1. Dreya Aeary

Detik ini juga suara riuh tepuk tangan dari penggemarnya memenuhi stadion di pusat kota Adwirama—salah satu kota besar dengan dunia hiburan yang menjadi sumber pendapatan utama negara Niusa. Sejumlah lightstick teracung ke atas, memancarkan warna abu-abu terang yang menjadi ciri khasnya. Semua orang mengelu-elukan namanya dengan berteriak tanda bahagia. Entah menangis, entah terharu. Konsernya berakhir dengan sempurna.

Dia melambaikan satu tangannya sedangkan tangan yang lain memegang sebuket bunga mawar merah. Hadiah untuknya saat menyanyikan satu lagu terakhir tadi. Hujan deras di luar stadion tidak begitu terdengar sejak ditutupnya atap sejam yang lalu. Seolah stadion ini hanya milik mereka semua. Milik sang idola lebih tepatnya. Dreya Aeary.

"You did it, Dreya." Seseorang di bagian samping panggung menyemangati melalui earpiece yang terhubung ke earpiece Dreya dengan jempol terangkat juga raut senang. Itu manajernya, kakak laki-lakinya sendiri. Finn Ashley.

Dreya tersenyum. Konsernya telah berakhir, tetapi para Dreys—sebutan untuk penggemarnya—masih memenuhi stadion. Seperti sedang menunggu sesuatu.

Ah, ya. Barulah ia ingat sekarang.

"Here we go, Dreys!" Dreya mengangkat satu tangannya ke atas. Semua penggemarnya bersorak, menggema di seluruh stadion.

“Pulanglah ke rumah dan ceritakan pengalaman kalian di sini pada orang tersayang kalian. See ya!" Lantas ia mengerling manja. Satu ritual yang selalu ia lakukan saat konser berakhir selain kalimat yang ia sebutkan barusan.

"Ah, satu lagi," sambungnya.

Kemudian degan cepat satu tangannya yang masih terangkat ke atas, bergerak, lalu dari udara yang kosong muncul sparkle berwarna silver yang jatuh bagai hujan. Simbol yang menjadi identitasnya semenjak debut sebagai penyanyi dua tahun lalu. Para Dreys berteriak takjub, seperti yang ia duga.

***

"Dreya!"

Panggilan itu terdengar lagi. Saat tangannya sibuk membubuhkan tanda tangan di setiap buku ataupun poster yang disodorkan di hadapannya, orang-orang itu terus memanggil namanya berebut untuk menerima tanda tangan pertama kali. Saling berjubel satu sama lain meskipun hujan baru saja reda dan sebagian pakaian mereka basah.

Mudah menebak apa yang sedang dilakukan Dreya jika melihat antrean panjang dan poster-poster yang terpampang dengan jelas di sepanjang jalan. Ya, acara fansign yang rutin dilakukan setelah konser. Pihak agensi Dreya selalu menyediakan tempat di luar stadion khusus untuk acara ini.

Dreya tak merasa penat sedikit pun walau tangannya tak berhenti bergerak. Karena memang ini yang ia mau. Popularitas, kemewahan, pujian, semuanya. Usahanya tentu tidak sia-sia. Dua tahun lamanya ia jungkir balik di dalam lingkaran kehidupan. Bahkan bukan sekali dua kali dia ditolak oleh banyak agensi besar hingga bisa menjadi seperti sekarang ini.

Menyerah berarti kalah, itulah prinsipnya.

Karenanya, namanya cepat melambung tinggi. Usahanya berhasil. Seluruh penjuru dunia mengenalnya sebagai Dreya Aeary, penyanyi bersuara merdu bak emas yang telah dipoles berkali-kali—setidaknya, itu yang dikatakan oleh awak media. Wajahnya cantik, tak perlu ditanyakan lagi. Manik matanya abu-abu, persis seperti sparkle yang selalu ia gunakan setiap konser berakhir. Sikapnya yang kadang ramah kadang dingin itu sukses menjadikannya prioritas utama yang dicari kaum laki-laki. Senyumnya kecil, tetapi misterius.

"Dreya! Oh, aku tidak menyangka bisa bertatap muka langsung dengan penyanyi seperti kamu. Kamu lebih cantik dari yang biasa kulihat di televisi." Seorang penggemarnya berkata heboh. Air mata sudah bersarang di pelupuk mata karena tiba gilirannya bertemu sang idola.

Dreya tersenyum. Tangannya tak berhenti mencoret benda yang dibawa gadis itu. Entah itu kaus, topi, atau CD album. "Terima kasih," katanya. "Aku sangat bersyukur karena memiliki penggemar seperti kamu."

Tentu saja, memangnya siapa di dunia ini yang tidak akan merasa senang jika dicintai sebegitu besarnya oleh orang lain? Dimanjakan dengan kalimat-kalimat pujian guna meningkatkan rasa percaya diri. Dreya pikir tidak ada. Dan ia adalah salah satunya yang merasa bahagia. Terlampau bahagia malah. Sampai-sampai seluruh oksigen di sekitarnya bisa saja habis tak tersisa.

