Bagian Tigapuluh Delapan
On mulmed: Pamungkas—Risalah Hati
—————————
Ini cuma bad day, Ni, bukan bad life. Sedihnya jangan lama-lama ya.
Seperti mantra, dua penggal kalimat itu bergema di kepala Agni ketika dia berangkat tidur. Bukannya menutup mata, dia malah menyibak selimut yang menutup kepala. Matanya segar menatap langit-langit kamar kos. Kantuknya hilang tiba-tiba.
Lama memandang langit-langit, tidak ada wajah Ardan yang muncul di sana, tapi suara lelaki itu sialnya justru berdenging di telinga.
Ini cuma bad day, Ni, bukan bad life. Sedihnya jangan lama-lama ya.
Ardan sialan!
Dua jam lalu, dia sudah menolak ajakan Sasa yang bilang kalau Ardan menraktir bakso. Agni yang sedang mager, ditambah dengan momen awkward mereka tadi sore, langsung menolak tanpa pikir panjang.
Padahal cacing di perut demo minta makan dan menolak mi instan. Merepotkan.
Agni menyingkirkan selimut, bangkit dari kasur. Mencari karet kuciran, mengucir kuda rambutnya. Memakai jaket untuk melapisi tanktop dan mengunci pintu kamar.
Lantai dua sudah sepi. Hampir jam duabelas. Lantai satu tak jauh berbeda. Agni hati-hati menggeser gerbang, meminimalisir bunyi kerit besi, lalu menyelinap keluar.
"Hobi banget nyari makan malem-malem."
Agni terlonjak. Tangannya tanpa sadar berpegangan handle gerbang. Setelah sedikit tenang, dia berbalik dengan kesal. Menatap lelaki itu dengan senewen.
Ardan nyengir. Kebetulan yang menyenangkan. Dia sedang mencari Ana yang belum juga pulang. Dia hanya menyapa Agni dengan suara pelan, tapi ternyata tetap membuat perempuan itu terkejut. "Pesen lewat ojol aja. Tunggu di ruang TV."
"Gue mau ke gang sebelah."
Keras kepala seperti biasa. Ardan tetap sabar. "Lo nggak pasang aplikasinya? Gue ada." Mengambil ponsel di saku celana. "Lo mau makan apa?"
Agni langsung melesat. Malas berdebat panjang tapi tidak penting. Ardan yang gagal membujuk, mau tak mau terpaksa menyusul. Tidak tega. Meski dia yakin Agni berani-berani saja.
"Tadi ditawarin bakso nggak mau." Ardan berhasil menyejajari langkah Agni.
Memasukkan kedua tangan ke saku jaket. "Gue lapernya sekarang."
"Gue harusnya ngutus Jingga buat manggil lo turun."
Warung pangsit menjadi tujuan Agni. Berhubung sepi, dia memilih makan di tempat. Ardan hanya memesan teh hangat. Saat Agni menatapnya heran, Ardan memberi alasan. "Gue tungguin sekalian. Ntar lo nggak berani pulang."
Agni membiarkan. Terserah.
"Merasa lebih baik belum?" Ardan membuka percakapan setelah dua teh hangat diantarkan ke meja.
"Apanya?"
"Tadi sore kan lo sedih."
"Siapa juga yang sedih."
"Iya, nggak sedih. Gue yang rabun."
Agni mendecak. Ardan mengaduk tehnya sambil tersenyum. Agni tidak ingin berbagi cerita dengannya, ya sudah. Tidak masalah. Mungkin Agni lebih nyaman untuk dipendam sendiri. Atau mungkin Agni akan bercerita ke orang paling dekat.
Lalu satu pertanyaan impulsif terlontar begitu saja dari mulut Ardan. "Jenis komitmen kayak apa yang lo pengin jalani kalau misal ada lelaki yang deketin lo?"
"Komitmen tanpa pacaran."
"Nikah?"
"Bukan."
Gerakan sendok Ardan terhenti. Matanya masih tertuju ke gula di dasar gelas yang mulai hilang. "Terus kalau ada yang deket gimana?"
"Deket ya deket aja."
"HTS-an ya, Ni?"
"Bisa dibilang gitu."
Ardan terdiam sejenak. "HTS kan ribet, Ni. Nggak ada status, ntar kalau salah satu ternyata suka sama orang lain, kita nggak bisa nuntut apa-apa apalagi marah."
"Emang yang pacaran menjamin nggak begitu juga? Kalau ini soal komitmen, kalau emang sama-sama tahu kalau saling cinta, pasti bisa kok."
Ardan menelan ludah. Dirinya malah dua kali diselingkuhi dan tidak bisa menuntut Sabrina untuk setia. "Keribetan yang kedua. Mau bucin tapi kepentok status abu-abu. Mau kelewat posesif, tapi siapa kita. Mau sok ngebiarin tapi hati sakit sendiri."
