Bagian Tigapuluh Empat


"Abang kok lama di atas?"

"Main karambol, Bang?"

"Abang sekalian nyuapin dia makan?"

"Nggak kan, Bang?"

"Bang???"

"Masa sih Sabrina makan lagi. Orang tadi udah. Emang pas duduk sebangku sama Abang dia cuma makan kenangan? Nggak, 'kan?"

"Jadi, kenapa Abang lama di atas?"

"Abang nggak icip-hmpppphh!" Jessi langsung membungkam mulut Dea dengan satu tangan.

Ardan menghela napas panjang. Jangan dikira masuk susah, keluar pun akan dipermudah.

Sekarang di depan gerbang berjejer tanktop pelangi, berdiri rapat untuk memblokade jalan Ardan sambil menghujaninya dengan tuduhan-tuduhan. Ya ampun, mana Ardan lagi-lagi mesti melarikan pandangan. Pening kepalanya. Begini amat ketemu sama Agni doang. Mana cuma sebentar.

"Lama?" Ardan menunduk. "Perasaan cuma semenit." Terdengar seperti suami yang pamit cari angin sebentar tapi pulangnya subuh. Siap dihakimi tanpa perlawanan.

"Semenit? Lebih dari sepuluh menit, Bwaaaanggg."

"Abang sekalian nostalgia?"

"Abang nggak perlu diingetin lagi sama dosa-dosa Mbak Mantan, 'kan?"

"Jawab atau nggak boleh pulang."

Ardan cegukan. Murni gara-gara dia belum minum. Ditambah dihadang begini. Menepuk-nepuk dada. "Gue cuma ngobrol biasa."

"Ngobrolin apa?"

"Kenapa bumi nggak trapesium aja."

Geng Rusuh kompak mendecak. Menyambar galak. "KAMI SERIUS, BANG!"

Ardan mengangkat kepala. Menatap wajah mereka satu per satu. "Kalian nggak percaya sama gue?"

"Nggak. Apalagi Abang bau indomie ayam bawang. Abang makan mi berdua sama mantan?" tuduh Dea blak-blakan. Hidungnya yang kelewat peka menangkap bau khas itu. Alarm seketika menyala di kepala Geng Rusuh.

Sasa menyela. Menggaruk kepala. "Kok aku jadi bingung sih. Bang Ardan tadi bawain seafood kan ya. Terus agak lama ketahan di lantai dua. Pas turun bawa aroma indomie. Coba tolong jelaskan, Bang. Nggak mungkin itu seafood dioplos bumbu indomie."

"Agni bikin indomie terus gue minta."

"OOOHHHHH." Terasa masuk akal sekarang. Tapi tetap saja ada yang aneh.

Lihat, Ardan tidak bohong. Ternyata istilah satu kebohongan akan diikuti kebohongan yang lainnya, tidak berlaku untuk Ardan. Kalian juga tahu, Agni sungguhan bikin mi tadi.

Ardan melihat penjagaan gerbang mulai mengendur. Sebelum tersiksa dengan cegukan dan pemandangan yang membuat mata silap, dia harus segera keluar dari sini.

"Gimana? Gue udah boleh lewat dong?"

Geng Rusuh masih bertahan membelakangi gerbang. Jessi yang mewakili. "Satu pertanyaan terakhir, Bang. Cukup jawab iya apa nggak."

"Oke."

"Abang bawain seafood buat Agni?"

Ternyata istilah satu kebohongan akan diikuti kebohongan yang lainnya, tidak berlaku untuk Ardan. Siapa itu yang bilang?! Coret, coret! BERLAKU!

"Nggak."

Geng Rusuh minggir perlahan meski masih ingin menahan Ardan lebih lama.

***

"Kamu ada rencana balik ke Bandung?"

Ardan melepas satu earphone. Kebetulan lagu sudah selesai terputar dan hendak pindah ke lagu berikutnya, tapi pertanyaan Sabrina menyela. Terdengar oleh Ardan.

Sedikit memelankan tempo larinya, Ardan menjawab. "Kalau niat nengok anak-anak kontrakan sih ada. Cuma untuk balik kerja di sana kayaknya nggak."

