Bagian Sepuluh
Malam Sabtu yang kelabu. Entah itu langit di atas sana, wajah anak-anak kos yang menonton televisi dengan ogah-ogahan, keduanya sama-sama kelabu. Suram lebih tepatnya.
Apalagi ditambah Jessy yang muncul dengan muka ditekuk.
Dia habis dari rumah Ardan, membaca situasi dari teras saja. Mendengar gelak tawa dan percakapan seru dari arah dapur yang terdengar samar. Lantas dengan lesu memutar badan, kembali ke kos, lapor kalau emak-emak gang sudah menginvasi dapur rumah Ardan. Anak kos tentu tidak punya kesempatan sekalipun hanya men-steples kardus snack. Mau modus apa coba kalau mereka bakatnya tidak jauh dari membuat dapur meledak dan menciptakan kerusuhan.
"Bang Ardan di mana?" Puput bertanya hal yang lebih penting. "Di rumah nggak?"
Eriska menimpali. "Bantuin si Tante deh kayaknya. Bang Ardan kan kalau malem paling nongkrong di depan, jarang banget kelayapan."
"Suami gue gitu emang. Nggak ngelayap. Nggak foya-foya. Anak soleh. Berbakti." Dea bergabung di sofa.
Yang langsung mendapat toyoran di kepala oleh Ajeng. "Iya, dan lo blangsak begini. Nggak usah mimpi."
Puput membuka wadah krim malam yang sejak tadi dia bawa ke ruang TV. Mencoleknya sedikit dan menaruhnya di beberapa titik wajah. "Dahlah, gue mau tidur aja. Mau hujan juga. Nggak ada harapan, nggak adaaa!"
Tiba-tiba gerbang digeser dari luar. Setelah saling pandang singkat, mereka kompak menoleh tanpa dikomando. Menahan napas. Membekap mulut. Merapikan rambut yang mungkin mencuat. Menurunkan kaki yang semula nangkring di atas meja. Membenarkan lengan baju yang tadinya memperlihatkan tali bra.
Sangat besar harapan jika yang datang adalah Ardan. Beberapa sudah komat-kamit merapal doa, berharap wajah ganteng Ardan yang akan mereka lihat.
Tapi ... tapi kok langkahnya terdengar ringan? Bukan langkah gentle seperti yang biasa mereka dengar saat Ardan datang.
"Tante-tante diminta Mama buat bantuin."
Harapan besar itu menggelinding jatuh dan pecah berhamburan. Didit yang muncul di sana. Bukan abangnya.
"Kok Tante sih?!" Puput yang bereaksi pertama.
"Kenapa bukan Bang Ardan yang ke sini, Dit?"
"Abangmu ke mana, Dit?"
"Dit, ukuran sepatu Bang Ardan berapa?"
"Sekalian ukuran baju. Kayaknya M ya, Dit?"
"Mbak, Didit, panggil kami 'mbak'." Eriska memberi penekanan dengan wajah dibuat seramah mungkin. Ini calon adik ipar lho. Jangan sampai dibuat takut.
"Husss, diem, berisik!" Jessy mengibaskan tangan ke teman-temannya. Lalu tersenyum manis ke Didit. "Sekarang, Dit?"
Begitu anggukan kecil Didit tertangkap mata, mereka seketika sigap berdiri dari sofa. Saling injak sebelum terbirit-birit lari ke kamar untuk ganti baju.
"Aaaak, mana krim gue belum rata. Jangan tinggalin gueee!!"
Tidak sampai lima menit, mereka sudah berdiri cantik di ruang tengah rumah Ardan. Berbaris rapi, berlomba memamerkan senyum lebar. Siap menerima mandat. Sementara indra penciuman coba mengendus keberadaan Ardan. Mereka hapal parfum yang digunakan lelaki itu.
Senyum lebar mereka perlahan pudar ketika tidak merasakan tanda-tanda keberadaan Ardan di rumah.
Sukma muncul dari pintu dapur sambil memegang ponsel, sibuk melihat catatan di layar, sampai tidak menyadari kehadiran para anak kosnya. "Eh, sudah lama kalian? Duduk, duduk. Tante minta bantuannya ya. Nggak ngerepotin, 'kan?"
"Siap, Mam—" Langsung kena cubit di pantat. Entah tangan siapa. Ajeng hanya mengerutkan wajah, menahan pedihnya cubitan itu.
"Nggak ngerepotin kok, Tan, sama sekali nggak!"
