Bagian Tujuh

Ketika pagi datang, ada dua hal yang tak boleh dilewatkan penghuni kos putri Kenanga-nama yang sering dipelesetkan sebagai Kenangan Mantan atau Sepanjang Jalan Kenangan. Sudah biasa. Memang receh.

Dua hal. Pertama, mencari sarapan. Kedua, pemandangan calon suami idaman sedang mencuci mobil. Bagi sebagian anak kos yang fakir asmara, poin kedua adalah anugerah.

Seperti pagi ini, pukul 05.25, setelah grup Whatsapp semalam ribut tentang anakan kobra dan ditutup dengan membahas betapa gantengnya Ardan yang memakai sarung, maka kehebohan pagi ini adalah tentang Ardan yang mencuci mobilnya.

Eriska yang kamarnya paling dekat dengan gerbang, tergopoh mencari ponsel setelah mengintip dari celah gerbang yang diberi fiber. Nyawanya belum terkumpul, tapi dia ingat dengan mandat yang diberikan padanya. Kantuknya sontak hilang. Dengan gemetar dia cepat mengetik di ponsel.

Dia membuka grup 'Kos Kenanga Tandingan'. Jemarinya mengetik asal saking gemetarannya. Dea, Jessy, Puput, Ajeng, dan Sasa. Yang lain seringnya hanya menyimak.

Eriska: calon suami idaman bersama lg nyuci mobil!!!

Jessy: SUMPAH?!!

Puput: HOAX KAN? LO BILANG GITU MINGGU KEMARIN TP TERNYATA BANG EMIL YG NUMPANG NYUCI MOTOR DI DEPAN

Eriska: iris kuku gw kalo gw boong

Puput: irisnya pake gunting rumput

Ajeng: pake sarung yg semalem gk? Kalo iya, gw turun skrg!

Puput: ya kali gila lo nyuci mobil pake sarung kek bapak2

Ajeng: oh jangan salah, dia emg bapak dari anak2 gue nanti

Jessy: tolong itu Ajeng tenggelim aja, receh bgt

*Agni left the chat*

Jessy: sejak kapan Agni masuk grup? Sasa, kerjaan lo ya?

Sasa: lah, dr awal kan mbak agni emg di grup

Eriska: bang ardan yaoloh gk nahan pengin gw nikahin

Puput: gk bisa dibiarin!!!

Ajeng: sarung gmn sarung?!!

Eriska: @Ajeng PAKEEEEEE

Jessy: sikat! gw otw turun

Sasa: mbak agni dimasukin ke grup lg ga?

Dea: ini ada apa? Siapa yg pake sarung?

Dea: woy jawab woy!!

Dea: gaes?

Sasa: @Dea panjat chat mbak

Sasa mendengkus. Pertanyaannya diabaikan. Dari pintu kamarnya yang setengah terbuka, terdengar suara derap kaki. Sasa sih juga suka kalau ada pemandangan Ardan mencuci mobil, apalagi pakai sarung katanya. Beberapa detik menimbang, Sasa akhirnya bangkit dari kasur.

Di gerbang sudah berjejal kakak-kakak kosnya yang berebut posisi. Ada lubang di fiber yang bisa digunakan untuk memantau kondisi di luar. Kali ini kondisi khusus. Mereka saling dorong dan sikut demi mendapat posisi yang strategis.

Sasa menggaruk rambut, daripada kena sikut, dia hanya berdiri di belakang mereka, tidak ribut ikut mengintip. "Mbak-mbak, pada bintitan lho."

Salah satu tangan mengibas ke arahnya. "Halah. Apa itu bintitan!"

Hal yang tak terduga kemudian adalah gerbang yang tiba-tiba digeser dari luar. Mereka terlambat menyadari dan hilang keseimbangan. Dorongan untuk jatuh pun tak terhindarkan, dibarengi dengan teriakan. Agni terkesiap karena tidak menyangka jika gerbang yang dia geser memuntahkan manusia-manusia ini.

Ardan yang sedang mencuci ban belakang, melongok kaget melihat keributan dari gerbang kos. Menghentikan gerakannya mencuci dan berdiri. "Pada ngapain?"

Mereka buru-buru bangun dari aspal sebelum malunya semakin banyak. Tapi ya tetap saja malu. Banget. Di mana pun kalau mengintip dan ketahuan, rasanya mau mengubur diri saja.

Mereka kompak nyengir sambil menepuk tangan dan lutut yang kotor.

"Jatuh, Bang."

"Kepleset, Bang."

"Abang nyuci mobil emang mau ke mana?"

"Mau nganterin si Tante kondangan ya? Ikut dong."

"Abang nggak kedinginan pagi-pagi gini nyuci mobil?"

"Butuh bantuan nggak, Bang? Aku bisa loh nyuci mobil. Sebelum ngekos, aku suka bantuin Papa nyuci mobil."

"Bang, Bang, papaku punya car wash. Lebih terlatih aku kalau soal nyuci mobil tanpa baret."

"Mamaku punya laundry, Bang!"

"Yee, jauh amat mobil sama laundry!"

"Sama-sama pake sabun sama air ini!"

"Ngacoooo!"

