Bagian Tiga

Suatu hari Mama pernah bilang;

"Kalau ada perempuan yang bisa angkat galon, terus bisa masang galon ke dispenser yang mesti dijungkir balik itu tanpa tumpah, kamu harus nikahin dia, Dan."

Baru saja Ardan melihat adegan itu dengan mata kepala sendiri. Apa dia mesti menikahi perempuan barbar ini? Ardan seketika menampar pipi sendiri sebelum pikirannya jauh berkelana.

"Udah beres ya?" Ardan berdiri di depan pintu kamar nomor lima.

Sasa menoleh, baru menyadari kedatangan Ardan. "Kayaknya Bang Ardan sibuk, jadi nggak berani manggil lagi. Ini kebetulan Mbak Agni lewat. Jadi sekalian."

"Oh." Ardan menggaruk rambut. "Sori tadi nggak sempat pasangin langsung."

"Nggak apa-apa, Bang."

Tanpa ingin tinggal lebih lama, Agni keluar dari kamar nomor lima setelah galon terpasang sempurna. Lewat persis di samping Ardan begitu saja. Terlihat lelah, baru pulang kerja sepertinya. Kalau sudah mode seperti itu, Ardan cukup tahu diri untuk tidak mengajak ribut.

Sasa yang mengerti hanya mendecak geli. Dia kemudian berseru, lupa bilang tadi. "Mbak Agni, makasih ya!"

Entah dijawab atau tidak, orangnya yang jelas sudah menaiki tangga.

"Dia kerja di berapa tempat sebenernya?" Setelah tidak terdengar suara langkah di tangga, Ardan bertanya.

"Setahuku, dua. Emang kenapa, Bang?" Sasa mengerutkan dahi. "Kalau pulang malam bukannya Bang Ardan jemput dia juga?"

"Kagak. Dia nggak pernah nitip pesen ke Mama minta jemput atau apa. Lagian, yang mau godain juga mikir kali, Sa. Dia kan bukan perempuan." Satu lagi tugas Ardan kalau malam, menjemput penghuni kos yang takut pulang malam karena ada sekelompok pemuda yang mabuk di gang sebelah.

"Aku nggak ngerti kenapa kalian nggak akur. Padahal Mbak Agni tuh baik, Bang. Ya emang kelihatan galak dan judes sih."

"Gue udah setahun kenal dia. Belum lihat tuh jenis kebaikan yang dia lakukan."

Sasa nyengir menunjuk dispenser.

"Ya kalau itu mah yang lain juga bisa."

"Iya, emang bisa, tapi tumpah. Mbak Agni sama sekali nggak tumpah lho, Bang."

... masang galon ke dispenser yang mesti dijungkir balik itu tanpa tumpah, kamu harus nikahin dia, Dan.

Mengacak rambut, Ardan berbalik pergi. Ingat jika toko tidak ada yang menjaga. Kedua adiknya belum pulang sekolah, jadi belum ada yang merusuh. Ana sedang main entah ke mana. Mama menonton televisi sambil mengobrol dengan Mbak Cici yang sedang menyetrika baju.

"Mas Ardan memang belum ada calon, Bu?"

Ardan hendak ke dapur mengambil minum, tapi terhenti di ambang pintu ruang tengah. Bukan bermaksud nguping, tapi telanjur dengar.

"Nggak tahulah, Ci. Aku sebahagia dia aja mau gimana."

"Anak perawan Pak RT sebelah kayaknya naksir Mas Ardan, Bu."

Tertawa. "Anakku memang ganteng, wajib ditaksir."

"Ibu mah gitu."

"Anaknya aja santai kok, Ci. Aku nggak mau maksa-maksa. Umurnya juga belum tiga puluh. Biarin dia bantu aku jaga adik-adiknya dulu."

"Iya bener, Bu. Semenjak Mas Ardan di rumah, Mbak Jingga sama Didit jadi beda."

"Beda gimana?"