"Apa sih yang nggak buat Tante."
"Tante kalau butuh apa-apa panggil kami aja."
"Iya, Tante. Jangan sungkan pokoknya."
"Bang Ardan ke mana, Tan?"
"Ardan? Oh, tadi keluar, Tante minta ke toko plastik. Kardus snacknya kurang."
Mereka ber-oh panjang, seperti paduan suara.
"Kalian duduk dulu. Tante ambilkan kardusnya. Bantu ngelipat ya." Sukma menunjuk karpet yang sudah digelar di ruang tengah. Lalu sebelum melangkah ke dapur, "Kalian udah makan?"
"Aku lagi diet, Tante."
"Udah, Tante."
Sasa menjawab paling sopan. "Makasih tawarannya, Tante. Kami sudah makan."
"Tante masak apa hari ini?" Itu mulut lancang Dea yang selalu tidak kompak. Entah itu di grup Whatsapp dan dunia nyata. Sama konsistennya!
"Dea mau makan?"
Jessy merangkul bahu Dea dan meremasnya. Untungnya tidak perlu dilanjut dengan geplakan atau injakan kaki, Dea langsung menggeleng. Menolak tawaran itu. Begitu Sukma menghilang ke arah dapur, Dea menunduk dan mengelus perutnya dengan sedih.
***
Hujan deras ditumpahkan langit. Ardan panik menepi ke halte—tempat terdekat yang bisa dia jangkau. Mau nekat menerabas, dia sadar kalau membawa tumpukan kardus snack yang riskan—begitu basah akan rusak.
Ardan menyugar rambut yang basah dan mengusap telapak tangan ke kaus. Baru menyadari jika Agni ada di sana, duduk di kursi halte. Ardan mengedar pandangan ke sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Hanya mereka berdua. Ini belum terlalu larut, masih jam delapan, tapi halte sudah sepi.
"Baru pulang, Ni?" Ardan yang menyapa lebih dulu. Basa-basi. Daripada diam dan canggung karena dia merasa Agni malas menyapanya lebih dulu.
Sejak Agni punya pekerjaan di dua tempat, mereka sudah jarang bertengkar. Dulu apa sedikit diributkan. Mungkin Agni sudah lelah jika juga harus berdebat dengannya. Ardan sendiri fleksibel. Kalau Agni dalam mode damai seperti yang ditunjukkan satu bulan terakhir, ya tidak apa. Ardan akan bersikap sama. Atau malah lebih baik.
"Yap. Dari mana?" Agni melepas sempurna kabel earphone ketika Ardan duduk beberapa jengkal di sebelahnya.
"Toko plastik."
Setelahnya sama-sama diam. Suara hujan mendominasi. Atap di atas mereka berdebam-debam saking derasnya. Ardan dan Agni sama-sama bersedekap. Menghalau dingin. Apalagi Ardan hanya mengenakan kaus hitam tanpa jaket.
Sesekali Ardan merendahkan kepala demi melihat langit yang pekat. Menebak kapan hujan akan berhenti, atau paling tidak mereda. Dia membawa mantol sih, tapi tidak menjamin kardus yang dia bawa tidak akan basah. Plastik yang membungkus tidak cukup melindungi.
Dia menoleh ke Agni. Tidak ragu ketika melontarkan pertanyaan. "Habis ini lo mau ke mana?"
"Emang kenapa?"
"Tanya doang."
"Pulang."
"Bareng gue yuk."
"Duluan aja. Gue lagi nggak buru-buru."
"Hujannya bakal awet deh." Ardan kembali menatap ke depan, pada bulir-bulir hujan yang besar. Genangan sudah mulai tercipta di depan halte. Ini tinggal menunggu kesialan saja saat mobil lewat dan cipratan air akan mengenai wajah mereka kalau mau bertahan di sini lebih lama.
"Gue bawa mantol kelelawar." Ardan berdeham. "Bukan yang mantol egois."
"Silakan duluan."
"Maksudnya, bantuin gue bawa .... " Ardan melirik ke tumpukan kardus snack di bagian depan motor. "... itu."
Agni mengikuti pandangan Ardan.
"Kalau lo naik di belakang, lo bisa peluk kardusnya biar nggak basah."
"Emang gue harusnya naik di mana? Depan?"
Eh? Ardan tadi bilangnya gimana sih?
Berhasil mengingat, Ardan tertawa sumbang. "Intinya, lo jagain kardusnya. Kalau mau sih. Nggak maksa."
