Bagian Sembilanbelas
"Bang, minta nomor rekening Abang dong."
Ardan melepas headphone dan membiarkannya menggantung di leher. Mem-pause sejenak video di monitor saat Ajeng muncul di depan meja kasir. "Sori, apa?"
Dengan cengiran lebar, Ajeng mengulang. "Mau minta nomor rekening Abang."
"Buat apa?"
"Bayar uang kos. History di mbanking-ku udah nggak ada."
Ardan mencari ponselnya. Membuka note dan mengambil selembar kertas beserta bolpoin.
"Eh, anu, rekening Abang aja."
"Uang kosan langsung ke Mama semua."
"Yaah."
Ardan menatap Ajeng bingung. "Apa bedanya? Rekening Mama milik sejuta umat, rata-rata anak kos juga pakai bank yang sama kayak Mama. Lo juga, 'kan? Kalau ke gue kena biaya admin."
"Kenapa sih rekening kita beda, Bang?"
"Nggak jodoh kali."
"Ih, jahat."
Masih bersabar. "Buat apa?"
"Ya cuma pengin tahu nomor rekening Abang aja." Ditekankan lagi. "Biar tahu doang. Nggak aku guna-guna kok."
Ardan tetap menuliskan nomor rekening Mama di atas kertas kecil itu.
"Ehm, siapa tahu, Abang nanti berniat nafkahin aku." Ajeng lalu cengengesan.
Ardan selesai menulis deretan angka, mendongak. "Pertama, gue nggak berniat nyari Sugar Baby. Kedua, lo udah nggak masuk kategori itu, lewat umur lo."
"Abang kok mikirnya jauh sih." Sambil manyun.
"Ya emang apa lagi?"
"Istri, Bang, istri."
Ardan tersenyum lebar, menyerahkan kertas. Dengan matanya mengisyaratkan agar Ajeng segera enyah sebelum dirinya murka.
Telah pergi satu cobaan, selang semenit datang yang kedua. Ardan benar-benar melepas headphone dan meletakkannya di meja. "Apa, Dedek Sasa?"
Sasa nyengir lebar. "Aku dah mandi, Bang."
Ya terus?
"Mau ngapelin Abang."
"Jingga lagi nonton drama Korea tuh. Gabung aja."
"Kan aku sama Jingga nggak akur, Bang." Sasa duduk di kursi tinggi itu, merasa tidak diusir. "Abang udah denger belum?"
"Apa?"
"Anak kos kompleks sebelah, kemarin malam pas pulang ketemu sama ekhibisi. Serem aku bayanginnya, Bang!" Sambil bergidik dan memeluk dirinya sendiri.
Ardan mengoreksi. "Ekshibisionis?"
"Iya, itu!"
"Terus pelakunya gimana?"
"Habis anu, gitu, terus kabur."
"Ck. Ada-ada aja sih." Tapi toh Ardan jadi kepikiran juga. "Yang belum ada di kos siapa?"
Sasa sedang mengingat. "Kak Eriska, Kak Dea, Kak Jessy, Kak Winna—eh tapi Abang tenang aja. Tadi di grup mereka bilang balik jam tujuh. Naik ojol. Jadi aman sampai depan kos."
"Agni?"
"Ha?"
"Pulang jam berapa dia?"
"Eng, nggak tahu."
"Tolong dong chat dia, tanyain pulang jam berapa. Takutnya gue udah ketiduran ntar malem."
"Kenapa Abang nggak tanya sendiri aja?"
Skakmat. Ardan ternganga. Agak tergagap berkilah. "Y-ya lo kan temennya."
"Abang emang bukan temennya?"
"Lo merem selama ini?"
"Tahu sih, kalian suka berantem. Tapi Abang peduli sama dia."
"Nyebelin gitu dia tetep anak kosnya Mama, gue ikutan tanggungjawab kalau dia kenapa-kenapa."
"Abang nggak capek apa tanggungjawab ke kami. Berduapuluh lho, Bang."
Ardan meniup anak rambut yang jatuh di dahi. Dia pun membenarkan letak bando hitam milik Jingga yang dia serobot tadi.
Melihat apa yang dilakukan Ardan, membuat Sasa berkomentar. "Abang udah gondrong aja."
"Iya, besok mau potong gue."
"Jangan besok, Bang. Cakep kalau agak gondrong begini. Apalagi sama kumis tipis. Hehe."
Ardan menatap Sasa sedikit keki. "Lo imut dan gemesin, nggak ada temen kuliah yang naksir?"
"Adaaaa."
"Masih PDKT?"
"Heum, ya gitu." Sasa turun dari kursi. Merasa gagal modus dan malah diserang balik. "Ya udah, Bang. Balik ya."
"Eh, bentar."