"Aku juga membawakanmu hadiah,” kata penggemar itu lagi masih menahan tangis sambil menyodorkan hadiahnya untuk Dreya.

"Benarkah?" Dengan senang hati gadis berambut coklat bergelombang itu menerima hadiahnya. Tangannya bergerak membuka bungkusan berwarna merah tua itu dan langsung mengenakan topi putih yang bertuliskan namanya. "Terima kasih," katanya lagi.

"Bolehkah aku memelukmu?" tanya penggemarnya itu.

"Sure, why not?" Tanpa pikir panjang, Dreya bangkit dari duduknya dan membuka kedua tangannya lebar-lebar. Membiarkan salah satu penggemarnya memeluknya erat. Penggemarnya itu kembali menangis. Tangisan yang lumayan keras. Lalu menyudahi pelukannya dan pergi setelah mengucapkan terima kasih.

Di depan sana, masih berjubel orang menunggu giliran bertemu Dreya. Penyanyi yang sedang naik daun dan sekarang sedang mengadakan acara fansign dengan para penggemar. Satu persatu dari mereka terus mengelu-elukan namanya. Menggaungkan berbagai macam pujian seolah tak merasa lelah karena sudah seharian menunggu giliran.

Sebenarnya tanpa sepengetahuan siapa pun, Dreya menggerakkan satu tangannya yang tak tersorot mata untuk memunculkan sejumlah sparkle berwarna silver di atas tanda tangan yang ia buat. Bukan, bukan dengan istilah pada umumnya yaitu mengambil sparkle dari wadah kecil lalu menaburkannya di atas tulisan agar terlihat berkilauan. Bukan seperti itu. Ini lebih seperti Dreya menggerakkan tangan kosong di udara lalu muncul sparkle itu secara ajaib. Memunculkan dalam arti suatu anugrah karena hanya dia yang punya. Sebuah keputusan yang ia ambil sebagai penanda supaya siapapun selalu mengingatnya.

Hanya, tentu saja semua ada konsekuensinya. Seperti hukum alam, aksi reaksi, juga sebab akibat.

"Ehm … permisi. Bisa bergerak sedikit lebih cepat? Bukan hanya Anda yang mengantre di sini." Dreya mendengar salah seorang penggemarnya berkata ketus. Gadis yang rambutnya berwarna putih bergelombang dan memakai topi. Sejenak, Dreya merasa takjub. Gadis itu terlihat cantik meski sebagian wajahnya tertutup topi. Ia juga penasaran. Siapa namanya, ya?

Setelah satu penggemarnya—yang mendapat protes tadi—pergi, kini giliran gadis berambut putih itu. "Hai," sapa Dreya ramah. Namun, bukannya senyum manis seperti yang dibayangkan, justru tatapan sinis yang ia terima.

"Jangan menatapku seperti itu." Dreya kembali memulai percakapan, masih tersenyum. "Aku yakin kamu datang kemari untuk meminta tanda tangan dari idolamu, kan? Dan aku yakin kalau kamu yang tadi menyuruh orang sebelum kamu itu untuk cepat pergi supaya kamu bisa bertemu denganku."

"Hah?" Gadis itu semakin terlihat aneh. "Tunggu ... ehm, Dreya. Kamu punya dua kesalahan di sini."

"Kesalahan?" Alis Dreya berkerut tak mengerti.

"Ya, kuulangi lagi. Ada dua!" Gadis itu menjawab dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan. "Pertama, aku menyuruh orang itu pergi bukan karena aku ingin cepat bertemu denganmu dan terlihat heboh kurang kerjaan seperti orang itu dan semua penggemarmu di belakang sana. Kedua, ini yang paling tidak masuk akal. Kamu, idolaku? Yang benar saja!"

Dreya sedikit tersentak, "Jadi, untuk apa kamu kemari kalau bukan meminta tanda tangan? Hanya mengolokku? Lebih baik kamu pergi saja!"

"Tanpa disuruh pun aku akan segera pergi, Nona!" jawab gadis itu cuek. Dikeluarkannya sebuah poster dan sebuah buku catatan kecil dari balik saku jaketnya lalu disodorkannya kedua benda itu kepada Dreya. Mengabaikan tatapan tidak bersahabat dari orang-orang di belakang Dreya yang sebenarnya, lebih mirip anjing penjaga.

Dreya semakin tidak mengerti. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap kedua benda itu lalu menatap gadis di depannya bergantian.

"Halo, jangan menatapku seperti itu!" katanya lagi. Dreya tahu, orang di depannya ini mulai kesal. Terbukti dari sikapnya yang melipat kedua tangan di dada. "Cepat tanda tangan di situ, jadi aku bisa segera pergi dari sini!"

"Tadi kamu bilang tidak ingin tanda tanganku. Jadi, untuk apa?" Dreya makin tidak mengerti.

"Bukan aku, tapi Ibuku!" Lagi-lagi gadis itu menjawab ketus. Kelewat ketus hingga membuat Dreya sedikit mundur ke belakang. Ya Tuhan, mengapa harus ada gadis cantik berperangai buruk di dunia ini?

