Lima :: Bian Pulang
Eri tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat ini. Berkali-kali gadis itu tersenyum waktu ibu mengatakan tetangga mereka sedang menjemput keluarga seseorang di bandara Juanda.
Lebih dari lima tahun lamanya Eri hanya bisa memandangi foto-foto kecil mereka tanpa bisa berkomunikasi, memandangi buku-buku lama yang Bian berikan atau justru memandang pojok tembok halaman belakang, greget ingin segera membaca apa yang laki-laki itu tulis sekian tahun lalu. Dan akhirnya tepat hari ini, ia akan kembali melihat teman masa kecilnya. Bian, teman pertama Eri yang selalu membekas dalam ingatan. Mungkin memang ada beberapa ingatan tentang masa kecilnya yang ia lupakan. Tapi ketika menyangkut tentang Bian, hampir semua Eri ingat.
Eri masih mengingat Bian yang dulu cadel. Eri masih ingat bahwa dialah yang mengajari Bian huruf R hingga benar-benar bisa mengucapkannya. Eri masih ingat kegiatan-kegiatan yang sering mereka lakukan dan Permainan-permainan apa saja yang ia dan Bian mainkan. Terutama janji masa kecil mereka itu.
Jadi, bolehkah Eri berbahagia sekarang?
Saat pertama kali Eri mendengar Bian akan pulang seminggu yang lalu, awalnya ia pikir itu hanya rumor belaka. Menganggap ibu salah mendengar atau hanya mendengar gosip saja. Lagipula bagaimana Bian akan pulang setelah sekian lama tidak kembali? Kemudian perkataan-perkataan Rika mengenai Bian bermunculan satu per satu.
Meski begitu, Eri tidak terlalu memedulikannya. Ia masih senang, sebab meski Bian melupakannya setidaknya Eri bisa melihat wajahnya kembali. Akan seperti apa teman masa kecilnya itu? Setinggi apa dia? Atau seputih apa ia? Pasti Bian tumbuh menjadi pemuda luar biasa seperti yang dibayangkannya.
Eri sengaja tidak memberitahu Rika masalah ini. Rika pasti akan mengira kalau Eri terlalu banyak berharap padahal belum tentu benar. Lihat saja, setelah Bian benar-benar ada di sini, ia akan menunjukkan Bian pada Rika nanti. Siapa tahu gadis itu berhenti menyuruhnya melupakan Bian seperti sebelum-sebelumnya.
Jam masih menunjukkan pukul tiga sore. Eri tak bisa memejamkan mata padahal sedari tadi ia pamit kepada ibu hendak tidur siang. Namun bayangan-bayangan Bian yang datang kembali mengusik tidurnya. Jujur, Eri tidak sabar. Meski kemungkinan besar Bian akan melupakannya sepeti kata Rika, setidaknya Eri sempat melihat tampangnya.
"Eri...," panggil ibu dari luar kamar. "Masih tidur?"
Eri menegakkan tubuh. "Enggak, Bu. Masuk aja."
"Ada paket dateng, kamu beli apa lagi?"
Mendengar pertanyaan dari ibunya, Eri meringis pelan. Ia lupa memberitahu bahwa satu minggu yang lalu, Eri tidak jadi membeli novel di toko buku dekat sekolah. Tidak ada yang menarik, jadi ia membeli sebuah novel incarannya di market place saja.
"Anu ... itu novel," jelasnya dengan suara kecil.
Ibu terkekeh pelan lalu menyimpan paket itu di atas kasur. Mendekati sang anak sebelum akhirnya duduk di samping Eri seraya mengusap lembut rambut panjangnya.
"Sesekali nggak pa-pa beli novel. Asalkan jangan terlalu sering, kalau emang nggak butuh-butuh banget, uangnya mending disimpan buat tabungan. Siapa tahu suatu saat nanti kamu butuh sesuatu yang jauh lebih penting dari novel-novel itu."
Eri menunduk. Ia mengerti ibu tidak senang melihatnya terlalu sering membeli novel. Meskipun semua itu menggunakan uang tabungannya, Eri mengerti ia tidak boleh terlalu boros dalam menghabiskan uang bulanan yang orang tuanya beri.
"Iya, nggak lagi. Janji deh, nanti bakal beli novelnya enam bulan sekali."
"Ibu nggak marah kok. Nggak pa-pa beli novel asal jangan sampe buat kamu bohong sama Ibu. Apalagi kalau bohongnya cuma buat beli novel, segala minta uang buat beli buku kalau ternyata dipake buat beli hal lain. Jangan kayak gitu, oke?"
"Iya, Bu. Aku nggak bakal kayak gitu, kok. Ibu nggak usah takut, aku kan baik hati, rajin menabung dan tidak sombong." Ibu terkekeh pelan.
