Bagian Tigapuluh Tiga


Di antara Minggu sore yang diisi dengan rebahan dan usaha mengumpulkan niat untuk mandi tapi tidak kunjung terkumpul, satu pesan dari Ardan muncul di grup kos. Membawa angin segar.

Ardan: guys, mau ga perbaikan gizi jilid dua?

Ajeng: MAUUUUUU

Jessi: gas bang

Eriska: HAYUK BANG

Sasa: ga nolak 😁

Dea: ga malem minggu, malem senin pun jadi ahhhayyy

Puput: ayok kapan bang

Dea: mantan diajak bang?

Ardan: sabrina ada di kos ga?

Agni: ada

Ajeng: ga usah diajak bangggg🙏

Puput: jangan ada mantan di antara kita bang

Ardan: kalo ada, tolong tanyain bisa ikut ga @Agni

Beberapa saat menunggu, Geng Rusuh terjengkang berjamaah saat balasan dari Agni datang.

Agni: sabrina bisa ikut

Ajeng: makasih lho dea, idenya bagus bgt😌

Ardan: siap2 habis isya ya

Dea: ke mana bang? KUA?

Ajeng: dresscode bang?

Ardan: pakaian sopan ya

Sasa: kaftan bang?

Ardan: ga gitu sasa😂

Ardan: cuma ke seafood jalan raya depan, pake baju yg normal aja ya. minyak wangi jg secukupnya

Ardan tadinya berniat membawa mobil, tapi melihat jumlah anak kos yang ikut, jelas tidak muat. Tidak ada salahnya jalan kaki. Jingga dan Didit ikut, Mama juga kebetulan tidak masak—minta dibungkuskan saja nanti.

Tanpa sengaja, bentuk formasi ketika mereka jalan terbentuk begitu saja. Jingga dan Didit yang semula di sebelah Ardan, tahu-tahu sudah jalan di depan. Di samping Ardan sekarang ada Sabrina.

"Kamu baik banget ke anak kos." Sabrina membuka percakapan basa-basi. "Sering ya jajanin mereka gini?"

"Mereka udah kayak keluarga."

Merapatkan kardigan. "Percaya sih. Kamu emang baik banget jadi orang."

"Iya, saking baiknya, sampai disakiti tetep masih baik." Satu suara nimbrung, Sasa ternyata ada di sisi kanan Ardan. "Gitu kan, Bang?"

Ardan refleks nyengir. Tidak menjawab. Dan setelahnya Sabrina juga diam. Geng Rusuh yang berjalan di depan hanya diam-diam mendengarkan perbincangan singkat antar mantan. Nyaris tertawa mendengar Sabrina yang kicep setelah disindir Sasa.

Sampai di warung tenda seafood, Ardan meminta tambahan tikar lagi untuk digelar di pelataran ruko. Geng Rusuh mencari posisi duduk masing-masing. Sabrina yang masih berdiri, membantu Ardan menggelar tikar. Begitu memastikan semua anak kos sudah duduk, Ardan memanggil pelayan.

"Bang, duduk di sini aja." Didit melambaikan tangan dari dalam warung. Ardan mengangguk. Jingga juga lebih memilih duduk di kursi.

Ardan berpesan sebelum menghampiri adik-adiknya. "Bebas mau pesan apa aja. Nambah atau mau bungkus buat sarapan besok pagi juga boleh."

"Aku nggak mau nambah. Cukup Bang Ardan duduk di tikar aja." Dea merengek siapa tahu Ardan lebih memilih anak kos ketimbang adik-adiknya.

"Apa gue membelah diri aja?"

Sasa menggeleng. "Jangaaaaan. Aku nggak mau Bang Ardan mati."

"Sab." Ardan menyentuh bahu Sabrina. "Yuk, duduk di kursi aja." Setelah menyadari jika anak kos sengaja duduk menguasai tikar dan membuat Sabrina berdiri bingung.

Ajeng kelepasan berseru. "Bang, aku aja, BANGGGG!"

Dea tak mau kalah. "AKU GAMPANG KESEMUTAN, BANG! KUDU DUDUK DI KURSI."

Ardan sampai menempelkan telunjuk di bibir sendiri, takut berisiknya anak kos mengganggu pembeli yang lain. "Kursinya tinggal satu. Udah, kalian baik-baik duduk di tikar ya."

"Tapi nggak bisa deket sama Abang."

"Kalian mau makan apa lihatin gue?"

"Makan Abang—eh, ngelihatin Abang!"