"Maaf nih, Bu. Dulu pas Bapak masih ada, mereka nggak bisa jadi diri sendiri. Saya sempat takut kalau mereka tertekan. Maaf, Bu, saya lancang bicara gini."

"Dulu Ardan juga sama kayak adik-adiknya, Ci. Tertekan. Ardan dengan almarhum papanya memang nggak akur, aku kira dia nggak mau pulang. Tapi dia ambil tanggung jawab sebagai anak sulung. Aku bersyukur banget, Ci."

Ardan tidak jadi ke dapur. Sambil menyusut sudut mata dengan ujung kaus, dia kembali ke toko. Mendapati Emil sudah berkacak pinggang di etalase dekat meja kasir.

"Lo habis motongin bawang?"

"Kagak." Ardan menyelinap di celah etalase. "Mau beli apa?"

"Rotinya perempuan."

"Ada di rak. Lo ambil sendiri aja."

"Gue nggak tahu yang ada sayapnya kayak gimana."

"Kan di bungkusnya ada gambar. Nggak usah manja." Mereka seumuran, Ardan tidak perlu menjaga manner di depan orang ini. Mereka sama-sama bobroknya. Bedanya, Emil sudah punya buntut, Ardan belum.

Emil mencari di rak. Malas mengecek satu-satu, akhirnya dia bawa tiga macam pembalut ke meja kasir.

"Harus banget gue jelasin mana yang sayap mana yang bukan?" Ardan sungguh tidak percaya jika bapak satu anak ini, yang jelas-jelas sudah beristri, sekadar membeli pembalut saja tidak becus.

Emil mengangguk sambil tersenyum manis. Ardan tidak sungguhan menyanggupi. Dia melihat bungkus sekilas, mengambil satu dan memasukkannya ke kantong plastik. "Sampai rumah, lo inget bungkusnya. Ntar kalau disuruh beli lagi, bawa aja bungkusnya. Oke?"

"Gue berasa bocah banget anjir." Emil menaruh uang sepuluh ribu di meja. "Kembaliannya buat lu jajan permen."

"Dan." Mama tiba-tiba muncul di pintu penghubung. "Didit harusnya udah pulang kan ya?"

"Mama mau gantiin bentar? Biar aku cari Didit." Melihat jam dinding. Pukul satu. "Harusnya udah pulang."

Mama tersenyum. Melangkah ke meja kasir dan Ardan berdiri. Mengambil kunci motor ke kamar. Sekolah Didit tidak jauh dari rumah, hanya sekitar lima ratus meter. Tapi adiknya itu suka mampir sana-sini. Mama tentu saja cemas, apalagi sedang marak penculikan anak.

Menyisir jalan raya di depan gang kompleks, Ardan menemukan sepeda adiknya di depan toko ikan.

"Kok nggak langsung pulang?"

"Ikannya lucu, Bang." Menoleh sebentar ke kakaknya, nyengir, lalu kembali ke akuarium besar yang berisi ikan-ikan kecil.

Ardan mematikan mesin motor, turun, kemudian mendekat ke sebelah Didit. "Mau beli?"

"Nggak usah. Aku cuma lihat-lihat kok."

Ardan ikut mengamati ikan-ikan yang bergerak lincah itu. "Emang kenapa?"

"Nanti duit Abang habis. Aku sering minta jajan soalnya."

"Beli aja nggak apa-apa."

Didit memberi alasan lagi. Mencoba menekan keinginan sendiri. "Di rumah kan udah ada ikan gede. Nanti kalau aku beli lagi, Mama marah."

"Nggak marah. Nanti kalau Mama marah, Abang belain."

"Ya udah, beliin satu, Bang." Didit menyerah. Telunjuknya mengarah ke satu ikan cupang yang memiliki ekor merah. "Mau yang ini."

Ardan mengacak rambut adiknya. Mengeluarkan dompet dan membelikan dua. Saat ditanya kenapa beli dua, Ardan hanya menjawab asal. "Biar nggak kesepian, Dit."