"Nggak ah. Gue udah pernah soalnya. Tergantung gimana kita atur hati aja, Dan."
Ardan ingin menyangkal kalau hati mana yang bisa diatur kalau sudah urusan cinta. Tapi dia lebih ingin bertanya ini. "Lo di pihak mana? Membucin atau dibucini?"
"Gue pengin bucin tapi nggak pernah bisa. Seringnya dibucini."
"Ya udah, nggak apa-apa. Gue aja."
Sedetik. Dua detik. "Apanya?!"
"Katanya biasa dibucini. Ya udah, ayo. Sama gue."
Agni sempat mematung lagi, sebelum kesadaran menampar cepat. "HEH?!"
"Seru kayaknya HTS-an. Gue belum pernah coba."
Semangkuk pangsit rebus diantarkan. Sejenak memutus percakapan. Tapi tidak dengan dua pasang mata yang saling menyelami dan mencari. Yang satu memberi kesungguhan, yang satu mencari ketulusan.
Tidak lekas menyentuh sendok, Agni justru nyengir bingung. "Dan, kayak lagi beli cabe di pasar ya?"
"Emang kenapa?" Ardan sedikit waspada, takut Agni menyiram pangsit ke wajahnya demi membuatnya sadar.
"Lemes banget mulutnya."
"Gue serius."
"Nggak." Menggeleng, mencoba menghindari mata Ardan. Takut jika lelaki ini tidak sedang bercanda. "Lo jelas-jelas lagi iseng."
"Apa gue juga begini ke anak kos lain, ke perempuan lain?"
Agni tidak bisa menjawab. Kepalanya tiba-tiba pusing mendengar Ardan meracau hal gila.
"Lo udah ada pacar ya?"
"Diem dulu. Gue pusing sumpah."
Ardan diam. Memberi waktu Agni untuk mencerna semuanya. Ini terlalu mendadak tapi Ardan bisa lebih gila kalau tidak mengungkapkan, belum ditambah identitas My Love yang menghantui. Mulutnya sudah gatal bertanya siapa gerangan My Love ini. Tapi begitu duduk, hatinya justru langsung mengutarakan perasaannya. Sulit dihentikan.
"Oke. Gue jawab satu-satu."
Ardan siap mendengarkan. Tetap berusaha tenang. Meski jantungnya sudah kayang sana-sini.
"Gue sedang nggak pacaran sama siapa-siapa."
Ardan meralat. "Bukan pacaran, lo bilang HTS."
"Iyaa, itu. Soal ajakan gila lo tadi—"
Meralat lagi. "Bukan ajakan gila, Agni. Gue ngomongnya sadar, nggak di bawah pengaruh obat apalagi sabu."
"Nggak, nggak. Lo emang kelihatan nge-fly sekarang." Agni hanya tidak sadar jika itu adalah tatapan sayang yang Ardan berikan.
Nge-fly, katanya. Ardan terkekeh. Satu sisi, dia merasa kasihan dengan Agni yang pasti sulit menerima pengakuannya. "Ya udah, terserah anggap gue nyabu atau apa. Tapi lo cukup peka dengan semua kelakuan gue akhir-akhir ini, 'kan? Seenggak pekanya lo, pasti tetep merasa sikap gue beda ke lo."
Agni merenung sejenak. Menggali memori yang bisa dia kumpulkan untuk mencari sikap Ardan mana yang spesial. Beberapa detik. Menggeleng-geleng, mengusir ingatan. Terlalu banyak yang muncul di kepalanya. Bisa gila Agni kalau begini.
"Gue sendiri juga bingung. Udah lewat proses denial yang cukup lama sampai akhirnya beberapa orang tanpa sadar provokasi gue. Lama-lama sadar juga. Capek denial. Terasa ringan ketika gue mau mengakui ke diri sendiri, dan akhirnya bisa mengakui ke lo sekarang."
"Apa yang lo suka dari gue?"
"Nggak tahu."
"Terus kenapa ngaku gini ke gue? Bener cuma iseng, 'kan?"
"Bagi gue mungkin perasaan cuma cukup dirasakan aja, nggak melulu perlu alasan. Dirasakan, diakui, ditunjukkan."
Agni menerima jawaban itu.
"Lo lagi nggak in relationship ...." Ardan mengoreksi. "Maksud gue deket sama siapa-siapa?"
"Nggak ada."
Sebisa mungkin Ardan menahan buncah di dada. Belum saatnya, belum. "Kapan gue akan dapat jawaban?"
"........"
"Agni?"
"Apa?"
Memperbaiki kalimatnya. "Apakah gue akan dapat kesempatan?"
"Gue jawab besok."
"Kapan pun lo siap jawab. Seminggu juga nggak apa-apa."
"Oke. Seminggu."
"Enggak! Jangan, jangaaaan! Besok, lo udah bilang kalau besok. Harus ditepati."
