Epilog
Pintu utama terbuka, Rizal tergesa keluar begitu melihat adiknya sampai di depan pagar. Niatnya dia akan jemput Agni di tempat kerja karena situasi ini penting.
Tidak mau repot-repot mengendalikan suaranya. "HP lo ke mana?! Ditelepon nggak bisa!"
"Lowbat. Mati. Kenap—"
"Papa telepon gue!"
Agni melanjutkan langkah hingga tiba di teras. Mendengar nama Papa disebut, dia mendadak diam. Tidak bisa memberi reaksi apa-apa. Sejak Mama meninggal, sebutan itu menjadi asing di telinga dan hatinya.
"Gue antar ke rumah Papa sekarang."
Agni mengernyit tidak senang. "Kenapa gue harus ke sana?"
Menahan lengan adiknya yang berniat kabur ke dalam rumah, yang sepertinya tidak paham dengan situasi serius yang Rizal tunjukkan. "Kesampingkan semua perasaan benci lo, Asta datang ke rumah. Nemuin Papa. Lo ngerti maksudnya dia apa."
Agni terperangah, matanya membulat tak percaya. Tidak, Asta tidak boleh menemui Papa. Urusan di antara mereka sudah selesai. Asta tidak bisa menggunakan Papa untuk mendesaknya. Kenapa lelaki itu tidak mau mengerti?!
Tidak perlu diulangi, Agni tahu apa yang harus dia lakukan. Detik berikutnya dia melepas cekalan tangan Rizal. Mengabaikan seruan abangnya yang ingin mengantar. Hujan turun deras dan Agni tidak peduli. Dia terus berlari, menerabas hujan, melewati beberapa blok rumah.
Keadaannya basah kuyup ketika tiba di sebuah rumah yang tidak pernah sudi dia injak. Tapi malam ini, dia tidak peduli. Dia hanya harus menggagalkan apa pun niat Asta menemui Papa.
Dia mengetuk pintu tidak sabaran. Wanita paruh baya yang membukakan tampak kaget melihat Agni yang kuyup. Melewati tatapan bingung itu, mengabaikan pertanyaan cemasnya, Agni melangkah masuk. Ruang tamu dan ruang tengah kosong. Kakinya berderap tak sabaran menuju beranda samping di mana terdengar sayup percakapan. Tidak peduli jika titik-titik air yang jatuh dari tubuhnya membuat lantai becek.
Dan seketika Agni menghentikan langkah di ambang pintu, dia mematung pias. Mencelos.
Sialan. Bang Rizal bohong.
Lidahnya langsung kelu. Dua lelaki yang duduk di kursi rotan menoleh, menyadari kehadirannya. Salah satu tampak ingin menghampirinya tapi Agni menggeleng, mengangkat tangan, melarang dia untuk mendekat.
Wanita paruh baya yang menyambutnya di pintu tergopoh datang membawakan handuk bersih. Agni menepisnya, berbalik cepat, langkahnya lebar-lebar meninggalkan rumah itu. Hujan kembali menyambut. Beberapa meter dari gerbang, lengannya coba ditahan, tapi Agni keras kepala terus berjalan.
"Kenapa lari?"
Agni dipaksa berhenti. Ardan berhasil menghadang persis di depannya.
Mata mereka bertemu.
Ardan menyelami sepasang mata yang memerah. Ada nada sedih tersirat dalam suaranya. "Kamu kecewa karena aku yang datang dan bukannya Asta?"
Air mata Agni ikut mengalir bersama air hujan. Sebelah tangan Ardan menangkup pipi Agni, perlahan mengusapnya. Seakan tahu kalau yang jatuh barusan bukan hanya air hujan.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Kenalan sama Papa kamu."
Tampak bingung. "Apa?"
"Aku ngenalin diri sebagai seseorang yang dekat dengan anak perempuannya dan berharap bisa menikahinya segera."
Agni tercengang.
"Aku nggak mau kehilangan kamu, Ni. Dan ini usaha terakhirku."
"Emang kamu yakin aku pilih kamu?" Sekadar mengukur alasan kenapa Ardan bisa datang ke sini.
"Aku tahu kamu milih aku. Bang Rizal cerita semuanya. Semua sikap kamu selama di rumah selama beberapa hari terakhir, sampai kamu yang udah ketemu sama Asta. Itu cukup bikin aku berani datang ke sini, mulai mengenalkan diri ke keluarga kamu."
Bagus. Mereka berdua bersekongkol di belakang Agni.
Agni memejamkan mata. Mengatur napasnya yang masih terengah. Menata hati. Ini saatnya bicara. Saatnya berhenti egois. "Aku juga mau jujur."
