Sebelas :: Pergi Bersama

Eri keluar 15 menit kemudian. Memutuskan memakai celana joger yang Ibu pilihkan. Dan lengkap dengan kerudung instan berwarna hitam kesukaannya. Entah berapa kali kerudung itu ia pakai ke mana pun ia pergi. Tapi tak masalah, asal selalu bersih dan wangi, Eri akan tetap memakainya.

Untung saja Ramah sedang pergi keluar. Hanya ibu yang tahu ke mana Eri akan pergi keluar bersama Bian. Kalau Ramah tahu, Eri tak tahu akan seperti apa kejadiannya. Walaupun orangnya humoris dan tak terlihat tegas sama sekali, Ramah tetap tegas padanya. Terlebih pada pergaulan Eri di sekolah. Pria itu selalu bertanya dan menelfon ketika Eri terlambat pulang. Selalu menanyakan Eri pergi bersama siapa, ke mana dan sampai kapan jika ada kegiatan di luar sekolah.

Tapi Eri tak masalah sama sekali. Ia justru senang, karena dengan begitu ia tahu, Ramah begitu menyayanginya. Ramah tentu tak ingin putri semata wayangnya salah bergaul atau semacamnya. Dan Eri sangat menghargai itu. Namun saat ini berbeda. Ia dan Bian lama bersama-sama dulu, kemudian berpisah dalam waktu yang tidak sebentar. Tentu Eri ingin memiliki waktu berdua bersamanya. Meskipun Bian tidak mengingatnya, tak apa. Yang penting Bian masih ada di sini dan baik-baik saja, semua sudah cukup. Ya, meskipun dengan begitu Eri harus merelakan janji masa kecil mereka tak tertepati. Dan melupakan rasa penasarannya tentang isi surat Bian.

Eri berjalan pelan, menyusuri satu per satu tanah yang dipijaknya. Menunggu Bian keluar rumah. Tapi saat melewati gerbang, Eri terkejut lantaran Bian telah berada di sana dengan pakaian casual. Memakai celana training panjang berwarna hitam dan baju kaos berwarna abu serta sepatu olahraga yang juga senada. Mendadak Eri merasa malu. Bian di depannya ini benar-benar berbeda dari Bian kecil.

Tubuhnya tinggi. Badannya proporsional, tidak begitu kurus atau pun begitu gemuk. Semua terlihat pas. Apalagi wajahnya yang berubah begitu tampan. Bian tidak ada apa-apanya dibandingkan Eri yang apa adanya.

"Udah lama nunggu?" Melihat Bian yang hanya diam saja menatapnya, Eri memutuskan untuk berbasa-basi.

"Nggak, baru aja."

"Kenapa nggak masuk? Sekalian ijin sama Ibu." Bian menegakkan tubuh, lalu melangkah mendekati Eri yang masih diam di tempat.

"Udah, tadi pagi. Bunda yang bilang."

Lalu keduanya berjalan beriringan. Rencana hari ini adalah pergi ke pusat kota, Arek Lancor. Hari Minggu pagi begini, meski bisa dikatakan mereka kesiangan karena baru berangkat pukul setengah delapan, banyak orang memadati pusat kota. Sekedar berjalan santai bersama teman-teman dan keluarga, atau pun mencicipi berbagai macam makanan lokal yang biasanya dijual saat Car Free Day saja.

Tidak ada yang mereka berdua katakan, setelah ucapan terakhir Bian. Eri masih sibuk memikirkan topik pembicaraan, sedangkan Bian masih canggung berhadapan dengan Eri. Meski katanya, dulu ia dan Eri sangat dekat. Di mana ada Eri di situ ada Bian. Mereka berdua diibaratkan darah dan pembuluh darah, selalu berdua ke mana-mana. Tapi sayang, Bian benar-benar tak ingat.

"Dulu, kita sering kayak gini?" Eri yang saat itu tengah berusaha keras untuk mengajak Bian bicara, pada akhirnya didahului oleh Bian sendiri.

"Sering. Sering banget. Pagi-pagi jam enam, kita udah siap. Pake sepatu segala macem, terus jalan dari rumah sampe Arek Lancor. Begitu sampe di sana, beli bejeng, main bareng sama anak-anak yang aku sendiri nggak tau mereka dari mana. Berbaur gitu aja." Eri bercerita dengan semangat.

Sedangkan Bian hanya tersenyum kecil. Ia senang, karena masa kecilnya ternyata tidak sesuram yang ia bayangkan belakangan.