Satu pertanyaan sederhana dari Ardan yang mendapat banyak sekali jawaban. Merasa tidak mendapat jawaban yang diinginkan, Ardan menatap Agni.

"Pada ngintipin lo nyuci mobil." Agni berkata santai dengan wajah lelah.

Jessy memekik marah. "AGNI!!!"

***

"Ada ribut-ribut apa di depan, Bang?" Jingga sudah duduk di meja makan, rapi dengan seragam dan parfumnya yang semerbak membuat pusing, menunggu roti panggangnya siap.

"Biasa."

"Oh."

"Dan, mau mandi dulu apa sarapan sekarang?"

Ardan melihat kaus dan sarungnya yang basah. "Mandi dulu, Ma. Kalian duluan aja."

"Bang, anterin sekolah dong." Jingga menahan langkahnya.

Didit mengacungkan tangan. "Aku jugaaa."

"Oke."

Mama menimpali. "Tapi nanti pulangnya dijemput Mbak Cici ya. Mama sama abang mau ke kondangan."

Sepuluh menit kemudian Ardan turun membawa kunci motor. Urusan sarapan bisa nanti setelah mengantar.

Adik-adiknya sudah selesai sarapan. Setelah ritual mencium tangan Mama, mereka menyusul kakaknya yang memanasi mesin motor. Menunggu sambil mengenakan kaus kaki dan sepatu di teras.

Didit duduk di depan.

Setelah mengenakan helm dan bersiap naik ke boncengan, gerakan Jingga dihentikan.

"Duduk nyamping aja."

"Lah, nggak nyaman."

Ardan menoleh. Menegaskan. "Rokmu itu lho, Dek. Kalau pas pakai seragam rok panjang nggak bonceng nyamping nggak apa-apa."

Jingga cemberut tapi menurut. Peringatan dari kakaknya termasuk masih bisa diterima telinganya-tidak sekejam omelan Mama. Tidak ada tambahan seperti; kamu mau pamer paha ke orang yang lewat?!

"Mau pamer paha?"

Dengan kesal Jingga mencubit lengan abangnya.

***

Ardan menepikan mobilnya. Mama turun tergesa karena kebelet ke kamar mandi. Ardan membuka pintu belakang. Mengambil dua plastik besar berisi beberapa kotak kue. Mama tadi minta mampir beli pas di jalan pulang. Buat anak-anak kos katanya.

Kalau siang begini biasanya kos sepi, jadi Ardan langsung masuk setelah menggeser gerbang. Karena lantai satu kosong, Ardan naik ke lantai dua. Masih mengenakan kemeja batik lengan panjang juga celana kain, ditambah dengan sepatu pantofel-minta dinikahi banget kan?

"Eh, Ardan. Nyari siapa?"

Ardan disapa satu-satunya penghuni yang terlihat di dapur mini lantai dua-yang letaknya di sisi kanan tangga. Dia bersyukur karena yang menyapa mengenakan baju yang pantas. Bukan tanktop dan hotpants.

"Ini, mau nganter oleh-oleh dari Mama. Lantai satu kosong, Mbak, aku titip sekalian di sini ya."

"Waduh, repot-repot banget si Tante. Bilangin makasih banyak ya."

Ardan mengangguk. Setelah mengulurkan dua plastik itu, dia hendak pamit, tapi ditahan dengan pertanyaan. "Dari mana, Dan, kok rapi banget? Wangi pula."

"Habis nganter Mama kondangan, Mbak." Ardan sedikit sungkan dengan Ayuk, karena usia mereka yang terpaut lima tahun. Berbeda dengan penghuni yang masuk golongan perusuh, mereka sepantaran dan kebanyakan usianya di bawah Ardan.

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Ardan memang sudah bersiap turun, tapi sudut matanya tidak sengaja mengarah ke sana. Kamar mandi yang letaknya persis di sebelah dapur.

Seseorang yang hanya dibalut handuk saja berdiri di ambang pintu-sepertinya belum menyadari kehadiran Ardan. Kulitnya yang putih terlihat indah dipadu dengan handuk berwarna merah. Ardan tidak tahu jika pemandangan itu mampu membuatnya lupa bernapas untuk beberapa saat.

Maksudnya, ayolah, ini hanya Agni, perempuan yang sama sekali tidak pernah dia pertimbangkan tapi bisa membuatnya tertegun seperti sekarang.

Sedetik. Dua detik. Mata mereka akhirnya bertemu.

Agni membulatkan mata. Terperangah. Lalu cepat-cepat menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tapi karena gerakannya berlebihan dan tergesa, ujung handuk yang diselipkan justru lepas. Agni mengumpat pelan, menahan handuknya dan segera berlari ke kamar.

Ardan menelan ludah. Menjerit dalam hati. Itu handuknya kalau jadi melorot di depan matanya gimana?! Ardan bisa mati berdiri di sini, Mama!

Dengan kikuk, Ardan menggaruk rambut.

"Mukamu merah, Dan." Ayuk terkekeh geli.

Nyengir serba salah. "Ya udah, aku balik, Mbak."

***

Sayangnya dulu mas-mas penjaga kosku gak kayak bang Ardan. Suram gaes suram~ 🤣😭

Selasa, 09.02.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top