Bagian Limapuluh Tiga

Ayang Ardan

Jessi telah menambahkan Agni ke grup.

Dea: WKWKWKWKWKWKWKKKK

Eriska: WKWKWKWKWKWKWKKKK (1)

Ajeng: WKWKWKWKWKWKWKKKK (2)

Puput: WKWKWKWKWKWKWKKKK (3)

Sasa: WKWKWKWKWKWKWKKKK (4)

Agni: paan

Eriska: ada yg mau nyuci kaki lo @Agni

Ajeng: ada yg mau sungkem cium kaki

Dea: ada yg ngarep jd kakak ipar /uhuk/

Agni: nama grupnya kurangajar ya

Sasa: aku yg ganti hehe

Agni: 😌

Jessi: sasa bangetan lo ya
Jessi: ganti buruan!

Eriska: ada yg jadi penjilat nich

Dea: siap2 mau nyuci kaki nich

Ajeng: ambil baskom air sm handuk dulu kaka

Sasa telah mengubah subjek dari "Ayang Ardan" menjadi "Sugar Ardan"

Agni melepas mata dari layar demi melihat cowok ganteng yang sering dijadikan khayalan babu oleh Geng Rusuh, lalu melirik abangnya sendiri yang duduk di sebelah Ardan. Dua manusia yang kompak makan tanpa bicara apa-apa.

Ponselnya kembali berdenting.

Jessi: nama abang lo siapa? @Agni

Dea: njirrrr jessi halilintar angin ribut terabassss

Agni: paijo

Sasa: 😂😭🤣

Jessi: ditanya baik2 juga 😁 @Agni

Dea: najis lu jes😌

Ajeng: emot senyum lebar kalo dipake jessi jd najong yak🤣

Eriska: petrossssss

Jessi: terus gw cocok pake emot apa?!

Dea: nih 🐍🐍🐍🐍🐍🐍

Jessi: BGSD

Dea: agni, sudi lo punya calon ipar kasar gitu?

Jessi: @Dea tunggu gw balik kos

Ajeng: hayolohhh siap2 jadi dea geprek 🤣

Malas meladeni lagi, Agni meletakkan ponselnya di meja dalam keadaan tertelungkup. Melupakan isi grup barongsai sesaat dan juga nama grup yang mendadak membuatnya murka. Belum ditambah abangnya juga dibawa-bawa.

Baru saja memegang garpu, ada tangan yang dengan semena-mena menyendok satu bakso dari mangkuknya.

"Ini bakso halus, kamu nggak suka biasanya."

Kronologi kenapa mereka bertiga bisa satu bangku adalah dua manusia yang kompak tanpa janjian menjemputnya pulang kerja, yang tentu saja diwarnai drama Agni harus bonceng siapa. Berbekal status, Rizal menang telak tanpa baku hantam.

"Bang, mau aku kenalin ke anak kos?"

Rizal menatap ngeri adiknya, terlebih karena kunyahan bakso yang belum sempurna nyaris nyelonong masuk tenggorokan. Ardan di sebelahnya sigap menepuk punggung itu sebelum kakak iparnya 'lewat'.

"A-apa?"

"Siapa?" Ardan ikut bertanya.

"Jessi."

Ardan menahan tawa dengan lengan, sesaat sebelum kena lirik. Dia kemudian diam saja, menahan komentar demi mendengar respons Rizal selanjutnya.

"Gimana tuh orangnya? Cantik?"

Jiah, Ardan sudah tebak akan begitu.

"Cantiklah, Bang. Cuma sifatnya aja yang gitu. Tuh, Ardan udah khatam."

Rizal menoleh ke Ardan. "Mantan lo?"

"Nggak, Bang. Aku macarin anak kos cuma Agni doang." Kalem sekali jawabnya.

"Kenapa milih Agni?"

Lah? Kok gini? Kenapa jadi interogasi dadakan? Tadi bahas Jessi, 'kan?

"Karena adik gue cantik atau apa?"

"Adiknya abang nyebelin. Justru karena nyebelin itu, jadi nempel mulu di otak."

Rizal manggut-manggut. "Betah pacaran sama dia?"

"Dibetah-betahin ajalah, Bang." Nadanya terdengar geli. "Telanjur sayang ini."