Sabrina bukan tidak sengaja bertemu Ardan ketika jogging pagi. Dia hapal dengan kebiasaan Ardan yang suka jogging. Kemarin dia sudah memutar area sini dan Ardan tidak terlihat. Pagi ini dia beruntung. Tidak sia-sia usahanya bangun pagi-pagi buta.

"Kenapa?"

"Udah nyaman di rumah." Ardan berkata diplomatis.

"Finally feels like home ya?" Sabrina tentu masih ingat alasan Ardan sempat menetap di Bandung.

"Yap."

"Aku ikut senang."

"Makasih."

"Karena anak-anak kos ya, Dan?"

"Bukanlah."

Sabrina tersenyum, sedikit getir. Menjawab sendiri pertanyaannya. "Mereka. Terlalu banyak. Kamu jelas-jelas punya satu alasan kuat. Agni."

Kaki Ardan sontak berhenti. Sabrina juga melakukan hal yang sama. Sesaat mereka saling menatap. Napas yang sedikit terengah dan keringat yang muncul di wajah masing-masing.

"Maaf, nggak sengaja lihat yang semalam." Sabrina masih mengulas senyum, berniat menyembunyikan perasaan kehilangan yang semakin nyata. "Kamu kelihatan nyaman sama Agni."

Ardan tidak berusaha mengelak. Justru dia menunjukkan kelewat jelas di hadapan Sabrina. "Iya. Nyaman sama dia."

"Aku yakin lebih dari sebatas nyaman."

Mengangkat bahu. "Nyaman dan bahagia." Terkekeh ringan. "Meski cuma buat makan sama dia, harus kucing-kucingan sama anak kos lainnya."

"Agni tahu perasaan kamu, Dan?"

"Belum. Tapi segera."

"Kamu yakin dia punya perasaan yang sama?"

"Kalau kamu bisa bahagia dengan orang lain, aku juga bisa." Ardan mengabaikan pertanyaan Sabrina, melanjutkan. "Itu hal yang pertama pengin aku bilang ke kamu kalau kita ketemu lagi. Tapi setelah aku pikir, ketika aku mencintai seseorang, aku memang harus benar-benar selesai sama kamu. Jadi ketika aku memulai dengan orang lain dan aku bahagia, bukan untuk membuktikan ke siapa-siapa."

Sabrina menyergah. "Tapi kamu salah. Aku nggak bahagia sama orang lain."

Tidak banyak yang bisa Ardan katakan. Dia juga tidak ingin dengar apa-apa. Jika itu tentang penyesalan yang dirasakan perempuan ini karena pernah berkhianat, itu bukan lagi urusan Ardan.

Ardan meresponsnya dengan sederhana, pun tidak bermaksud untuk membuka kembali kesalahan Sabrina yang sudah lewat. "Gampang kok, Sab. Mulai lagi aja. Pasti ketemu laki-laki yang akhirnya bisa bikin kamu berhenti dan menetap."

"Bakal sulit ketemu yang sebaik kamu."

"Tapi pasti ada." Ardan memasang kembali earphone. Menyudahi percakapan di sana. Melanjutkan lari.

Sesekali Sabrina akan menoleh ke Ardan. Meski saat ini mereka bersisihan, tapi pada kenyataannya sudah ada dinding menjulang yang tidak bisa Sabrina lewati.

***

Sarungnya Bang Ardan

Eriska: betnyuuuussss

Beberapa menit kemudian.

Eriska: kambiiing gw dicuekin

Jessi: pagi2 bad news ngapain sih. ini senin woyla jgn bikin tambah horor

Eriska: tebak dong bang ardan habis jogging sm siapa 😭😭😭

Ajeng: w itu

Dea: yaampun, itu gw jan kaget gitu ah, biasa aja biasaaa

Eriska: bodong lo pada. sama mantan anj

Sasa: kasarrr

Eriska: anjir maksudnya🙂

Puput: menghadeh😫

Jessi: yg bilang sape

Eriska: ga perlu informan, gw sendiri yg liat. mereka pisah di dpn gerbang barusann

Jessi: udahla, biarin, percaya aja kalo bang ardan pinter, jd ga ada tuh kesempatan ketiga

Dea: kapan gitu hayuk jogging sm bang ardan

Ajeng: ga ketebak jadwalnya, asli suka2 dia banget

Puput: berarti tiap hari mesti bangun subuh

Dea: duh berat ya mau dpt suami soleh🥺

Eriska: kalo lo suka bangun siang, ya dapetnya kek bang emil sih

Dea: amit2 😫😫😫

Sasa: bang ardan kenapa morning person bgt sih 😫 makin jadi idaman 🙌

Jessi: udah jd kebiasaan kayaknya

Dea: takut kalo jd istrinya ntar, soal bangun udah kalah duluan

Jessi: mundur aja dari skrg

Ajeng: @Dea gapapa, bang ardan toleransinya gede

Puput: kasian amat bang ardan dapet istri kalian 😢

Dea: lo jg marpuah @Puput

"Habis dari mana?"

