluarkannya dengan sekali hentakan. " ... aku takut. Tentang kemampuanku, tentang kenyataan bahwa aku berbeda, dan tentang jati diriku. Ya, aku takut karena gadis itu tahu bagaimana aku memanipulasi udara hingga muncul silver sparkle. Teknisnya, gadis itu melihat. Dengan jelas. Tatapan tajamnya tidak bisa kulupakan. Dia mengancamku. Katanya, tidak akan melepaskanku dengan mudah. Memangnya dia mau apa, Finn? Memakan dagingku? Tentu tidak enak. Lebih enak dagingmu, mungkin."
Buru-buru Finn tertawa mendengar kalimat terakhir Dreya. "Kamu ini aneh, Dreya. Untuk apa memikirkan sesuatu yang belum tentu benar adanya? Katakanlah memang gadis itu mengancammu. Tapi apa dia akan melakukannya langsung? Gertakan dibuat untuk menakuti lawan bicaranya, kamu tahu?"
Mungkin Finn benar untuk yang satu itu. Hanya saja Dreya menolak untuk peduli. Karena tentu saja Finn tidak mengerti ketakutan dan kekhawatirannya. Sekuat apapun kakaknya itu berusaha mencairkan suasana, tetap saja ada yang berbeda. Terlebih lagi setelah Dreya ketahuan oleh orang lain. Untung hanya satu, bagaimana kalau lebih? Atau parahnya lagi, bagaimana kalau seluruh dunia tahu?
"Ayolah Dreya. Lupakan hal yang tidak penting. Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya jadi kamu. Tapi bukan berarti kamu harus selalu murung karena merasa berbeda. Percayalah, kamu sudah sangat spesial. Ayo, pulang. Besok kamu harus menghadiri pesta kebun Mr. Ammer." Finn memegang tangan Dreya erat.
"Kenapa besok?" tanya Dreya.
"Entahlah." Finn bangkit dari duduknya. "Mungkin karena besok hari bersejarah?"
Dreya mencibir. Hari bersejarah apanya? Besok adalah hari yang melelahkan. Untuk otak, hati, dan raganya. Kalau bisa, Dreya ingin hari ini tidak pernah berakhir begitu saja. Meski begitu, mau tidak mau, ia bangkit juga. Mengikuti langkah Finn keluar dari ruang konser.
Tentu saja sambil membiarkan tangannya tetap digandeng erat.
***
Pagi ini tidak seperti pagi biasanya. Langit tampak mendung dengan awan kelabu pekat yang menutupi. Hewan-hewan berlarian kesana kemari dengan mulutnya yang mengeluarkan suara keras. Juga sekawanan burung yang tak mau kalah, terbang cepat seolah mencari tempat persembunyian. Hanya dua—tiga burung gagak yang bertengger di tiang bendera istana sambil sesekali mengaok seram.
Sebagian orang menganggap itu hal biasa. Mungkin akan terjadi badai atau bencana alam yang tidak terlalu menarik perhatian. Paling menimbulkan korban, itu pasti. Mereka tetap melaksanakan aktivitas seperti tidak akan terjadi apa-apa. Malah ada yang saling tertawa keras karena lelucon sepele.
Di sisi lain, seorang anak perempuan sedang fokus membaca di aula besar istana. Umurnya baru delapan tahun. Membaca buku sejarah sambil ditemani ibu dan ayah. Padahal mereka sudah tidak muda lagi. Namun apa daya, semua akan mereka lakukan demi anak tercinta.
Kembali gadis kecil itu membalik lembar bukunya perlahan. Kedua manik hitamnya tetap fokus membaca kata demi kata yang terdapat pada buku itu. Seolah tak ingin diganggu, panggilan dari ibunya pun tak dapat masuk ke gendang telinganya.
Di luar sana sebenarnya matahari mulai meninggi. Hanya saja awan kelabu sukses menutupi sehingga sinar hangatnya tidak dapat masuk. Entah ada apa, tapi gadis kecil itu bisa merasakan hawa tidak enak. Seolah akan terjadi sesuatu yang dahsyat yang jelas akan merubah semuanya.
"Ibu ... " Gadis kecil itu membuat ibunya melihat ke arahnya. " ... kenapa di luar masih gelap?"
Sang ibu melihat pintu sebentar, kemudian beralih pada putrinya lagi. Senyumnya menghiasi wajah. "Mungkin sebentar lagi hujan. Kamu tenang saja ya, ada Ibu di sini."
Gadis itu mengangguk takzim. Merasa sedikit tenang karena ucapan ratu. Sang raja yang semula ikut duduk menemani, beranjak berdiri.
Di depan pintu aula, ada dua orang yang menunggu. Pakaiannya serba hitam. Semula berbicara dengan nada biasa pada raja. Namun, lama kelamaan mereka bicara dengan nada tinggi! Suaranya menggelegar! Gadis kecil itu sampai terlonjak kaget. Kemudian tanpa diduga, raja terpental begitu saja hingga punggungnya menubruk tiang penyangga dengan sangat keras.
Dreya terbangun dengan keringat bercucuran di wajahnya. Napasnya menderu. Mimpi itu lagi, dia membatin. Entah sudah berapa kali mimpi yang sama selalu hadir di setiap malam. Tentang gadis kecil, raja dan ratunya, serta kekacauan yang datang setelahnya.
Oh, sial. Dreya tidak ingat apakah ia pernah menjadi bagian dalam mimpinya itu atau tidak. Mengenal orang-orang di sana—walaupun wajahnya tampak familier—pun tidak. Jadi, dia selalu bingung, mengapa dia harus memimpikan hal seperti itu?
Dreya mengulurkan tangannya mengambil air minum di nakas. Tentu saja yang ia butuhkan saat ini adalah aliran segar yang melewati kerongkongannya. Setelah selesai, matanya menatap jam di ponselnya. Pukul dua dini hari.
Dreya menggeleng dramatis. Napasnya sudah tidak terlalu menderu seperti tadi. Dia memilih berdiri dan berjalan menuju balkon. Udara dingin seketika menyapanya. Tentu itu lebih baik daripada harus terus mengingat mimpi yang sebenarnya, membuat dadanya sesak. Seolah kejadian itu nyata.
Hanya saja, kenyamanannya menghirup udara segar tidak berlangsung lama. Karena di bawah sana, tepat di depan pagar rumahnya, seseorang berdiri mengintai. Sama sekali tidak melepaskan pandangan dari Dreya. Menusuk ke dalam manik hitam miliknya. Menguncinya dan enggan melepas. Tanpa gentar. Tanpa rasa takut. Persis seperti penguntit.
Apa lagi ini? Dreya membatin. Bulu kuduknya serta merta meremang. Justru dirinya yang merasa takut, tentu saja. Otaknya dengan cepat mengingat memori dimana gadis berambut putih itu bicara padanya bahwa gadis itu tidak akan melepaskannya dengan mudah. Jadi, apakah dengan mengirim penguntit adalah salah satunya?
Dreya kembali menggeleng dramatis. Buru-buru masuk lagi ke kamarnya, menutup pintu balkon sekaligus tirainya. Yang penting, sosok penguntit di luar sana itu tidak terlihat lagi, baginya sudah cukup.
Ya, benar.
***
Senin update lagi, yuhuu ...
Sesuai dengan yang saya bilang minggu kemarin, update kali ini bakal dibarengi dengan 2 naskah yang bakal update jugaa.
1. Croft: The Lost Shadow
Yang kemungkinan besar bakal update besok (setiap selasa).
2. The Light of Sun and Moon
Yang udah bisa dibaca bagian prolog yaa.
Terimakasih.
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top