"Kamu di sana gimana? Enak banget bisa lihat salju."

Bian terdiam sebentar. Melihat lalu lalang manusia. Ternyata cukup ramai. Ada yang berjalan kaki, seperti dirinya dan Eri. Ada juga yang joging, bersepeda, bahkan sepertinya banyak terdapat pasangan suami istri muda dengan anak kecil mereka bersantai, berjalan berdua. Bian sering melihat kejadian seperti ini di negaranya tinggal sekarang. Tapi entah mengapa rasanya berbeda. Di sini, ia tidak merasa sendiri.

"Kata siapa salju itu enak? Dingin. Dingin banget, sampai sulit bergerak."

"Serius?"

Bian mengangguk. "Kalau musim dingin tiba, bajunya harus sampai tiga lapis. Baju kaos biasa, sweater atau jaket, baru padding. Harus pakai sarung tangan. Pakai penutup kepala juga, biar kupingnya nggak kedinginan. Nggak bisa terlalu banyak keluar rumah juga, karena jalanan bakal licin, bahaya kalau berkendara."

"Ribet juga, ya." Lagi-lagi Bian mengangguk, sembari melihat sekeliling.

Semakin dekat dengan tempat tujuan, ternyata semakin ramai orang.

"Aku pengen juga deh, tinggal di luar negeri. Pengen ngerasain gimana rasanya main salju, gimana rasanya liat daun-daun berubah jadi coklat atau merah sebelum gugur, pengen ngerasain bunga-bunga mekar waktu musim semi. Kayaknya seru."

Bian hanya tersenyum saat itu. Tidak ingin menanggapi begitu banyak. Lagipula, ia masih merasa canggung dengan Eri. Mungkin kata Bunda, dulu ia sangat dekat dengan gadis ini. Tetapi sekarang berbeda. Bian tidak ingat apa-apa. Satu pun tentang gadis ini tidak ia ingat. Jadi, daripada terlalu banyak bicara, Bian hanya ingin menanggapi seadanya saja. Untuk sekarang.

"Cobain makanan dulu aja, ya."

"Oke."

Eri berjalan lebih dulu, membiarkan Bian mengikuti di belakangnya. Bian masih sambil memerhatikan sekitar. Banyak sekali orang yang memenuhi area stand makanan ini. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak muda, bahkan anak kecil tanpa pengawasan orang tua banyak berada di tempat ini. Bau dari makanan yang dijual pun bisa dibilang lumayan enak. Bian yang tidak begitu menyukai makan saja cukup tergiur dengan baunya. Beda sekali dengan makanan yang biasa ia makan di Swiss sana.

Karena sibuk memerhatikan sekitar, Bian sampai kehilangan jejak Eri. Gadis setinggi bahunya itu hilang entah ke mana. Ia tak lagi bisa melihat warna baju yang ia pakai berjalan di depan. Untuk itu, Bian memilih diam di tempat. Menunggu gadis itu sadar, ia tak lagi mengikutinya lalu pergi mencarinya. Bian tidak ingat apa pun tentang tempat ini. Jika ia pergi terlalu jauh, yang ada malah semakin tersesat.

Cowok itu bahkan tak peduli, ada beberapa orang yang menabrak tubuhnya. Dan berbicara dengan bahasa yang tidak begitu ia mengerti. Jadi Bian tetap di tempat sampai Eri datang, tak lama kemudian. Eri terlihat panik dari kejauhan. Saat mata Bian tak sengaja melihat warna baju dan kerudung yang ia pakai.

Benar saja, tak lama kemudian Eri berlari mendekatinya. Menarik lengannya pelan untuk duduk di trotoar yang telah dilapisi alas berbahan plastik. Lalu mengomel dengan wajah khawatir yang entah mengapa terlihat lucu di mata Bian.

"Aduh, kamu tuh. Bikin panik aja. Kirain ilang ke mana waktu aku noleh ke belakang nggak ada kamu. Ntar, kalau kamu hilang gimana? Aku bilang ke Bundanya gimana? Entar deh, kalau ke sini lagi kita bawa HP, biar kalau ilang gampang dicari. Tadi tuh, kukira kamu terserat, nggak tau mau ke mana. Eh, malah diem di tengah jalan, nggak peduli dimarahin orang. Bikin panik aja."

Untuk kali pertama sejak pertemuan mereka, Bian tertawa cukup keras.

🌼🌼🌼

110121

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top