"Ya udah, Ibu mandi dulu. Kamu juga mandi, udah lewat ashar jangan tidur." Eri mengangguk, lalu tiba-tiba menahan kepergian ibu yang sudah beranjak dari duduknya.
"Ibu yang dateng nanti beneran Bian?"
"Ibu nggak tahu. Tapi katanya sih, emang iya keluarganya Bian pulang karena di sana udah masuk libur musim panas. Kan liburnya lumayan panjang, tuh." Eri mengangguk-anggukkan kepalanya lalu membiarkan ibu meninggalkannya.
🌼🌼🌼
Eri memainkan ponselnya. Malam ini ia bebas tanpa belajar dan mengerjakan tugas mengingat libur sekolah telah tiba. Jadi yang Eri lakukan hanya memainkan ponsel atau kalau tidak pergi ke halaman belakang, ngopi bersama Ramah. Maksudnya menemani Ramah meminum kopi sambil membicarakan banyak hal. Berhubung Ramah sedang pergi ke rumah temannya bersama ibu, jadi Eri tinggal di rumah sendirian.
Ia tak lagi berada di kamar karena semenjak Ramah dan ibu keluar, kamar terasa mencekam. Eri sebenarnya tidak takut, tapi kalau sedang sendiri seperti ini tentu saja ia takut. Oleh karena itu, ia berada di teras depan sekarang. Berada di dalam rumah hanya akan membuatnya merasa lebih takut. Jadi sembari menunggu ramah dan ibu pulang, sekalian Eri memantau apakah Bian dan keluarganya sudah datang atau tidak.
"Gini nih, nggak enaknya jadi anak tunggal. Kalau ditinggal mesti ngungsi keluar. Lagian bego, sih. Udah tau malem masih aja nonton video begituan." Sudah menjadi kebiasaan saat sedang sendirian, Eri akan berbicara sendiri. Terkadang menyuarakan rasa kesal pada dirinya sendiri yang suka sekali menonton video horor tapi merasa takut di saat yang bersamaan.
Tak lama kemudian, Eri mendengar suara mobil mendekat. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa gugup. Apakah mobil itu berisi Bian dan keluarganya? Eri juga tak tahu. Untuk membunuh rasa penasarannya, Eri bangkit dari duduk. Mengangkat kursi plastik yang didudukinya lalu mendekat ke pagar dinding tak terlalu tinggi yang memisahkan antara rumahnya dan rumah Bian. Mengintip di sana.
Ternyata benar. Mobil itu membawa Bian beserta keluarganya. Ada dua anak kecil yang turun bersamaan. Eri terdiam sejenak, merasa bingung. Bukankah sanak saudara Bian yang menempati rumahnya tidak memiliki anak kecil? Lalu dua anak kecil itu siapa? Bola mata Eri sedikit membesar, ia terkejut. Jangan-jangan itu adik Bian? Wah.
Matanya masih tetap mengintip di dinding yang dihiasi bata berlubang itu. Setia melihat pergerakan-pergerakan dari orang-orang di dalam mobil itu. Satu orang turun dari dalam mobil tak lama setelah dua anak kecil itu turun. Bapak-bapak bertubuh tinggi dan sedikit berisi. Bapaknya Bian? Eri menebak dalam hati. Dadanya semakin bergerumuh lantaran tak kunjung mendapati Bian turun dari mobil. Apa jangan-jangan Bian tidak ikut pulang?
Saat merasa kecewa lantaran pemikirannya sendiri, Eri melihat seorang pemuda bertubuh tinggi dan kurus turun dari mobil seraya memegang jaket berwarna abu-abu. Hampir saja ia berteriak, lantaran pemuda itu menghadapkan wajahnya ke dinding, terlihat sempurna di mata Eri. Apa itu Bian? Apa cowok itu benar-benar Bian? Jika iya, Bian benar-benar berubah jauh dari ekspektasinya.
Tubuhnya tinggi tegap. Kulitnya tak begitu putih tapi jelas jauh lebih putih darinya. Matanya, ya ampun. Itu mata yang paling Eri rindukan. Mata yang selalu ia tatap hampir setiap harinya. Lalu tangannya berubah besar, tak seperti lima tahun silam. Bukankah perubahan itu terlalu cepat untuk Bian yang bahkan dulu tingginya masih lebih tinggi Eri.
"Oh My God, Bian ganteng banget," liriknya pelan sebelum satu tangan tiba-tiba mendarat di jilbab bagian belakang, lalu menariknya pelan.
Eri ingin berteriak, namun saat berbalik dan menemukan wajah bingung ibunya, Eri langsung tersenyum.
"Ngapain kamu di sini?"
🌼🌼🌼
Madura, 150920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top