Bagian Tujuhbelas

Baca bagian 16 dulu yaa~ aku double update malam ini. Kebanyakan pada langsung ke bab ini soalnya 🤣

—————————

Suasana di mobil dalam perjalanan pulang, membeku.

Ardan diam sejak masuk ke mobil. Para perempuan ikut terdiam, merenung masing-masing. Tak terkecuali Agni. Dia beberapa kali melirik ke arah Ardan. Apa mendadak lelaki ini bisulan atau sariawan? Mungkin tadi salah makan di resepsi. Bisa jadi.

Bangku tengah dan belakang kompak mengerutkan dahi. Ingin sekali memecah hening tapi takut salah bicara atau malah krik krik.

"Dan, gue kebelet pipis. Rest area-nya masih jauh?"

"Kebelet banget?" Ardan akhirnya bersuara.

Semua sontak menghela napas lega. Pecah sudah gelembung beku yang mereka tidak mengerti.

"Lumayan."

"Numpang di toilet proyek nggak apa-apa?"

Agni langsung menggeleng. Tidak suka dengan ide itu. "Gue tahan aja deh."

"Jadi kencing batu nanti." Ardan mengedikkan bahu. "Di depan ada proyek. Numpang di sana aja."

Agni tidak membantah. Dia sejujurnya tidak bisa menahan juga, daripada jadi kencing batu kan.

"Tunggu bentar." Setelah masuk ke area proyek, Ardan turun lebih dulu. Meminta izin ke pekerja di sana.

Agni menggerakkan kakinya dengan gelisah.

Tak lama, Ardan kembali ke mobil. "Yuk, dibolehin sama bapaknya." Menatap ke bangku belakang. "Ada yang mau pipis sekalian?"

Mereka menatap area proyek dan langsung menggeleng. Tapi tidak dengan Sasa yang tiba-tiba berubah pikiran. "Bang, aku ikut."

Toilet itu berada di belakang kerangka bangunan yang belum jadi. Jalannya pun becek. Agni dan Sasa mengangkat dress mereka tinggi-tinggi. Mencoba berjalan di permukaan tanah yang solid kalau tidak mau ujung heels mereka amblas ke dalam tanah. Sedikit bingung ketika harus melewati genangan yang cukup lebar.

"Ini cuma mau pipis tapi banyak halang rintangnya. Kayak pramuka aja." Sasa mengeluh lucu. "Mbak Agni diem aja jangan-jangan udah pipis di celana ya?"

"Sembarangan."

Ardan yang sejak tadi melangkah di belakang, mendahului setelah mengambil sebilah papan yang tergeletak di sekitar. Meletakkannya di antara genangan air. Melompat lebih dulu dan menyodorkan tangan untuk pegangan.

Sasa masuk lebih dulu ke toilet kecil itu. Agni fokus menahan pipis. Sementara Ardan mengecek chat yang masuk. Mama mengabari kalau nanti hendak mampir ke restoran padang begitu keluar dari tol.

"Mbak Agni, sini, pegangin pintunya dari luar. Takut ada angin ngejeplak dia."

"Nggak ada pengaitnya?"

"Ada. Tapi longgar gini."

Agni mendekat ke pintu toilet. Ardan masih berkutat dengan ponsel.

Urusan ke toilet selesai. Ardan berterima kasih ke pekerja yang tadi dia mintai izin. Sebelum gerimis, mobil Ardan kembali melaju.

"Kalian pada laper nggak?"

"Abang udah nggak ngambek lagi?" Ajeng bertanya memastikan.

"Yang ngambek siapa?"

Agni menoleh, menggerakkan hidungnya. Lihat, orangnya sendiri tidak merasa kalau sejak tadi diamnya membuat suasana mobil seperti kutub.

"Bang Ardan marah gara-gara kami rebutan bunga tadi?"

"Enggak."

"Terus kenapa diem banget dari tadi?"

"Ini ngomong kan?" Ardan mengulangi. "Pada laper nggak? Rombongan mobil Emil mau mampir resto padang."

"Boleh, Bang, aku haus." Satu jawaban sudah mewakili.