Agni mengatupkan bibir. Bingung harus bereaksi bagaimana. Perutnya sekarang melilit, bukan lagi karena lapar, tapi lelaki di depannya ini berhasil membuat dunianya jungkir balik barusan. Alasan dia keluar dari kamar, sederhana, ingin makan pangsit rebus. Tapi menjadi rumit ketika manusia ini mengutarakan isi hatinya.
"Kalau gue boleh tanya lagi." Ardan menatap Agni lamat-lamat. "Pas lo kemarin kasih tunjuk Whatsapp ke gue, nggak sengaja kebaca nama My Love yang lo pin. Dia ... siapa?"
Agni akhirnya meraih sendok. Memaksa untuk makan sebelum pangsitnya mengembang. "Almarhumah Mama."
Ada kelegaan di hati Ardan. Tapi jawaban singkat itu menyirat kehilangan. Bertanya ragu. "Sejak kapan?"
Lengang. Agni menghentikan sendok di udara.
"Nggak dijawab nggak apa-apa."
"Sejak gue pindah ke kos lo."
***
"Pagi, Abanggggg!" Satu kepala lucu melongok dari pintu toko.
"Pagi. Nggak kuliah?" Ardan sedang membersihkan rak. Dari sudut matanya, sejak Sasa keluar gerbang, dia tahu jika gadis itu akan mejeng di sini.
Sasa dengan rambut dikucir dua kanan-kiri, melangkah riang memasuki toko, duduk dengan gesit di kursi tinggi, meletakkan wadah kecil berwarna merah gliter ke atas meja kasir. "Masuk siang. Aku nebeng kutekan di sini ya, Bang."
Duduk beberapa detik, Sasa langsung merasa ada yang berbeda. "Tumben Abang setel lagu."
"Emang biasanya enggak?"
Sasa memutar duduknya agar bisa melihat Ardan yang membersihkan rak snack. "Mana lagunya Risalah Hati. Emang Abang habis ditolak siapa?"
"Heh! Sembarangan. Amit-amit, Sa."
Sasa mengamati lebih jauh. "Abang kelihatan beda hari ini."
"Gue belum mandi."
"Abang lagi bahagia ya?"
"Tiap hari gue bahagia."
"Nggak mau cerita nih, Bang?"
Ardan berjalan ke meja kasir seraya mengempit kemoceng. "Nanti juga tahu."
Sasa membuka tutup kutek, mengoles kuasnya di ibu jari. Memutar topik. "Kak Sabrina pulang hari ini ya, Bang?"
"He'em." Ardan duduk, mengganti lagu di layar monitor. "Kalian jangan aneh-aneh ya. Biarin Sabrina pulang dengan aman dan nggak perlu bawa trauma apa-apa."
Pindah ke jari berikutnya. "Asal tahu ya, Bang. Kakak-kakak kos tuh kebanyakan gaya aja, aksinya mah nol. Mereka nggak pernah beneran berani labrak atau apa. Gede omong doang."
"Tapi kalau sama gue, ada aja kelakuan mereka."
"Kalau ngerebutin Abang ibarat main survival game, Abang jagoin siapa?"
"Agni."
"Kenapa?"
"Dia nggak ikut geng kalian soalnya."
"Alasan kedua?"
"Kalian sungkan sama dia."
"Ketiga?"
"Dia berani keluar tengah malem demi makan pangsit rebus." Ardan lalu tersenyum sendiri.
Sasa cemberut. Lanjut mengutek kuku. Mendumal pelan. "Aku juga berani kok. Lihat aja kapan-kapan."
***
BangArdanMilikKitaBersama
Eriska: ga usah maksa
Dea: biar muat😭👌
Jessi: mantan pulang hari ini kan?
Ajeng: gitu sih denger2
Dea: mau ngasih oleh2? 👻
Jessi: biarin pulang biarin
Puput: kalo dipikir apa dia ga kena mental liat bang ardan hidup bahagia meski masih jombs, jd ya udah ga usah dijailin
Dea: betul, mantan yg selingkuh tyda akan pernah bahagia
Sasa: ada yg aneh sama bang ardan hari ini
Ajeng: knp? dia makin hawt ya?
Jessi: habis potong rambut?
Puput: nyuci mobil pake sarung?
Dea: 🤤🤤🤤
Eriska: aneh gmn?
Sasa: aku nongki di tokonya setengah jam, bang ardan ada kali nyengir tiap semenit
Dea: pasti mikirin gw☺
Agni: mikirin gw dia
Dea: hei agni ga usah ikutan andaaa 🙂
***
Preview next chapter:
"Gue malu sebenarnya mancing di comberan gini."
"Ini demi kebaikan mental lo, Dan. Nggak apa-apa. Lagian lo juga sih, hahaha, malah nganterin mantan ke stasiun, hahaha."
Selamat overthinking ya. Sini aku temenin. Bab 39 belum diketik dan bisa muncul banyak kemungkinan
🤣😭
Selasa/28.09.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top