Ardan salah bertanya. Lebih baik dia segera duduk.

"Padahal di samping Sasa masih ada tempat." Geng Rusuh berkasak-kusuk sambil menatap iri Sabrina yang duduk dengan Ardan dan adik-adiknya.

"Iya, sengaja banget masih berdiri pas yang lain udah duduk. Biar kesannya kita sengaja nggak kasih dia tempat."

"Bener. Dia tahu kalau Bang Ardan bakal ngajak duduk di sana."

Sasa mematahkan kasak-kusuk itu. "Lah, emang iya. Nih, seperempat pantatku keluar dari tikar. Kalian nih sengaja duduk dilebar-lebarin kakinya."

Semua kompak melotot ke Sasa. Dea langsung meraih kepala Sasa, hingga tubuh Sasa rebah di pahanya.

"Lihat aja cara duduknya." Ajeng menatap dengki.

Dea mengembalikan tubuh Sasa ke tempat semula. Lalu menoleh cepat. "Kenapa, kenapa?"

"Cara duduknya aja berkelas gitu. Udah muka Ariel Tatum, tingkah kagak selebor, aset gede." Puput mewek melihat postur Sabrina yang sempurna dari sudut mana pun. Bahkan duduk pun anggun sekali. Kekurangannya cuma satu, bodoh banget karena menyia-nyiakan seorang Ardan.

Semua kompak mengangguk. Meski menyakitkan mengakui kesempurnaan lawan tapi terlalu sulit juga untuk disangkal.

Jessi menceletuk, setengah berbisik. "Gue jadi mikir, dulu pas mereka pacaran, Bang Ardan sempet icip nggak ya?"

"Hah? Maksud lo apa?!" Ajeng bereaksi terlalu cepat.

Eriska segera memeluk Ajeng yang hendak menjitak Jessi. Jangan sampai mereka bergulat di sini.

Jessi meneruskan, menaik-naik alis. "Atau celup?"

"Ya Allah." Sasa mengurut dada, mencoba tetap waras. "Hargai aku yang masih bocil ya, Kakak-kakak."

"Nggak usah sok bocil mentang-mentang wajah imut."

Sasa mencebik bibir. "Aku emang imut kok."

***

"Kok beli tiga, Dan?" Sukma bertanya bingung saat membuka plastik di meja makan. Ada tiga bungkus. "Mbak Cici nggak doyan seafood."

"Buat anak kos, Ma. Satunya buat Emil."

"Bukannya pada ikut semua tadi?"

"Agni nggak ikut."

Sukma langsung mesem-mesem sambil duduk. "Oh, buat Agni. Ya udah sana anterin."

Ardan melihat mamanya yang membuka kotak styrofoam. "Mama mau aku ambilin nasi?"

"Nggak usah. Mama mau gado aja."

"Minum?"

"Nanti Mama ambil sendiri."

Membiarkan mamanya makan tanpa diinterupsi, Ardan pamit. Sampai di depan gerbang, masih terdengar samar suara TV. Maka Ardan memilih ke rumah Emil lebih dulu.

"Apaan?" Emil membuka pintu. Menggaruk perut, leher, dan ketek secara bergantian. Tampak baru bangun tidur. Tanpa menunggu jawaban, menunduk ke tangan Ardan. Tangannya lantas sigap merampas semua plastik.

Ardan menahan. "Yee, satu aja. Maruk amat."

"Mana cukup satu?"

"Porsi jumbo itu."

"Lah, yang satu buat sapa?"

"Anak kos."

"Oh, Agni."

"Hm."

"Habis dari mana? Kok gue nggak diajak."

"Cuma makan di warung depan."

"Sama mantan?"

"Rame-rame bareng anak kos."

Emil menoleh ke dalam rumah, lalu kembali ke Ardan. Menepuk bingkai pintu. "Bangke. Gue nggak diajak!"

Tidak mau ribut, Ardan mendorong Emil masuk. "Gue pulang."

Bahkan ketika pulang, suara TV masih terdengar dari gerbang kos. Membuat Ardan ragu untuk masuk ke kos. Dia pun memilih menunggu, duduk di teras rumah. Bermain dengan Ana—lebih tepatnya buntalan satu itu selalu mengendus plastik di meja. Mengeong lirih.

"Ana!"

Ana berhenti mengendus, menatap Ardan dengan manja. Berharap jika dirinya bisa mencicipi isi plastik.

"Nggak boleh."

