Bagian Sebelas


Ardan: malam, Girls

"BANG ARDAN CHAT GUA!"

Jessy meraup wajah Ajeng. "Chat di grup, Oncom!"

Ardan is typing....

Tangan-tangan langsung kelabakan mengambil ponsel masing-masing. Mata mereka lalu fokus memelototi grup 'Kos Kenanga'. Mengabaikan sinetron yang sejak tadi mereka tunggu.

Dea: malam, Boy 😉

Semua sontak menatap ke Dea dengan sinis. Beberapa langsung mengumpat sebelum kembali ke layar ponsel.

Ardan is typing....

"Kok lama sih? Mau ngetik apaan, Sayang. Nggak sabar nih."

"Ngetiknya sambil mandi kali ya. Jadi sabunan dulu."

"Atau lagi keramas."

"Pasti keramasnya merem."

"Sok tahu."

"Gue keramasnya merem soalnya."

"Gue melek!"

"Aduduh, otak gue mulai travelling bayangin dia mandi!"

"Mandinya udah tadi sore kali, Kak." Sasa menimpali polos.

"Ngetiknya sambil makan nasi padang nih. Tangan kiri, jadinya agak lama." Puput menjilat bibirnya sendiri. "Jadi pengin nyuapin pake tangan."

Ardan: besok pagi jam 7 air pam mau dikuras. jadi pastikan mandi sblm jam 7 yaa. trims!

Jemari-jemari mereka berlomba mengetik balasan.

Ajeng: sisp, banh❤

"BEGO GUE TYPO!"

Puput: trims, bang, udah diingatkan🤗

Jessy: noted bang 👌

Eriska: jgn begadang ya bang😊

Ajeng: bang ardan dah makan malam?

Sasa: thanks bang ardan 🙏

Ayuk: oke, thx dan

Dea: misal bangun kesiangan boleh numpang mandi lg di rumah bang ardan?

Ajeng menoleh cepat ke Dea. "ANJIR! Kenapa gue nggak kepikiran ya?"

"Brilian lo, De!"

"Oke, besok gue bangun siang aja! Minggu bebas gue, nggak ke mana-mana."

"Eh bener, seinget gue rumah doi pake sumur bor. Jadi besok aman airnya."

"Gue mau hapus chat gue, udah dibaca belum ya?!"

Jemari mereka lincah mengetik lagi di layar, tinggal menekan ikon send-

Jingga: GA BOLEH

"Yee nih bocah!" Jessy mendecak sebal.

"Abangnya malaikat, adeknya kayak setan!"

Jingga: mba agni boleh tp

"AGNI LAGI AGNI LAGI."

"Lama-lama Agni gue santet."

"Hati gue masih perih lihat kemarin dia pulang sama Bang Ardan sementara kita nyeteples kardus doang!"

"Udah boncengan, semantol pula! HAH!"

"Apa sih hebatnya Agni?"

"Cantik doang tapi jutek buat apa."

"Udah, diem, nggak perlu dilanjutin. Hati gue berdarah lagi."

"Hati gue udah nggak berbentuk."

"Tauk ah, gue mau tid-"

Ardan: boleh @Dea

Wajah-wajah kesal dan omelan mereka seketika terhenti. Berganti dengan mendekap ponsel di dada. Tersenyum kelewat lebar. Berharap pagi cepat datang.

***

"Gendongin anak gue bentar dong, Dan."

Bulan secara tiba-tiba dijejalkan ke lengan Ardan. Padahal niatnya hanya menyapa sebentar lalu membuka pintu toko. "Lah?"

"Gue kebelet."

"Bapaknya?"

"Belum bangun." Rena sambil mendumal, meninggalkan halaman depan toko Ardan. "Kebo banget emang."

Bayi berusia setahun setengah itu nemplok anteng di lengan kiri tubuh Ardan. Mukanya sedikit belepotan. Dengan ujung kausnya Ardan mengelap sisa makanan di ujung bibir Bulan. Tadi pasti sarapannya sambil diajak jalan-jalan. Dan kebetulan sampai depan rumah Ardan, emaknya kebelet. Oh bagus sekali.

Ardan membenarkan gendongan Bulan dan mengajaknya ke warteg Mpok Jaenab. Bulan mengoceh tidak jelas dan dijawab Ardan. "Iya, Lan, harum ya, Mpok Jaenab masak ayam goreng nih. Kita samperin yuk."

Sampai di warteg, ada beberapa anak kecil yang mendekat. Tertarik untuk menjawil pipi gembul Bulan, memencet lengannya yang empuk, mengajak bicara meski jadinya ngawur sekali. Bulan terkekeh-kekeh. Hingga kemudian, ada yang iseng ingin menyuapi Bulan mendoan.

"Eh, eh, jangan dong. Bulan belum bisa makan itu." Ardan cepat menghalau dengan telapak tangannya.