Reaksi Rizal juga sama, meski di depan mereka, Agni sudah memanyunkan bibir. "Agni belum pernah serius sama cowok. Bikin dia bucin, Dan. Ini anak kebiasaan dibucinin."

"Boleh ngajak Agni nikah tahun ini, Bang?"

Spontan tapi Agni juga tidak gimana-gimana. Mungkin karena terbiasa mendengar Ardan membawa-bawa kata nikah, terkadang seperti candaan, terkadang serius.

Rizal terhenyak. "Berani juga lo ya. Agni udah cerita soal keluarga?"

"Udah."

"Lo bisa terima?"

"Terima, Bang. Kenapa nggak?"

Agni menambahkan. "Dia bahkan udah aku ajak ke rumah, Bang."

"Ketemu Papa?"

Mimik wajah Agni sempat berubah. "Rumah kita."

"Ah, rumah." Rizal mendesah, lalu geleng-geleng. "Yang kayak gini lo ajak HTS, Ni? Keterlaluan emang."

Merasa di atas angin, Ardan pun menimpali jemawa. "Tuh, dengerin, Ni. Yang kayak aku gini wajib dijadiin suami."

Agni terdiam kalah. Atau kalau dia merespons pun, tetap disudutkan. Percuma membela diri. Tapi satu hal, dia tidak bisa memungkiri perasaan senang sekaligus lega melihat abangnya bisa cepat akrab dengan Ardan. Dia suka-suka saja kalau besok dijemput begini lagi. Agni nyengir sendiri. Lalu memikirkan akan mampir ke warung mana besok.

***

"Hari pertama kerja gimana?" Ardan bertanya hal yang belum sempat dia tanyakan sore tadi.

Malamnya, mereka duduk di dipan bawah pohon mangga. Hanya berdua. Pukul sembilan kurang. Agni sedang menunggu pesanan makan malamnya via ojol. Kalau Ardan sudah di sana sejak selepas Isya, setelah mencari Ana yang main lupa waktu. Hampir dua jam hanya mengelus badan Ana sambil merokok. Sisanya, melamun. Dan sontak tersenyum lebar saat yang menggeser gerbang kos adalah Agni.

"Belum ada yang usil." Agni berjengit karena makhluk berbulu yang sedang dipangku Ardan tiba-tiba meluruskan salah satu kakinya dan kukunya mengenai punggung tangan Agni.

"Berharap diusilin?" kekehnya.

Sambil menangkap satu kaki Ana, mengayun-ayukannya. "Aku realistis aja. Semua tempat kerja pasti ada aja manusia yang begitu. Rata-rata penjilat atau nggak yang mentalnya kepiting."

Ana berontak tak suka, minta dilepaskan. Setelah kakinya lepas dari Agni, dia bergelung makin manja di pangkuan Ardan sambil melengos. Ini buntelan kentut tahu siapa lawan di masa depannya. Calon perebut babunya.

"Tantangannya justru di situ ya." Ardan mengangguk setuju.

"Hunger Games versi alus."

"Lihat sepak terjangmu ngadepin Geng Rusuh sih, aku percaya drama di lingkungan kerja bisalah diatasi."

Agni memasukkan tangan ke saku hoodie. Gerakan yang menarik perhatian Ardan, dia tadi sudah gemas setengah mati melihat Agni yang keluar dari kos dengan celana kulot panjang dan hoodie yang membungkus sampai kepala. Tudungnya dinaikkan lalu tali di kedua ujungnya ditarik maksimal hingga membentuk sesuai wajah. Gemesnya tak tertolong lagi. Ardan pengin gigit pipi Agni jadinya. Tidak, ini tidak berani dia suarakan, takut kena geplak.

Tak lama, datang Emil sambil membawa sekotak martabak telur. Tanpa sungkan duduk di tengah, memisahkan Ardan dan Agni. Ardan tak rela melihat Agni yang bergeser menjauh.

Emil terbahak menyadari tatapan kesal Ardan padanya. "Kenapa? Nggak ikhlas gue recokin?"

"Nanya lagi," dumel Ardan. Tapi dia juga yang pertama mencomot potongan martabak. Dia juga menawarkan ke Ana berupa cuilan kecil tapi makhluk berbulu itu mendadak lompat dari pangkuan Ardan ketika melihat binatang yang bergerak di aspal. Tak menunggu lama, Ana langsung menyergap. Berlarian ke sana kemari mengikuti binatang yang sepertinya jangkrik.