Mengeong lagi, Ana kemudian turun dari meja. Meninggalkan Ardan begitu saja. Rupanya si Burik menjemput. Secara refleks Ardan berpesan. "Ana, udah malem. Jangan mau diajak main jauh. Kamu terakhir main sama dia, pulang cemong-cemong."

Ana tidak peduli. Justru si Burik yang menoleh ke Ardan, tatapannya seakan mengejek.

Hampir setengah jam. Ardan antara sudah bosan menunggu dan gemas dengan diri sendiri. Tidak mau membuang waktu lagi, dia lekas berdiri. Tidak peduli kalau dirinya akan dicengin anak kos. Lagian sudah biasa. Pokoknya dia hanya perlu melewati gerbang, ruang TV, jalan lurus lalu belok kanan naik tangga dan mengetuk pintu kamar Agni. Beres.

Terlihat sederhana ya. Tapi ribet karena halang rintangnya ngumpul jadi satu.

Geng Rusuh ternyata masih nongkrong di ruang TV, lengkap dengan tanktop warna-warni—maksudnya mereka memakai warna yang berbeda-beda. Jangan tanya soal celana yang mereka pakai. Tidak lebih baik.

"Abang mau ke mana?"

Ardan menatap langit-langit. "Mau nagih duit kos."

"Tapi kok bawa makanan? Itu seafood yang tadi, 'kan?"

Apa pun, apa pun, asal jangan sebut nama Agni. Ayo, Dan, kamu bisa!

"Ini punya Sabrina. Dia tadi pesen bawa pulang tapi ternyata kebawa sama gue."

Bagus. Malah sebut nama mantan. Begini nih kalau nggak bakat bohong. Sekalinya bohong, blunder. Mending sebut nama Agni sekalian kan. Sama-sama dicengin ini.

"Oh, gitu."

"Aku yakin itu yang beli Abang, tapi sengaja kasih ke mantan. Udahlah, ngaku aja, Bang."

"Abang beneran mau baikan sama mantan ya?"

"Inget, Bang, dia selingkuhin Abang berapa kali? Dua kali, Bang, duaaa!"

"Tuh dengerin, Bang. Jangan gara-gara mukanya kayak Ariel Tatum terus Abang maafin."

"Abang pasti kena pelet."

Ardan hanya bisa terkekeh. Sebelum semakin ke mana-mana, dia harus segera enyah. "Udah ya. Gue ke atas dulu."

"Meski nggak rela, tapi oke deh."

"Hati-hati, Bang. Kali ini nggak apa-apa. Besok gini lagi, aku tebar paku di tangga biar Abang nggak bisa nemuin mantan."

"Oncom! Kamar gue di lantai dua!"

"Ya itu urusan lo. Perosotan aja di talang air."

Meninggalkan keributan di ruang TV, Ardan berhasil lewat dan pandangannya kembali normal. Cukup pegal juga terus mendongak selama semenit.

Sampai di lantai dua, Ardan ternyata tidak perlu mengetuk pintu kamar Agni. Yang dia cari sedang ada di dapur, berdiri bengong di depan kompor.

Saking seriusnya melamun, Agni bahkan tidak sadar jika ada yang meletakkan plastik di dekatnya.

"Lo mikir apa sih?"

Agni tergeragap. Menoleh ke sisi kirinya dan tahu-tahu sudah ada Ardan. "Ngapain lo?"

Ardan melongok ke isi panci yang berbusa. "Mi lo udah jadi bubur tuh."

Seakan baru sadar, Agni refleks mematikan kompor. Menyendok mi yang sungguhan sudah lembek. Menatapnya dengan sedih.

Memperhatikan ekspresi Agni, Ardan menyimpulkan. "Suka yang setengah mateng ya? Terus itu gimana? Mau dibuang?"

Mengembuskan napas lelah. "Buang terus bikin lagi."

"Jangan. Buat gue aja."

"Mana enak. Kalau lo mau mi, kan bisa bikin lagi."

"Udah ini aja. Sayang—" Lidah Ardan tiba-tiba keseleo mengenai gigi. Bukan, tunggu, dia belum selesai bicara. Aduh mana sakit lagi. Jadi dia diam sebentar untuk menghilangkan kebas di lidahnya.

Kalimat ambigu itu membuat Agni mengernyit. "Ha?"

"Sayang kalau dibuang." Sumpah. Ardan tidak bermaksud jail apalagi gombal di saat yang tidak tepat dengan bermodalkan mi lembek.