Kepalanya tertunduk dalam. Menatap kakinya dalam balutan sepatu dan kaki telanjang Ardan yang mungkin buru-buru mengejarnya hingga tidak sempat mengenakan alas apa-apa.
"Aku yang salah di sini. Ketika aku goyah, aku nyari pembenaran buat diri sendiri dan nyalahin kamu. Padahal itu salahku sendiri, bukan salah kamu yang nggak ngeyakinin aku. Kamu udah melakukan yang terbaik, aku ngerti maksud kamu yang ngasih aku ruang untuk mikirin semuanya lagi. Kamu pengin aku menyelesaikan urusanku dengan baik. Tapi aku nangkepnya beda. Aku nyalahin kamu yang lepas tangan. Aku bahkan anggap kamu pengecut."
"Tapi aku juga salah. Kamu bikin aku sadar kalau aku harusnya mempertahankan apa yang aku mau. Aku memang pernah dikhianati, tapi lantas nggak bisa dijadikan alasan buat taruh kamu di tempat yang sama. Aku nyakitin kamu secara nggak langsung."
"Nggak. Kamu pernah disakiti dan seharusnya aku lebih ngerti." Tersendat tangis. "Ma-maaf untuk semuanya. Apa yang aku jalani sama kamu, itu pilihan terbaik yang pernah aku buat di hidupku. Aku nggak akan menukarnya dengan siapa pun."
Ardan menegaskan. "Kamu akan tinggal?"
Tangis Agni kian pecah. Kedua bahunya bergetar.
"Agni ...."
"Aku mau ... aku mau terus di samping kamu. Selamanya."
Ardan mengembangkan senyum lega. Berpikir jika ini waktu yang tepat, dia memutuskan mengeluarkan kotak kecil berbahan beledu dan berlutut di hadapan Agni. Mendongak seraya membuka kotak itu. Mengangkatnya sedikit lebih tinggi hingga lampu jalan mampu membuat benda kecil itu makin berkilau.
"Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku akan usahakan yang terbaik buat membahagiakan kamu." Ardan berdebar tak keruan. "Agni ... aku mau kamu jadi rumah tempatku pulang."
Agni makin kepayahan menghadapi desakan untuk menangis. Hatinya luar biasa buncah. Tangannya menempel di dada, menahan sesak karena dia terlalu bahagia. Semenit lalu, dia masih berpikir betapa kacaunya mereka hingga kemungkinan terburuk dia akan kehilangan lelaki ini, tapi keadaan berbalik begitu cepat.
Dia tidak tahu cara menjawabnya dengan tepat. Yang bisa dia lakukan hanyalah mengangguk dan tidak butuh waktu lama bagi Ardan untuk bangkit. Mengambil cincin dari tempatnya, menyematkan benda cantik itu di jari manis Agni. Melingkar dengan indah di sana.
"Ardan ...." Mengambil tangan lelaki itu lantas menautkan jemari-jemari mereka, memantapkan hati. "Makasih udah membuktikan ke aku kalau kamu pantas." Menggeleng, memberi koreksi. "Kamu bahkan lebih dari pantas. Aku juga ingin pantas buat kamu ... bimbing aku ya."
Ardan tersenyum lembut. Agni menyelinap di antara lengan, membenamkan wajah di bahu yang dia jadikan tempat terbaik untuk menangis dan pulang. Itu pelukan terpanjang mereka. Tanpa kata, membiarkan hati yang saling bicara.
***
TAMAT.
01 Januari 2021–16 Juni 2022
Kalau bisa, jangan diskip yaa😘
1. Dari hati paling dalam, terima kasih sebanyak-banyaknya buat kalian yg selalu dukung cerita ini hingga bisa ditulis sampai tamat. Makasih udah sabar nunggu aku yg suka ngilang. Kalian terbaikkkkk! 🥰
2. Terima kasih jg buat yg nyusulin ke KK: special chapter, extended version, sampai cerita Sasa✨
3. Ambil hal baik2 saja dalam cerita ini, mohon maaf kalau ada kalimat entah dalam cerita atau author note yg tidak berkenan di hati kalian. Sekali lagi, mohon dimaafkan☺🙏
4. Tetap simpan cerita ini di library atau reading list kamu. InsyaAllah kemungkinan besar akan ada boncap/sekuel yg tayang di KK dan diinfokan lewat sini 🤗
5. Aku kayaknya bakal susah move on dari Ardan 😭😭😭😭
6. Pertanyaan bisa kamu taruh di line ini, aku akan jawab🙌
Sampai bertemu di cerita lain. Semoga kamu selalu diberi kesehatan, dilimpahi keberkahan, dipermudah segala urusan ❤
See youuuuu 👋👋👋
Salam sayang
dan peluk jauh,
Respati Kasih.
Kamis/16.06.2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top