Mata Sasa langsung berbinar. Tolehan kepalanya pun berlebihan sekali. Bisa dia ikut casting iklan shampoo kapan-kapan. "Yaa?"
"Sebelum lo balik, chat Agni dulu."
Sasa merasa terjungkal. Tanpa menggerutu dia mengambil ponsel dari saku celana. Menuruti titah Ardan. Balasan Agni pun datang selang satu menit.
"Jam berapa katanya?"
"Sebelas."
"Oke, makasih, Sasa. Lanjut balik kos ya. Jangan duduk lagi."
Habis manis sepah dibuang!
***
Ardan sungguhan menunggu. Berbekal kopi kalengan, dia duduk di dipan bawah pohon mangga. Membawa lotion anti nyamuk pula. Kalau hujan turun, baru dia akan pindah ke teras.
"Woi, sendirian aja, kayak jomlo!"
Telinga Ardan sudah tebal akan hinaan Emil.
"Lo denger soal ekshibisionis?"
Menepuk dada dengan jemawa. "Ya ampun, itu gue, Dan!"
Ardan menabok pipi Emil tanpa ragu.
Sambil memegang pipi kanannya yang sakit, Emil menjawab serius. "Bini gue cerita tadi pagi. Meresahkan banget. Apalagi buat lo yang Bapak Kos gini. Dah pada balik belum anak-anak perawan lo?"
"Kurang satu."
"Yeah! The one and only, pasti Agni!" Emil berteriak ala anak metal. Tapi buru-buru berdeham, ada yang lebih penting. "Terus lo ceritanya lagi nungguin dia?"
Ardan menggumam seadanya. Mengambil gitar dan memangkunya. Ana sudah turun dari pangkuannya setelah melihat katak kecil melintas. Katak yang malang itu sedang menjadi bulan-bulanan Ana. Kadang disepak, kadang dilindas dengan kaki gembulnya. Kalau sudah K.O., baru ditinggalkan.
"Gue boleh tanya serius?"
"Tanya aja."
"Tapi ntar lo marah."
"Tergantung seberapa kurangajar pertanyaan lo."
Membusungkan dada, mengatakan dalam satu tarikan napas. "Lo suka kan sama Agni?"
Petikan jemari Ardan di senar, meleset. Membuat pick terlepas dan jatuh ke aspal. Tak lekas menjawab, Ardan malah sibuk mencari pick-nya. Emil sampai geregetan. "Itu di sebelah sendal lo, Zaenuddin. Sengaja banget mau ngulur waktu."
"Hak gue mau ngejawab apa nggak." Ardan sudah menegakkan tubuh.
"Jujur aja ke orangnya. Keburu dia pindah baru tahu rasa lo."
"Emang dia mau pindah kata siapa?!"
"Sabar." Emil mengelus sebelah dada Ardan. "Kan misalnya. Makanya, mumpung orangnya belum ada tanda-tanda pindah, gebet!"
Ardan diam-diam membenarkan kalimat Emil. Eh, sama artinya dia juga membenarkan perasaannya dong? Suka ke Agni? Hahahaha nggak mungkinlah!
"Hujan, gue balik ya!" Emil melesat dari dipan. Ngacir pulang sebelum rintik membesar.
Ardan juga bangkit, menghampiri Ana. Satu tangan memeluk gitar, tangan lainnya mendekap Ana. Berpindah duduk di teras. Mengetuk layar ponsel dua kali. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas.
Baru duduk beberapa menit, Ardan membawa Ana masuk ke rumah dan mengambil payung besar. Menaikkan tudung hoodie-nya, mengembangkan payung dan mulai melangkah. Mungkin dia bisa menunggu Agni di halte.
Hujannya tidak terlalu deras, tapi cukup membuat basah aspal dengan cepat. Di kanan-kirinya sudah sepi. Semua pintu sudah tertutup. Padahal belum terlalu larut. Mungkin karena adanya ekshibisionis yang beraksi dan hujan, membuat orang ingin tidur lebih cepat.
Ardan tinggal beberapa langkah dari gapura. Matanya menyipit saat melihat orang memakai mantel hitam. Menghadap ke tong sampah besar, membelakangi Ardan. Anehnya, orang itu mengenakan helm. Di sekitar situ padahal tidak ada motor yang terparkir.
Sama sekali tidak gentar, Ardan justru hendak menyapa. Kan siapa tahu dia memang tetangga gang. Ardan menelengkan kepala. Tapi wajah itu tertutupi kaca helm.
Ardan menghentikan langkah saat orang itu tiba-tiba berbalik. Dengan gerakan cepat orang itu menyingkap mantel yang dia kenakan. Dan tebak apa yang kini terpampang di depan Ardan.
Seketika darah berkumpul di ubun-ubun, Ardan lancar ketika memaki. "WOI GUE LAKI ANJIIIIR! NGAPAIN LO PAMER BEGITUAN KE GUE. KECIL AJA BELAGU LO!"
