Bagian Tigapuluh Satu

Disclaimer:
Jumlah kata tidak sebanyak biasanya, tapi lumayan jd pengobat rindu untukku. Buat kalian jg yang nungguin 🤗

——————————

"Fokus sarapan, Jingga. Itu nasimu mau keluar dari piring." Ardan menegur halus sebelum adiknya kena tegur Mama yang untungnya masih sibuk di dapur belakang. Sepertinya sedang mengecek bahan makanan karena ada pesanan snack untuk hajatan Pak RT lusa.

Jingga beralih dari ponsel dan menunduk ke piring. Abangnya tidak bohong. Telur mata sapinya bahkan terpotong tidak jelas. Nasi juga jomplang ke tepian piring. Mama ada di sini pasti Jingga kena omel lebih kejam lagi.

Meringis ke abangnya, Jingga memperlihatkan layar ponsel miliknya. "Aku tadi ngirim hasil karyaku semalam ke grup kelas."

Ardan melihat gabungan foto Agni sekilas karena jari adiknya menggulir layar berisi chat di grup kelasnya dengan cepat. "Terus?"

"Mereka semua bilang cantik."

"Harusnya yang dipuji hasil make up kamu, bukan modelnya."

Jingga mengernyit. "Lah emangnya beda?"

"Harusnya gini tanggapan mereka; bagus, natural banget, nggak menor. Gitu-gitulah pokoknya."

"Sama aja kali, Bwangggg. Ada masalah apa sih? Mbak Agni emang cantik. Terus reaksi temenku juga sama. Bilang cantik juga. Nggak ikhlas banget kayaknya."

Didit menggaruk kepala melihat dua kakaknya seperti anak kecil.

"Atau Abang mikirnya lain."

Meletakkan sendok. "Apa? Abang emangnya mikir apa? Sok tahu kamu."

"Ini anak-anak cowok juga bilang cantik."

"Nggak usah ngadi-ngadi deh temenmu itu. Bocil fokus aja sekolah."

Jingga terhenyak, memegang dada. Mulutnya membuka, otaknya menyimpulkan. Tubuhnya mendekat ke abangnya dengan dramatis. "Abang ... cemburu?"

Ardan terbungkam telak.

"Bang? Serius Abang cemburu cuma gara-gara hal beginian? Bang, sumpah?" Jingga sampai menggerakkan bola mata saking tidak percayanya. "Ini cuma foto, Bang. Ya ampun. Mereka muji cantik kan bukan berarti cinta ke Mbak Agni. Lagian mereka cuma bocil, kayak aku." Ditegaskan sekali lagi. "Ini cuma foto, Abang."

"Aku nggak ngerti kalian kenapa." Didit akhirnya menyuarakan ketidakadilan yang dia terima. Dia jadi tidak bisa menikmati sarapannya. Padahal nanti ada jam olahraga.

Jingga sudah tenang, tidak mencerca abangnya lagi. Ardan justru curiga melihat ketenangan adiknya itu.

"Kamu mau kirim ke mana lagi? Nggak usah aneh-aneh."

***

Selir Bang Ardan

Dea: sape yg ganti namanyaaaa

Ajeng: gw, biar lebih alus dan bermartabat

Jessi: sama aja oneng

Puput: ada berita apa pagi ini bund @Eriska

Eriska: bentsr gw lagi berak

Sasa: gak sopaaaan, aku lagi sarapannnn

Dea: mamam tuh Sa 🤣🤣🤣

Ajeng: mantan bang ardan kok gak keliatan?

Sasa: barusan lewatt, aku apal wangi parfumnya

Dea: mereknya apa

Sasa: malaikat subuh

Ajeng: lo kira bapak lo 😐

Sasa: xixixixi

***

Kos Kenanga

Jingga: *send a picture*
Jingga: iri jangan bilang
Jingga: hahahahahaha

***

Selir Bang Ardan

Dea: dah sinting adiknya bang ardan

Eriska: jangan ditanggepin

Jessi: cantikan gw pas bangun tidur

Ajeng: tapi emang cantik sih agni

Puput: iya, pas kita kondangan ke bogor kemarin dia flawless

Dea: halah, susuk itu susukkk

Sasa: kakak2 ini menantang maut ya. ghibahin orang yg jelas ada di grup

Ajeng: agni masih di grup njirrrr --"

Puput: 🙇‍♀️🙇‍♀️🙇‍♀️🙇‍♀️🙇‍♀️🙇‍♀️

Dea: agni cantik banget dasar kalian iri dengki aja bisanya

Jessi: penjilat @Dea

***

Layaknya ajudan yang patuh, Ardan tidak mengeluh setiap mengantar Mama ke pasar. Tidak pula rewel saat mamanya berhenti lebih lama meski telah mendapat kembalian, hanya demi sebuah gosip. Kalau Ardan sudah mulai kesemutan berdiri sambil menenteng plastik, dia akan menyentuh lengan mamanya. Barulah sang mama beranjak pergi.

