Bab 4
Ares mengetuk pintu besi tua di hadapannya beberapa kali sebelum membuka kunci. Ia mengela napas, cukup yakin akan kembali diberikan tatapan penuh amarah dari sang gadis.
Akan tetapi, sesuatu seperti itu tidak akan membuat dirinya gentar. Ares masuk, memeriksa lorong, memastikan tidak ada satu orang pun yang melintas sebelum menutup kembali pintu tersebut.
"Apa yang kauinginkan?" Lagi-lagi ia disambut oleh intonasi yang kesal itu.
Ares tidak berbicara. Ia melangkah cepat, menyerahkan selembar kertas kepada (name), kemudian duduk di sebelahnya. "Baca," perintahnya singkat.
Gadis itu menerima dengan setengah hati. Ia melihat coretan yang terbubuh rapi, menelaah satu per satu sampai paham. "Ini denah?" Ia mengangkat sebelah alisnya.
Ares mengangguk. "Pergilah. Sudah saya tuliskan jalur paling aman. Saya akan mematikan listrik selama beberapa menit, saat itu kau harus segera berlari. Ikuti setiap petunjuk di sana." Jemarinya mengarah pada catatan kecil di kiri-kanan kertas tersebut.
(Name) mengangguk paham, kemudian bertemu pandang dengan kedua netra Ares yang memancarkan ketenangan. "Mengapa kau mau menolongku? Bukannya kau jahat?" Ia bertanya dengan naif. "Apa jangan-jangan ini juga bagian dari rencana atasanmu itu?"
Pemuda itu diam, alisnya bertaut dalam.
Seburuk itukah citra dirinya di mata (name)?
"Ini murni keputusan saya." Ia memberi jeda sejenak, memastikan sang gadis mengerti. "Jadi tidak perlu takut. Kau bisa hidup terbebas setelah ini."
Rasa tak percaya menguap dari benak (name). Pemuda di hadapannya memanglah bukan Lucien yang dahulu dikenal, tetapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang begitu hangat dalam setiap tindakan yang dilakukan Ares.
"Mengapa kau mau menolongku?"
Ares menyandarkan punggung ke dinding yang agak dingin, menatap jauh ke langit-langit. "Entah," jawabnya setelah sekian lama terdiam. "Saya hanya merasa mereka sudah melenceng dari tujuan awal dan saya tidak mau membantu orang-orang yang sesat seperti itu."
(Name) terdiam. Ia tahu pemuda itu sedang tidak berbicara dengan terus terang. Setiap kata yang diucap terdengar begitu penuh ketakutan, penuh dengan kekhawatiran akan apa yang terjadi berikutnya.
"Terima kasih." Gadis itu tersenyum kecil.
Ares meraih kedua tangan (name), melepaskan borgol yang sedari tadi mengekang. "Resmi bebas," bisiknya tepat di telinga lawan bicaranya.
(Name) melepas liontin yang selama ini dikenakannya, kemudian mengalungkannya pada Ares. "Hadiah untukmu," ujarnya, menyatukan telapak tangan. "Sebuah jimat yang akan membuatmu tetap baik-baik saja, bahkan dalam segala situasi."
Ares tidak menanggapi. Ia memalingkan wajah yang terasa lebih panas dari biasanya. "Kalau begitu sebaiknya kau bersiap-siap. Saya akan segera memulai."
Belum sempat pemuda berbaju serbahitam itu melangkah, lengannya sudah ditahan oleh sang gadis. "Tunggu!" serunya, mengeratkan genggaman. "Bagaimana denganmu? Apa kita akan bertemu?"
Ares meletakkan tangan di dada. "Saya sudah bersumpah setia sampai akhir hayat kepada Black Swan. Saya tidak dapat pergi seenaknya."
"T-Tapi, setelah memberiku kesempatan untuk kabur...." Gadis itu menggantungkan kalimatnya sejenak, menatap Ares dengan kedua netra yang membulat. "Apa semua akan tetap baik-baik saja?"
Ares kembali membisu. Sejak awal rencana tersebut terlintas, ia tahu ia pasti harus menanggung konsekuensi yang teramat besar. Mungkin nyawanya akan menjadi taruhan. Atau bisa saja lelaki tersebut harus menanggung berbagai macam eksperimen di dalam tubuhnya akibat pengkhianatan tersebut.
Meskipun begitu, menghilang dari organisasi yang dahulu sudah menemukannya bukanlah tindakan yang tepat. Ares sangat paham bahwa Black Swan akan melacak keberadaannya dengan bantuan peretas yang amat handal.
Singkatnya, Ares tidak akan bisa hidup baik-baik saja apabila rancangan tersebut benar-benar dijalani.
"Saya bisa menjaga diri. Lebih baik kau memikirkan dirimu sendiri."
(Name) sedikit tertunduk, tetapi pada akhirnya hanya memberi sebuah anggukan yang patuh.
Ares mengusap kepala gadis itu sejenak, kemudian segera berlari untuk memutuskan aliran listrik.
Sebelum menutup pintu, tatapannya kembali terfokus pada gadis itu. "Bakar kertasnya setelah kau berhasil kabur. Gunakan lilin untuk membakar bagian bawahnya."
Sejauh ini, semua sudah selaras dengan apa yang ia pikirkan. Hanya cukup mematikan listrik, lantas berakting bahwa semua tidak pernah terjadi. Bukan perkara yang sulit.
Tatkala listrik padam, Ares membuang napas lega, beranggapan bahwa semua akan baik-baik saja asalkan gadis itu berhati-hati.
"Sudah kuduga, Ares."
Sebuah pistol Colt 1911 diarahkan tepat di kepala bagian belakang pemuda tersebut. "Siapa sangka seorang Ares yang begitu setia kepada majikannya justru berbalik mengkhianati semuanya?"
Ares tertegun. Ia mengangkat tangan, tanda menyerah akan apa pun yang terjadi berikutnya.
"Sudah sepantasnya kau diberikan hukuman, Ares."
Pemuda itu tidak memberi tanggapan. Tangannya meraih kalung pemberian (name), mengusapnya pelan sembari meminta maaf dalam hati.
Suara tembakan yang meletus mengisi malam yang terasa mencekam. Sekian menit kemudian, listrik kembali menyala, satu menit lebih cepat dibanding waktu yang sudah ditentukan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top