Orang itu melesat pergi setelah sadar jika salah target. Terbirit-birit. Mungkin juga takut Ardan akan berteriak lagi dan membangunkan orang-orang.
Ardan memang tidak berniat mengejar. Dia sibuk memegang dadanya dan berjongkok. Menormalkan detak jantungnya akibat kaget barusan. Bukannya dia takut, tapi lebih ke kaget. Beneran! Mimpi apa dia semalam harus bertemu dengan orang sinting yang menunjukkan alat vital ke Ardan yang notabene juga lelaki.
Belum normal detak jantung Ardan, beberapa saat kemudian terdengar langkah mendekat. Dari bayangan yang tercipta di aspal, seseorang itu menggunakan mantel. Ini orang mau apa lagi astaga?!
Sebelum sebuah sentuhan mendarat di bahunya, Ardan berniat berdiri, tapi saking cepatnya, dia justru terjengkang. Terduduk di aspal yang basah. Dia pun mendongak dan berteriak. "MAU APA LAGI LO HAH?!"
Sedetik. Dua detik. Eh kok?
"Lo ngapain?"
Ardan menunduk, memegang dadanya lagi dan menggerutu pelan. "Sialan, gue jantungan dua kali!"
"Apa lo bilang?"
"Bantuin gue berdiri." Ardan mengulurkan tangan kirinya. Yang kali ini tanpa tarik urat, langsung dibantu Agni.
"Tangan lo dingin banget. Habis ketemu hantu?"
Ardan melepas tangannya dan menyembunyikannya di saku hoodie. Mereka pun berbalik, melangkah pulang bersisihan. "Lo kenapa pake mantol sih?"
"Nggak ada payung. Ini aja dipinjemin temen."
"Beli kek, payung kecil yang bisa ditaruh di tas. Di toko gue ada."
Agni memajukan kepala agar bisa melihat wajah Ardan. "Lo beneran ketemu hantu?"
"Diem."
"Terus ngapain lo malem-malem di depan gapura?"
"Diem."
"Gue masih tanya baik-baik ya. Jangan bikin gue marah."
Ardan berhenti dan menghadap ke Agni. "Harusnya gue yang marah, Agni!"
"Emang salah gue apa?" Dengan wajah tanpa berdosa.
Tangan kanan Ardan memegang kepala. Memekik tanpa suara. Agni tanpa terduga mengambil tangan itu dari kepala Ardan. Masih terasa dingin. Agni dengan sadar menggenggamnya.
Kehangatan itu menjalar ke pipi Ardan yang tiba-tiba terasa panas. Ardan ingin mengumpat dan mengempaskan tangan Agni tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ardan balas menggenggam. Kok bisa sih tangan Agni terasa hangat padahal hujan?
"Lo mau denger?"
Agni mengangguk.
"Awas ketawa."
"Nggak akan."
Ardan bercerita singkat. Lantas seketika Agni terpingkal sambil memegangi perut dengan tangan yang lain.
"Senang kan lo tahu gue dilecehin?"
Agni sampai membungkuk saking kewalahan dengan tawanya. Di antara gelak tawa, Agni berkata. "Gue harusnya dateng lebih cepat biar bisa lihat langsung."
Untuk sejenak, Ardan membiarkan hingga tawa itu reda.
"Udah ketawanya?"
Agni berdiri tegak dan berdeham. Dia pun melepas tangannya dari Ardan. Seakan baru sadar jika sudah menggenggamnya terlalu lama. "Sori, ini bukan hal yang bisa dibercandain. Harusnya gue nggak ketawa—huffftt." Menyemburkan tawa lagi. "Tapi berhubung ini lo yang ngalamin, gue jadi merasa lucu daripada prihatin."
"Empati lo emang nol besar." Ardan kembali berjalan.
"Tapi makasih." Agni menyejajari.
Ardan pura-pura tidak mendengarnya dengan tetap melangkah dan tidak menoleh.
"Lo mau repot-repot dan sampai kayak gini, demi jemput gue."
"Siapa yang bilang?!" Ardan padahal tidak menyebutkan bagian dia hendak menjemput Agni.
"Sasa."
Meninggalkan Agni di belakang, Ardan berjalan cepat. Ketika Agni tidak juga terdengar menyusul, Ardan memelankan langkah, setengah menoleh.
Agni masih berdiri di tempatnya sambil tersenyum manis. Serangan jantung ketiga! Sungguh sialan!
Lain di jantung, lain di mulut. "Malah nyengir. Buruan! Hujannya makin gede!"
***
Bentar, bentar. Ini kenapa bermunculan kubu tandingan #ArdanSasa? 🤣
Yaqin mau menggulingkan kubu #ArdanAgni? 😝
Senin/22.03.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top