"Sama laper, Bang." Dea menambahi. "Tadi makannya kayak table manner. Dikit-dikit."

"Eh, lo-nya aja yang lelet." Jessy sewot. Gara-gara masalah bunga, apa lagi. "Gue emang beneran kenyang kok, cuma haus aja."

"Mamam tuh bunga." Puput menimpali.

"Jiaaaah, dengki ya kalian."

"Mentang-mentang lo dibelain sama Bang Ardan, jangan besar kepala."

"Tunggu pembalasan gue di kos nanti."

"Paling besok layu tuh bunga."

"Omongan orang iri dengki tuh kayak kentut. Biarin aja ntar juga ilang sendiri." Dea mengendus bunganya. "Kayak anjing menggonggong—"

Jessy setengah membalik badan. Menatap tajam. "Lo ngomong lagi gue pastiin bunganya beneran lo makan!"

Dea mengatupkan bibir rapat.

Mobil keluar dari tol dan berbelok ke restoran padang. Sudah lewat pukul tiga. Gerimis masih turun. Sebelum turun, Ardan berpesan. "Makan aja sekalian. Rebutan bunga kan bikin laper."

Agni kelepasan terkekeh. Dia turun dan melangkah ke arah yang berbeda.

"Mau ke mana?" sergah Ardan.

"Minimarket depan."

Ardan tidak bertanya lagi. Melanjutkan langkah ke teras restoran. Semua akhirnya ikut turun dan mengantre untuk memilih lauk. Ardan mendekat ke meja tempat Mama dan Didit duduk.

"Didit nggak makan?"

Didit mendongak ke abangnya. Langsung mengadu. "Mau es krim tapi mama nggak bolehin, Bang."

"Adikmu dari tadi nggak mau makan nasi, maunya es krim."

"Ayo makan dulu, habis itu beli es krim."

"Beli es krim dulu, Bang."

"Biar Abang beliin ke depan, sementara kamu makan. Oke?"

Didit langsung berdiri dari kursi. Setuju dengan ide abangnya. Sukma mendecak pelan.

Ardan membawa Didit ke etalase. Menyela antrean anak kos yang dengan sukarela membiarkan Didit maju lebih dulu.

"Bang Ardan nggak makan?" Ajeng bertanya saat Ardan hanya mengantar Didit memilih lauk.

"Kalian duluan aja."

Didit kembali ke meja dan Ardan menyeberang ke minimarket.

Geng Rusuh berebutan agar bisa duduk semeja dengan calon mama mertua. Untung tidak saling sikut, mereka ingat bahwa membawa piring nasi padang, jangan sampai bikin kacau di sini juga.

Dua kursi kosong itu dimenangkan oleh Jessy dan Ajeng tanpa perlawanan yang berarti.

Di meja lain, Eriska mengeluh. "Gue tiba-tiba pengin nongkrong di minimarket depan aja."

Sasa, Puput dan Dea mengikuti arah pandang Eriska. Ikutan mengeluh di dalam hati.

***

Ardan menemukan Agni duduk di bangku teras dengan cemilan yang berserakan di meja.

Langkahnya terhenti. "Lo nggak ikut makan?"

"Masih kenyang. Gue pilih ngemil di sini aja."

Ardan mendorong pintu kaca, urung menuju lemari es krim setelah melihat keluar lewat dinding yang transparan. Hujan menderas. Dia menunjuk rak di belakang kasir dan mengeluarkan dompet.

Selesai membayar, Ardan bergabung dengan Agni. Jas hitamnya sudah dia lepas dan tinggal di jok mobil. Menyisakan kemeja putih yang lengannya dia gulung sebatas siku. Dua kancing teratas juga sudah lepas.

Agni berjengit saat Ardan ikut duduk di kursi yang semeja dengannya, alih-alih kembali ke restoran seberang. "Di minimarket kan ada payung."

"Masih kenyang." Ardan mengeluarkan sebatang rokok. "Lo toleran sama asap rokok nggak?"

"Nggak."

Ardan langsung memasukkan kembali batang rokoknya. Sudut bibir Agni berkedut. "Bercanda. Ngerokok aja."