Agni berjalan sambil menekuri ponsel, membaca chat di grup yang semakin hari semakin gila namanya. Sebuah pertanyaan menghentikan langkah Agni dan membuatnya mengangkat wajah dari layar. Melirik ke sisi kanan, sudah sampai depan kos ternyata.

Kembali ke pemberi pertanyaan yang ada di sisi kiri. "Beli lontong sayur depan." Agni bisa saja langsung masuk ke kos, tapi dia masih memperhatikan Ardan yang sedang bersiap mencuci motor. Dari kaus yang basah di bagian punggung, memang benar kalau Ardan habis jogging-kali ini dengan mantan tersayang.

Melihat Agni yang masih berdiri di tempat, Ardan jadi bertanya lagi. "Tumben nggak sarapan di warung Mpok Jaenab?"

"Kangen lontong sayur." Oh iya, soal foto. Agni tidak mau basa-basi panjang. "Hasil foto yang kemarin mana?"

Ardan selesai memasang selang, urung menyalakan keran. "Foto yang mana?"

"Foto kemarin."

Bibir Ardan berkedut menahan senyum. "Kan fotonya banyak."

"Foto di depan gerbang." Agni ngotot tidak mau memperjelas.

"Oh, yang kita berdua?"

Agni mendecak keki.

"Kalau minta, baik-baik dong. Minta sambil judes gitu. Yang ngasih juga males."

"Gue minta baik-baik ya. Lo aja yang bikin kesel."

"Nanti sore ya. Samperin gue di toko."

"Nggak jadi." Agni bersiap menarik gerbang.

"Eh, eh, iya iya gue ambilin. Gitu aja nyerah. Tunggu bentar." Ardan berlari masuk ke rumah.

Agni menunggu tidak ada semenit, Ardan sudah muncul membawa selembar foto. Disodorkan padanya. Agni siap mengambil tapi Ardan tidak melepas ujung foto yang lain.

"Buat apa?"

"Nakutin cicak."

Ardan hanya mampu tersenyum. Lalu melepas tangannya dari foto itu.

"Kok yang ini?" Agni protes karena dia mendapat foto saat mereka sedang berdebat.

"Emang yang mana lagi?"

"Jingga fotoin dua kali, 'kan?"

Ardan mengangkat bahu.

"Iya, dua kali. Yang satu mana?"

"Nggak tahu. Cuma ada ini pas gue minta ke Jingga."

"Jangan bohong."

Bibirnya berkedut lagi. "Beneran nggak ada."

"Udahlah." Agni malas ribut.

"Kalau lo mau foto lagi sih, ayo. Gue nggak keberatan."

"Nggak!"

Ardan tersenyum lebar, melihat Agni menggeser gerbang sambil menahan kesal.

"Oh iya." Agni berbalik cepat.

Ardan lumayan kelabakan mengendalikan senyumnya. "Ha?"

"Lo mau tahu nama grup terbaru?"

Dia kira Agni sungguhan kesal. Tapi yang terjadi di detik berikutnya adalah Agni yang berlari kecil ke arahnya, dengan semangat mengacungkan layar ponsel di hadapan Ardan.

Matanya memindai tampilan di layar dengan cepat. Sesaat setelahnya, Ardan tertegun.

Suara tawa Agni menyadarkan. Ardan ikut tertawa. Meski urusan nama grup menjadi tidak penting setelah Ardan tidak sengaja melihat satu nama di deretan paling atas, sengaja Agni pin.

Agni menurunkan ponsel dan kembali melanjutkan langkah ke kos. Menyisakan Ardan dengan benak bertanya-tanya.

My Love.