Tapi Bulan di pangkuannya mulai rewel. Menangis ketika mendoan dijauhkan dari hadapannya. Mpok Jaenab memutar tubuh, mengalihkan perhatian dari wajan besar berisi ayam goreng.

"Aduh, Mpok pengin gendong, tapi nanti ayamnya gosong."

"Si bapak ke mana, Mpok?"

"Beli ikan lele belum balik-balik."

Bulan lanjut rewel meski Ardan sudah puk-puk lengannya.

"Mau gorengan?"

Rewelan itu pelan mereda.

"Oke, oke. Kayak dah ngerti gorengan aja kamu." Ardan menarik selembar tisu, meletakkan satu pisang goreng di sana. Tangannya bersih kok tadi. Sebelum Bulan menangis kencang, Ardan menyingkirkan bagian tepung dan mencuil pisang dalam ukuran kecil. Menekan-nekan di jari hingga halus sebelum menyuapkan ke bibir Bulan yang sudah terbuka.

"Udah cocok jadi bapak kamu, Dan. Tinggal nyari istri terus punya anak."

Menyuapi lagi. "Ngomongin istri enteng banget sih, Mpok. Padahal kan nggak semudah itu nyari yang cocok."

"Cocok itu dibentuk, bukan dicari. Coba Mpok tanya, kamu mau nyari pacar apa istri?"

"Kalau bisa langsung istri aja. Aku maleslah Mpok ngedrama pacaran."

"Udah khatam?"

"He'eh."

"Emang yang di Bandung putus kenapa? Gara-gara lodisasyensyip?"

"Dia-nya selingkuh, Mpok."

"SUMPAH?"

"Ya bisa jadi gara-gara LDR sih. Nggak tahu juga ah."

"Nggak bisa apa, dimaafin. Namanya juga manusia. Pasti ada khilafnya, Dan."

"Dia selingkuh dua kali, Mpok, selama pacaran empat tahun sama aku. Ngaku sendiri orangnya. Ya aku bisa apa. Biar pun cuma dua kali, aku tetap nggak bisa nolerir. Kalau dikasih maaf, paling juga diulangi lagi."

"Ya udah, cari jodoh yang dekat-dekat aja."

"Niatnya begitu, Mpok."

"Tapi jangan mau sama anaknya Pak RT sebelah."

"Emang kenapa?"

Mengibaskan tangan secara berlebihan. "Bapaknya medit!"

Ardan hanya tertawa pelan.

"Anak-anak kos nggak ada yang nyantol satu aja?"

Bulan mendadak rewel karena sejak tadi Ardan tidak lekas menyuapinya lagi.

Mpok Jaenab mencari piring besar untuk wadah ayam, sambil menunggu Ardan menjawab. Seorang pembeli juga datang. Jadi percakapan mereka terjeda sedikit lama.

"Mpok tanya apa tadi?"

"Anak-anak kos nggak ada yang menarik perhatian?" Pertanyaan sedikit diganti meski konteksnya tetap sama.

"Ada sih."

Mpok Jaenab melempar serbet, menghentikan gerakan mengelap piring. "SIAPA?"

"Geng Rusuh."

"Jangan bercanda sama Mpok!"

"Ya gimana, aku tiap hari berurusan sama mereka mulu. Adaaaa aja masalah."

"Maksud Mpok yang menarik perhatian secara sepesial gitu loh, Dan!"

Menggaruk pelipis dengan kelingking karena ingat jika jari yang lain sudah belepotan pisang. Sementara tangan kirinya digunakan untuk menyangga Bulan.

"Mereka cantik-cantik," komentar Ardan. "Mpok Jaenab juga cantik."

"Kenapa jadi bawa-bawa cantik. Jangan mengalihkan!"

"Yaelah, Mpok, Mama aja nggak pernah nanya gitu."

"Makanya biar Mpok yang nanya." Berdeham dua kali. "Agni ya?"

"Lah, kenapa jadi Agni sih." Ardan geleng-geleng saja. Lalu terkekeh tak habis pikir.

"Mpok juga aneh, kenapa jadi nyebut Agni ya." Mpok Jaenab mengerucutkan bibir. Meraih serbet lagi, lanjut mengelap piring. "Soalnya kalian lucu aja gitu."

"BANG ARDAN, KITA NUMPANG MANDI YA. KESIANGAN NIH. AIRNYA DAH KEBURU MATI."

Dibalas Ardan dengan sahutan pendek.

Mpok Jaenab melirik jam dinding. Pukul 06.30. Mencibir seketika. "Sinting mereka!"

Ardan mengelap bibir Bulan dengan tisu. Ikut menatap jam dinding.

"Ini alasan kenapa Mpok mendukung Agni."

"Apa?"

"Dia nggak mungkin kayak mereka."

***



Jackson with children! ❤❤❤

Senin/15.02.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top