Ardan menyulut ujung rokoknya. Mengembuskan asap saat pertanyaan itu masuk ke telinganya. "Lo sedih lihat Delia nikah?"

"Lo termakan gosip mana?"

"Bukannya kalian dulu deket?"

"Ck. Temen curhat doang."

"Buaya naif."

"Salah mulu gue di mata lo."

Agni menyeringai sambil menggigit pocky. "Lelaki itu kalau iya, bilang iya. Kalau nggak, bilang nggak."

Dijawab tegas. "Nggak."

"Munafik."

Ardan menghela napas. Memilih diam. Percuma menjelaskan pada orang yang jelas-jelas membencinya. Kenapa pula dia harus capek-capek memperbaiki imej di depan perempuan ini? Tidak. Bukan begitu. Tidak ada yang salah dengan imej Ardan. Agni saja yang sudah apatis lebih dulu dengan lelaki—atau hanya dengan Ardan saja?

"Nggak capek pura-pura baik?"

Astaga, pertanyaan apa lagi ini?

Ardan mengembuskan asap dari sela bibir. "Langsung aja katain gue. Nggak usah pake kalimat pengantar."

"Lo emang nggak bisa jawab."

"Semua lelaki yang ada dan pernah mampir ke hidup lo, emangnya berengsek semua?" Memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman.  "Sampai gue kena pukul rata."

Agni terdiam.

"Padahal nggak gitu harusnya. Setiap orang punya latar belakang beda, pola asuh yang juga beda. Gue bisa begini karena didikan Mama. Biar pun gue nggak dekat dengan almarhum Papa, gue tahu gimana jadi lelaki yang baik. Kalau gue ambil hati semua sikap lo, jujur, gue sakit hati, Ni." Ardan membasahi bibir, membuang puntung di asbak. Tidak ada penekanan di setiap kalimatnya, Ardan hanya mengatakan apa yang dia pikirkan. Tidak bermaksud ingin Agni berubah. "Awalnya gue nggak mau pusing dengan pandangan lo ke gue. Terlihat palsu, naif, munafik dan sebagainya. Terserahlah. Yang benci gue cuma lo doang ini."

"Intinya lo mau bilang apa?"

"Gue mulai terganggu. Gue jadi mikir apa gue emang palsu, naif dan semunafik itu."

Agni tertawa sarkas. "Lo suka sama gue ya?"

Tertawa tanpa suara, Ardan menunduk, menarik batang rokok kedua. Menyisipkan di sela bibir dan menyulutnya. Mengembuskan asap perlahan dengan sisa-sisa tawa. "Mungkin."

Setelahnya, Agni tidak bersuara. Begitu pun dengan Ardan. Mereka membiarkan suara hujan yang mengisi kebisuan. Tandas rokok kedua, Ardan kembali masuk ke minimarket. Melangkah ke rak es krim. Mengambil beberapa. Ketika melirik ke teras, Agni sudah beranjak ke tepian jalan raya.

Sedikit terburu, Ardan menyambar payung di dekat kasir. Membayar, mengambil plastik es krim dan melesat tanpa menunggu kembalian.

Ardan melangkah lebar, kemudian berhenti di sisi kanan Agni. Membagi payungnya dan membiarkan separuh bahunya basah. Hujan masih deras. Beberapa saat hanya seperti ini. Berdiri bersisihan dalam diam.

Saat jalanan sedikit lengang, Agni bergerak maju. Ardan mengimbangi di sebelahnya, merentangkan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya tetap memastikan Agni terpayungi dengan baik.

***

Update kapan lagi? Sedapetnya ide dan mood. Kalau gak sabar nunggu, gapapa kalau mau pergi 😘 aku tau itu salah satu bentuk dukungan dan sayangnya kalian ke anak2ku. Tapi tolong jangan nagih ya. Aku pasti rajin nulis sekalipun gak ditagih, dgn catatan mood enak buat nulis 🤗

Yg sudah sabar dan pengertian, terima kasih banyak ❤

Minggu/14.03.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top