Itu bisa jadi keluarganya, 'kan? Mama atau Papa? Atau malah kakaknya. Eh tapi kakaknya cowok semua.

Jangan-jangan pacar? Tunangan? Calon suami?

Ardan menampar pipi sendiri. Mengenyahkan pikiran aneh-aneh dan mulai mencuci motor.

***

"Ada nama My Love di WhatsApp dia."

Selesai mencuci motor, Ardan buru-buru mencari Emil. Sepanjang mencuci pun Ardan tidak peduli bersih atau tidak. Pikirannya buyar ke mana-mana.

"Tunggu. Lo lagi ngomongin siapa?"

"Ya siapa lagi. Hadeh."

Emil melempar kail pancing ke air. Tidak. Bukan di comberan depan kantor kelurahan. Kali ini mancingnya lebih proper. Sungai besar di kelurahan sebelah. Ardan langsung menyusul ke sini dengan motor saat tidak menemukan Emil di rumah.

"Terus lo gimana? Nggak tanya langsung?"

"Gimana mau tanya, gue aja mendadak freezing."

"Mampus. Hahaha."

"Apa gue tanya aja ya?"

"Iyalah. Ngapain lo sambat ke gue. Jawabannya ada di Agni juga. Butuh dorongan dari gue? Lo masih laki, 'kan? Gentle dong. Tanya langsung. Lo nggak butuh motivasi. Biarin naluri yang bekerja."

Dari kalimat panjang Emil, Ardan bisa menyimpulkan dengan mudah. "Lo lagi males denger gue curhat ya?"

"Ho'oh. Gue ke sini mau me time sebelum ntar shift malem. Eh, lo dateng sambat."

Ardan mendecak. Orang satu ini suka lupa diri. Giliran sedih aja nyari Ardan. Terus pas Ardan bingung begini, Emil cuci tangan. Tapi jawaban Emil yang to the point membantu Ardan juga sih. Daripada capek nebak, mending tanya. Agni mau mikir gimana juga biarin. Yang penting Ardan tidak setengah mati penasaran begini.

"Mau balik?"

"Iyalah. Gue sambat nggak dibolehin."

"Sambatnya jangan pas gue mancing."

"Lo cuma diem nunggu ada ikan yang nyantol. Nggak bisa apa dengerin gue ngeluh? Ngupil aja lo bisa!"

Emil langsung mengeluarkan jari dari lubang hidung, mengelapnya di kaus. "Nggak. Gue mau fokus ke pancingan."

Ardan berbalik, berjalan beberapa langkah.

"Katanya balik." Emil hanya melirik saat Ardan tiba-tiba kembali lagi.

"Nggak mungkin kan Agni diem-diem punya tunangan?"

"Ada cincin nggak di jari manisnya?"

"Nggak ada."

"Lelaki yang ngapel dia ke kos?"

"Nggak ada." Setelah dipikir-pikir, kenapa tidak ada satu pun lelaki yang apel ke kos. Tidak hanya Agni, semua anak kos hampir tidak ada yang diapeli. Masa iya jomblo semua?

"Terus foto profil My Love apaan?"

"Nggak sempet lihat."

"Lah, justru itu yang penting."

"Kecil, Mil. Mana kelihatan juga."

"Seenggaknya bisa ditebak-tebak."

"Emang gimana nebaknya?"

"Males jelasinnya. Panjang." Emil menggaruk dagu. "Kalau ternyata itu pacar atau tunangan, lo emangnya mau apa?"

"EMANG IYA? SOK TAHU LO!"

"Tahu kenapa gue usir lo sejak awal?" Emil menoleh. "Gue tahu akan begini. Lo kalau curhat nyebelin. Udah tahu sendiri solusinya tapi masih tanya."

Ardan sungguhan pulang sekarang. Tapi sebelum berbalik, dia usil menyenggol pantat Emil yang jongkok di tepian sungai. Membuat sahabatnya itu nyaris nyungsep ke air kalau refleksnya buruk.

"BHANGKEEEE!"

***

Bolehkah Ardan aku bikin sadboy?🤣

Jarang nih aku tanya begini. Tanpa izin siapa2, udah fix jadi sadboy semua anak2ku. Berhubung Ardan beda nih, sekali2 aku ngikut mau kalian deh ❤

Jumat/03.09.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top