Agni mengambil mangkuk. Menuang mi kuah yang kuahnya sudah hilang berkat Agni yang memasaknya terlalu lama.

"Ada nasi, 'kan?" Ardan hanya memastikan, bukan bermaksud hendak pakai nasi.

"Ada. Ambil sendiri aja."

Ardan menyergah Agni yang mengambil mi di laci. Hampir saja tangannya terulur memegang lengan Agni, untung meleset. "Nggak usah bikin mi lagi. Gue bawa seafood."

Agni menatap plastik yang sejak tadi dia abaikan. "Buat gue?"

"Iyalah. Yang lain udah tadi." Ardan membawa mangkuk ke kursi di dekat kulkas. "Lo kenapa nggak ikut?"

"Beneran buat gue?" Agni menyendok nasi ke piring. "Oke. Makasih."

Agni menyusul duduk di kursi yang lain. Melihat Ardan yang meniup-niup gulungan mi di garpu. "Asin nggak sih? Mau gue kasih tambah air panas?"

"Justru enak kalau asin begini."

Agni meringis. "Teksturnya pasti aneh banget."

"Nggak kok. Masih bisa dimakan."

"Lo mau pake nasi?"

"Nggak. Udah kenyang." Sungguh kontras dengan tangan Ardan yang terus menyuap mi ke dalam mulut. Bertanya lagi karena belum dijawab. "Lo kenapa tadi nggak ikut?"

"Males mandi."

"Kayak gue bakal tanya aja yang ikut udah mandi apa belum."

Alasan langsung berubah. "Lagi males keluar."

"Terus dari tadi ngapain?"

"Di kamar aja."

"Nonton drama?"

"Hm." Agni fokus makan. Jadi untuk sejenak Ardan berhenti bertanya.

Ardan cukup terkejut melihat Agni yang berdiri untuk tambah nasi. Dua kali malah. Tapi dibanding terkejut, Ardan lebih dominan merasa senang melihat Agni menyukai apa yang dia beri. Hingga tanpa sadar dia berhenti menyuap dan hanya memperhatikan Agni makan.

"Lo mau?" Agni sadar kalau sedang ditatap. "Maaf gue sampai lupa nggak nawarin."

"Gue udah makan banyak. Itu jatah lo."

"Nggak perlu sampai segininya sih. Tapi ... ya makasih udah dibawain pulang."

Ardan menandaskan isi mangkuk. "Makasih juga buat mi-nya."

"Lo aneh deh. Doyan sama mi lembek."

Di dalam hati, Ardan juga sedang menertawakan diri sendiri. Bodoh memang. Jujur saja, Ardan tidak suka mi lembek begini. Dia refleks bilang mau, jadi ya harus dimakan dong. Apalagi ini lumayan rasanya. Not bad kok.

Ardan berdiri lebih dulu. Membawa mangkuk ke westafel, mencucinya sekalian dengan panci. Membersihkan bungkus bumbu di dekat kompor. Terakhir, dia membuka kulkas setelah mengelap tangan.

Merunduk di depan kulkas yang terbuka. Sekalian mengabsen isi kulkas. Agni belum juga selesai makan. Ardan tiba-tiba tergelitik untuk bertanya, "Nggak takut gendut?"

"Gue akan cari suami yang nggak ribet ngomentarin bentuk tubuh istrinya."

"Oh, bagus itu." Ardan tersenyum. Bukan karena deretan makanan atau minuman di dalam kulkas yang komplit, tapi karena jawaban lugas Agni. "Mau kurus atau gendut, orang tetep ngomentarin juga sih."

"Maksudnya gue harus kayak Sabrina yang proporsional biar aman gitu ya?"

Ardan menutup kulkas setelah mengambil satu botol air mineral yang masih tersegel. Membuka plastik segel, lalu memutar tutupnya sedikit.

Meletakkannya di dekat piring Agni. "Jadi diri sendiri aja." Tersenyum tipis. "Lo akan terlihat sempurna di mata orang yang tepat."

Yang sebenarnya sangat ingin Ardan katakan; mau berubah kayak gimana sih, lo begini aja gue udah suka.

***

Aku sukaaak sama chapter ini
😭😭😭

Kalau kalian paling suka chapter/adegan yg mana? Sini cerita 🙌

Makasiiiw yaa, ternyata cerita ini dapat dukungan di luar ekspektasiku 😍🙏 memang gak yg melejit bombastis wakwaw, tp aku bersyukur ada kalian 🤗❤

Rabu/01.09.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top