"Jadi, mengapa bukan Ibumu saja yang datang kemari? Mengapa beliau harus menyuruh orang tidak ramah seperti kamu?" Dreya—yang dari wajahnya terlihat penasaran—tetap menggerakkan tangannya untuk menandatangani kedua benda di depannya tanpa berat hati sedikit pun. Karena demi apa pun juga, seburuk-buruknya seorang penggemar, Dreya selalu merasa kecil tanpa dukungan mereka.

"Dengar ya, Dreya. Aku tidak mengerti bagaimana ibuku yang dulunya berpikiran kritis bisa mengidolakan orang seperti kamu. Mungkin kamu memakai semacam guna-guna supaya banyak yang bersimpati padamu dan menambah daftar uang yang akan kamu terima untuk tabungan masa depan? Who knows? Dan jangan tanyakan padaku bagaimana bisa ibuku menyuruhku pergi kemari. Karena yang pasti aku tidak akan sudi memberitahu orang seperti kamu!" Lagi-lagi keluar kalimat celaan dari mulut gadis berambut putih itu.

"Hei, aku tidak ... uh, lupakan. Jadi, siapa nama ibumu?" Dreya akhirnya menyerah. Ia harus segera menuntaskan ini atau hatinya akan semakin buruk.

Gadis itu tersenyum menang sebelum menjawab pertanyaan Dreya. "Hannah."

"Oke, to Hannah." Tangan kanan Dreya bergerak membubuhkan tanda tangan, sementara tangan kirinya menggerakkan udara kosong hingga muncul silver sparkle.

"Tunggu, apa itu tadi?" Gadis itu mencekal tangan kiri Dreya.

"Ap ... apa?" Dreya balik bertanya, sedikit tergapap sambil berusaha melepaskan cengkraman gadis itu.

"Itu! Yang tadi kamu lakukan,” kata gadis itu.

"Memangnya apa yang aku lakukan?" Dreya bertanya pelan, berusaha mengelak. Jangan sampai orang di depannya ini tahu apa yang sebenarnya terjadi atau masalah besar akan menghantuinya. Iya, jangan sampai. Dreya terus merapal kalimat itu dalam hatinya.

Bukan apa-apa sebenarnya. Namun bagi Dreya, amat berbahaya jika ada yang tahu. Rasanya seperti seluruh dunianya diserap habis untuk segelintir kepentingan yang menguntungkan pihak tertentu. Seperti para penguasa tamak, misalnya. Jika mereka tahu, maka habislah sudah. Dreya tidak akan pernah bisa hidup tenang di antara banyaknya pasang mata yang mencemooh dirinya nanti.

"Aku yakin kamu paham maksudku, Dreya. Jangan bertingkah seperti aku berhasil menangkap basah dirimu. Aku bukanlah orang yang dengan gampangnya kamu kelabuhi." Masih mencekal tangan Dreya, gadis itu mendekat lalu berbisik. Matanya menelisik tajam. "Kecuali semua penggemarmu ini tentunya. Karena mereka mungkin akan memanfaatkan orang dungu sepertimu ini demi kebahagiaan mereka. Atau jangan-jangan, memang benar dugaanku tadi kalau kamu menggunakan guna-guna supaya kamu bisa hidup sejahtera? Ha! Jangan berkelit. Wajahmu menjelaskan semuanya—hei! Apa-apaan kalian?" Belum selesai gadis itu berbicara, tetapi dua orang bertubuh kekar sudah mendorongnya ke pinggir. Dengan memasang wajah garang.

Syukurlah. Tanpa sadar Dreya mendesah lega. Akhirnya ia berhasil lepas. Paling tidak, ia bisa bernapas sejenak meski berkali-kali diancam dan diolok-olok. Tak apa. Yang penting, gadis judes itu berhenti mengatakan segelintir kalimat yang menyakiti hati dan tentunya, tidak akan pernah bisa dibalas oleh Dreya. Oh, memangnya apa yang bisa dilakukan gadis penakut sepertinya? Bukannya melawan dengan kepala terangkat, ia justru lebih memilih diam.

"Oke, Tuan-tuan. Lepaskan aku! Aku bisa pergi sendiri tanpa perlu kalian bantu! Dan kamu, Dreya! Jangan pikir aku tidak akan mengawasimu setelah ini. Dan, terima kasih untuk tanda tangannya," kata gadis itu sesaat sebelum pergi dari acara fansign. Dreya terus mengamati gadis itu sampai punggungnya benar-benar tidak terlihat lagi.

Uh-oh, sepertinya Dreya harus lebih bersabar. Apalagi jika mengingat harinya setelah ini tidak akan pernah sama.

Karena tentu saja, ancaman gadis itu terlihat amat nyata.

***

 
Akhirnya update juga setelah beberapa minggu absen T.T
Maaf, ya, Dreys. Minggu depan saya usahakan update deh. Bonus dua cerita baru yang nggak kalah seru hehehe ...

Terimakasih.

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top