Penderitaannya berakhir? Oh, belum. Di penjual kedua, Ardan seperti mengulang hal yang sama. Mama memang senang mengobrol. Apalagi ini penjual langganan Mama. Jika dulu-dulu Ardan digoda soal menikah, sekarang mereka cukup bertanya kabar Ardan saja. Yang dibalas Ardan dengan pertanyaan yang serupa.

"Dan, laper nggak?"

Sekarang mereka menuju ke deretan penjual daging.

"Mama laper?"

"Kita lama nggak makan miayam di tengah pasar."

"Boleh, Ma."

Mereka masuk ke deretan ruko yang ada di tengah pasar. Ardan harus hati-hati, takut salah senggol. Mengingat isi pasar kebanyakan perempuan. Tapi seringnya sudah hati-hati, eh orang lain yang nyenggol. Ardan refleks minta maaf duluan padahal bukan salahnya.

Menunggu pesanan miayam, Ardan menyingsingkan lengan kaus. Hari ini cukup terik, ditambah pasar yang penuh sesak, membuat keringat dengan cepat membanjir di punggung.

"Sabrina udah sembuh, Dan?"

Ardan tergeragap.

"Jingga yang cerita sebelum kamu gabung di meja makan tadi. Kamu semalam jemput dia dan bukannya pergi sama Agni."

"Maaf aku bohong sama Mama."

"Takut Mama mikir macam-macam ya?"

Ardan mengangguk. "Aku cuma kasihan, Ma. Takut dia kenapa-kenapa di jalan."

"Udah sembuh sekarang?"

"Belum tahu. Coba aku tanya Agni." Ardan mengambil ponsel dari celana, menunduk, membuka ruang chat di Whastapp.

"Kok tanya Agni?"

Ardan urung menekan ikon telepon. Mendongak.

"Kenapa nggak orangnya langsung?"

Ardan hanya bisa nyengir. "Agni kalau ditanya urusan begini lebih simpel, Ma. Langsung jawab. Lagian semalem aku titipin Sabrina ke dia. Maksudnya, kalau ada apa-apa, Agni kamarnya yang sebelahan."

"Ya udah, coba telepon."

Terdengar nada tunggu tiga kali sebelum suara Agni menggantikan.

"Ya? Kenapa?"

"Sabrina gimana keadaannya?"

"Udah berangkat tuh."

"Lo nggak tanya kondisinya gimana?"

"Udah enakan. Kelihatan seger juga kok."

"Oke." Ardan buru-buru menambahkan. "Lo di mana sekarang?"

"Di bus."

"Ya udah."

"Oke."

"Hati-hati."

Tidak dijawab Agni dan telepon langsung dimatikan. Sukma menahan senyum melihat anak lelakinya bertingkah seperti itu. Tapi Ardan tidak menyadari jika mamanya memperhatikan penuh.

"Kali ini lebih susah buat didekati ya?"

Ardan meletakkan ponsel di meja, menatap mamanya. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, tapi bukan tanpa sebab. Mungkin perilaku Ardan tanpa dia sendiri sadari sudah menunjukkan banyak hal. Orang di sekitar kadang lebih cepat menyadarinya.

"Ayolah, Dan, Mama udah tahu."

"Mama setuju aku sama Agni?"

Sukma mengangguk. "Asal kamu bahagia, Mama nggak akan larang-larang."

Miayam pesanan mereka datang, sambil mengaduk mi di mangkuk, Sukma melanjutkan. "Akhirnya misteri terpecahkan."

Ardan mengambil sumpit, lalu menatap mamanya bingung.

"Mama sama Mbak Cici suka nebak siapa anak kos yang kamu suka. Pas nggak ada gelagat kamu gimana-gimana, kami udah mau nyerah. Kamu sukanya Agni sejak kapan sih?"

Ardan menahan senyum, mengangkat kedua bahu. Bingung juga jawabnya, dia tidak ingat kapan persisnya menatap Agni dengan cara yang berbeda.

Lucunya lagi, dia mengakui perasaan pada diri sendiri dan mamanya di tengah pasar, sambil mengaduk miayam seperti ini.

Ardan belum juga menggunakan sumpitnya. Dia menunggu mamanya selesai mengunyah untuk mengajukan pertanyaan. "Aku kelihatan iseng ke Agni nggak sih, Ma?"