Urusan menjemput Didit selesai. Anak itu mengayuh sepeda di depan sana. Ardan sengaja melajukan motor sangat pelan. Mengawasi adiknya yang bersikeras membawa ikan cupang dalam plastik itu sendiri sambil bersenandung tidak jelas.

Ardan urung memarkir motor di teras, baru ingat jika harus membayar uang sampah ke Pak RT.

"Abaaanggg! Tungguuu!!"

Mama melongok dari toko. "Dit, kamu bawa apaan itu?"

Sambil menenteng plastik isi ikan, Didit berlari ke abangnya yang berhenti beberapa meter dari rumah.

Ketika Didit sudah sampai di samping motor. "Abang cuma mau ke rumah Pak RT. Nggak usah ikut."

"Aku lupa bilang ke Abang."

Ardan mengernyit bingung. Lalu terjawab ketika Didit memeluk pinggangnya. "Makasih, Bang. Aku bakal rawat ikannya dengan baik."

Ya Tuhan, andaikan Jingga juga begini kelakuannya.

***

Seraya menunggu makan siangnya selesai dibungkus Mpok Jaenab, Agni menatap hansaplas di jempol kiri. Dia tidak ingat bagaimana mendapat luka ini, tahu-tahu ada luka baret. Mungkin ketika membersihkan gelas dari meja, ada gelas yang retak.

"Baru pulang ya, Ni?"

Menerima uluran plastik dan mengulurkan uang. "Iya, Mpok."

"Masih sering pulang malam?" Kebetulan warteg sedang sepi, jadi Mpok Jaenab punya waktu mengobrol.

Harusnya mengambilkan kembalian, tapi malah ngajak ngobrol, Agni kan capek. Harusnya dia langsung tidur saja ketimbang menuruti cacing-cacing di perut. Dijawab pendek biar tidak tanya lagi. "Iya."

"Kamu nggak takut kena goda anak-anak yang mabuk di gang sebelah?"

"Mereka takut sama aku, Mpok."

Mengibaskan tangan. Wajahnya berkerut ngeri. "Minta jemput Ardan, Ni. Buat jaga-jaga aja. Anak-anak kos yang pulang malem pasti minta jemput. Emang belum kejadian-amit-amit deh-tapi tetap meresahkan, Ni."

Kali ini senyum meremehkan terbit di wajah lelah Agni. "Yailah, Mpok. Aku ngomong satu kalimat aja sama dia langsung ribut. Ini pakai acara minta dijemput."

"Mpok heran bener sama kalian. Nggak pernah akur. Ada masalah apa? Ardan itu anak baik, Ni."

"Semua cowok itu berengsek, Mpok. Apalagi Ardan. Lihat aja kalau dia ketawa."

"Kok bisa ketawa kelihatan berengsek?"

"Mukanya itu lho, Mpok."

"Iya, ganteng. Mpok juga tahu."

"Mukanya pun berengsek."

"Ganteng, Agni."

Mbuh.

"Mpok doakan kalian berjodoh."

Sebelum Agni murka pada orang yang tidak seharusnya, dia nyengir dan menadahkan tangan. "Kembaliannya dong, Mpok."

"Diaminkan dulu doanya, baru Mpok kasih kembalian."

Agni memegang kepala dengan kedua tangan, berteriak tanpa suara. Dia hanya ingin segera makan dan bisa tidur. Kenapa orang senang sekali menyulitkan urusannya? Agni ada dosa apa sebenarnya?

"AAMIIN!"

Mulut siapa itu, minta digampar.

"Tuh, Ni, udah dapet restu dari Jingga langsung."

Agni sungguhan berteriak, berbalik pergi. Dia bisa bermutan kalau semenit lagi masih di sana. Dan seakan belum cukup,

"KAKAK IPAR, KEMBALIANNYA BUAT AKU BELI ES TEH YA. MAKASIH."

***

Sabtu/09.01.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top