Agni berdiri setelah berpikir beberapa saat. "Oke deh, demi si Tante."
Ardan segera bangkit dan mengenakan mantol. Agni mengambil plastik berisi kardus itu dan mendekapnya di depan dada. Menunggu Ardan selesai dengan mantolnya.
Saat Ardan selesai dan bersiap naik ke motor, dari sudut matanya terlihat mobil yang melaju mendekat dengan cukup kencang. Sekian detik, dia berbalik cepat, merentangkan kedua lengan persis ketika semburan air menerjang punggungnya.
Agni hanya mampu mengerjapkan mata. Lantas buru-buru membuang pandangan ke arah lain karena wajah Ardan beberapa senti di depannya. Baru mengerti kenapa tiba-tiba Ardan menghadang di depannya, merentangkan lengan dan terdengarlah cipratan air.
Menurunkan lengan dan seolah tidak terjadi apa-apa, Ardan segera menyingkir dari hadapan Agni.
Agni mengembuskan napas perlahan, menghilangkan sisa-sisa keterkejutan. Detak jantungnya sempat berdetak lebih cepat selama beberapa saat. Ya, dia hanya terkejut. Dia pikir lelaki itu tadi akan naik ke motor, bukan malah berbalik tiba-tiba.
"Ada tisu, Ni? Kanebonya nggak kebawa." Ardan membuka jok, mencari kanebo dan tidak ada.
"Ada, di tas."
Melihat Agni yang memeluk plastik kardus. "Biar gue ambil sendiri. Di bagian mana?"
Agni berbalik, memudahkan Ardan mengambil tisu di ranselnya. "Paling depan."
Tangan Ardan merogoh ke sana. Cukup dalam. Begitu dia merasakan ada benda yang mirip tisu, dia lantas menariknya. Tapi begitu terlihat ujungnya yang ternyata bungkus pembalut, Ardan buru-buru mengembalikan.
Ardan akhirnya menemukan tisu, menariknya beberapa lembar, lantas dikembalikan dan menutup ritsleting. Lembaran tisu itu digunakan untuk mengelap boncengan yang ikut kena cipratan air. Gumpalan yang sudah basah itu lalu dimasukkan ke lubang dasbor—mungkin mau dibuang nanti di rumah. Kenapa Agni jadi memperhatikan gerakan Ardan begini sih?!
"Masuk ke mantol, nanti sakit. Masih deras soalnya." Ardan menoleh saat merasa Agni duduk agak jauh di belakang.
"Udah sih, cerewet. Yang penting kardus aman."
Ardan melirik ke spion kanan, ada cahaya menyilaukan dari sana. "Belakang ada mobil. Masuk ke mantol kalau nggak mau basah."
Terdengar suara mesin mobil mendekat, saking terburunya mengangkat ujung mantol demi segera melindungi tubuh dari hempasan air, wajah Agni justru menubruk punggung Ardan.
Lebih gila lagi, satu tangannya yang tidak memeluk kardus, bisa-bisanya melingkar di perut lelaki itu—kapan meluknyaaa?!
Siraman air sudah berlalu. Hening dan sedikit canggung. Agni pelan-pelan melepas genggaman di kaus Ardan bagian perut. Menarik tangan dan menyusul tangan satunya, memeluk kardus.
"Pegangan lagi juga nggak apa-apa. Asal nggak grepe ya."
"NGGAK!"
"Iya, denger, nggak usah ngegas." Terdengar kekehan sebelum motor meninggalkan halte.
MOBIL SIALAN!
Oh, salahkan juga genangan airnya!
Tidak. Ini semua salah Ardan yang kenapa harus berteduh di halte!
***
"Tante, Bang Ardan nyasar ya?"
"Beli kardusnya di Papua ya, Tan?"
"Bang Ardan bawa mantol kan, Tan?"
"Menantu idaman Tante kayak siapa?"
"Tan—"
Sukma menatap ruang tengah yang kacau sambil menghela napas panjang. Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh, dengan senyum yang dipaksakan lebar, bertanya. "Belum selesai ya?"
***
Oke. Aku jg punya 2 cast buat Agni. Tapi mau keep sendiri aja drpd kalian tak terima wkwkwkkwkwk kayak biasa, kalau pengin tau ketuk aja dm ig 🤣
Bonus picture!
Cocok nih buat daleman pas ijab, tinggal pake jas 😭😭😭
*mari ngehalu setinggi kahyangannya Mimi Peri*
Minggu/14.02.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top