"Yang itu jangan tanya Mama. Kalau nggak diucapkan, biasanya bahasa tubuh yang bicara."

"Tapi selama ini kami nggak akur. Apa-apa pasti dibikin berantem."

"Kalau sama anak kos lain atau temen perempuan kamu, gimana?"

"Mereka justru pengin banget temenan sama aku. Asyik-asyik aja mereka, Ma."

"Nah, akhirnya kamu ketemu yang beda, 'kan?"

Ardan mencerna sebentar lantas mengangguk.

"Mama nggak bilang yang baik ke kamu itu palsu atau cuma modus karena sebenernya suka sama kamu, kembali ke hati mereka masing-masing. Tapi kita mungkin cenderung akan cari yang beda dari kebanyakan."

Seketika Ardan tercerahkan. Apa yang dikatakan mamanya terdengar masuk akal. "Ya ampun, Mama cantik banget hari ini."

Sukma tertawa pelan. "Besok udah nggak cantik?"

Menggeleng, Ardan mengambil tangan kanan mamanya. Menciuminya.

Sukma membiarkan. "Kita aneh ya, Dan. Bahas beginian di tengah pasar. Udah, udah. Miayam kamu keburu ngembang."

***

"Akhirnya pulang juga. Gue tungguin juga."

Agni bukannya tidak sadar dengan keberadaan Ardan di dipan bawah pohon mangga. Tadinya Agni berniat berjalan lurus karena malas basa-basi apalagi ada Emil. Dia sebal mendengar mulut comel bapak satu anak itu.

Sebelum Agni kabur, Ardan lekas berdiri. Membawa serta plastik putih, mendekati Agni.

"Titip buat mantan?" Agni melirik plastik yang diangkat Ardan di hadapannya.

"Ardan nggak secupu itu ya, Agni. Jelas beli buat lo itu." Emil menyahut. "Mantan cuma alasan!"

Ardan menggeser badan, menutup pandangan Agni dari Emil. "Ada tiga kotak. Sabrina suka martabak manis. Yang dua, martabak manis sama telur. Buat lo."

"Kenapa gue dikasih dua?"

Emil buru-buru menyahut. "Iya. Soalnya dia nggak tahu lo suka yang mana. Jadinya beli deh dua-duanya."

Untungnya, dari wajah Agni, dia terlihat tidak percaya dengan omongan Emil yang merupakan sebuah fakta. Ardan nyengir tipis.

"Oke. Gue terima dan sampaikan ke Sabrina."

"Makasih."

Agni mengangguk.

Begitu Agni sudah masuk ke gerbang, Ardan berbalik. Senyumnya sirna. Dengan cepat dia menerjang Emil yang duduk bersila di dipan. Memiting dan menjambak rambut sampai Ardan puas.

"HP lo bunyi. HP lo bunyi!!" Emil mengangkat tangan, menyerah. Begitu mendengar getaran ponsel, dia segera mengalihkan perhatian Ardan.

Ardan melepas kepala Emil, duduk dengan cepat dan menarik ponsel dari saku celana. Pesan baru masuk.

"Siapa?" Emil bangun, menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari. "Agni?"

"Bukan. Orang nawarin pinjol."

Emil tertawa. "Lo berharap Agni bakal pap dia lagi makan martabak dan bilang makasih sekali lagi?"

"Nggak juga."

"Nggak juga apanya, muka lo ngarep gitu."

Pesan masuk lagi. Ardan cekatan membuka. Grup kos ternyata.

Sasa: *send a picture*
Sasa: makasih bang ardan, martabaknya enak😍😍😍
Jessi is typing...
Dea is typing...
Ajeng is typing...

Ardan mendadak jadi uring-uringan sendiri dan mengabaikan deretan pesan yang muncul setelahnya. "Agni gimana sih, nggak amanah banget. Gue kasih buat dia kenapa dikasih semua ke orang lain."

"Lah gimana. Lo udah ngasih ke Agni, hak dia mau kasih ke siapa." Emil mengambil ponsel Ardan, melihat foto yang Sasa kirim. Para anak kos yang sedang berkumpul di ruang TV, masing-masing pegang sepotong martabak.

"Lo belain dia?!"

Emil ternganga sebentar. Lantas buru-buru turun dari dipan. Mengenakan sandalnya. "Dan, ayo."

"Ke mana?!"

"Gue temenin mancing comberan depan kelurahan."

***

Yang punya akun Karyakarsa hayuk mampir ke profilku: Respati Kasih 🙌

Aku taruh novel Walk the Talk dan Aftertaste di sana (baik full version atau extra chapternya aja). Dan coming soon: Adel Acid Before Wedding! ❤

Rabu/11.08.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top