"Pacaran di mana kek, pacaran di mari. Ditemenin nyamuk-nyamuk, dighibahin setan, diintipin kodok."

"Lo kodoknya." Agni menyahut.

Emil tertawa memyebalkan, bukannya tersinggung.

Yang ditunggu Agni akhirnya datang. Lebih tepat disebut snack karena ini takoyaki, telur gulung, bakso goreng dan cireng bumbu rujak. Agni tak membawanya pulang ke kos, melainkan dimakan di sana. Emil yang paling semangat membuka bungkusan satu per satu.

"Lah, gue kira nasi atau apa. Ini mah jajanan. Lo mana kenyang, Ni? Bakso tadi sore mana kenyang." Ardan berpindah ke sebelah Agni, memberi tempat empat styrofoam itu, bergabung dengan kotak martabak tadi. "Bawa masuk kos aja gih. Ini ntar disikat Emil semua."

"Udah, biarin. Nggak habis sendiri gue."

Emil lebih memilih berkomentar lain. "Yaelah, modus banget, Maszeeeh. Lo gesernya ke tepi kan bisa, malah ke tengah. Sengaja pengin nempel manja?"

"Terserah gue."

Tak cukup Emil, datanglah dua manusia lainnya. Edo dan Saiful. Mereka sudah jarang nongkrong belakangan, mungkin lebih sering bergabung dengan gang sebelah. Ini karena tercium bau makanan hingga ke rumah mereka, jadilah mereka di sini. Cengar-cengir minta dibagi makanan.

"Yok, duduk. Makan, makan. Syukuran Ardan nih." Emil dan mulut usilnya.

Edo mengambil satu tusuk telur gulung. "Mau nikah lo, Bang?"

"Aamiin."

"Kapan, Bang?" Saiful menimpali.

"Mau di gedung atau rumah?" Edo mengibaskan tangan. "Terserah di mana aja. Yang penting wajib dangdutan, Bang. Kangen nyawer."

"Halah, bacot lo. Emang punya duit buat nyawer?" Emil lupa berkaca ke diri sendiri.

Agni melirik teman-teman nongkrongnya Ardan. Berbeda dengan Emil, mereka terlihat lebih muda dan mukanya masih polos-polos. Meski urusan mulut nyablak tak jauh berbeda dengan Emil.

"Calon lo anak mana, Bang?" Bisa-bisanya Saiful bertanya. Merem kali matanya. Emil gemas memegang kepala Saiful yang perlahan dia tolehkan ke seseorang di sebelah Ardan.

"Lihat baik-baik. Nih cewek galak nggak mungkin mau di sini gabung sama kita kalau dia bukan calon ibu negara-nya Ardan."

Saiful dan Edo kompak terbatuk.

"Pada kenapa? Biasa aja ngeliatinnya." Agni nyengir keki.

"Nih cewek yang saben hari berantem sama Abang, 'kan?" Edo menunjuk Agni, tak main-main tangannya pun langsung kena pukul Ardan. Telunjuknya dia turunkan cepat-cepat sambil mengaduh.

"Sumpah, Bang, demi apa?" Saiful menganga tak percaya. "Bang Emil bilang kalau lo balikan sama mantan yang di Bandung."

"Ngghakh. Ngghakhhh." Sangkalan yang tidak tepat waktu karena mulut Emil sedang menampung satu takoyaki utuh, sialannya masih panas jadi belum berani dia kunyah.

"Lo ngomong gitu?" delik Ardan padanya.

Emil hanya bisa mengibas-ngibaskan tangan di depan dada.

Agni tak mau ikut-ikutan, fokus mencomoti berbagai snack di depannya sampai kenyang, membiarkan Ardan menyeberang untuk mencekik Emil. Setelah puas, kembali lagi ke sebelah Agni.

"Lo nggak doyan?" Agni menyadari Ardan yang hanya mengambil satu bakso goreng, sedangkan yang lain tidak.

"Tadi udah kenyang banget di rumah."

"Emang Mama masak apa hari ini?"

Ardan tersenyum tanpa alasan. "Ayam bakar bumbu madu."

"Honey garlic butter?"

"Nah itu namanya. Agak ribet."

"Suka sama itu?"

Ardan mengangguk polos.

"Gue bisa kok masak itu."

Anehnya, di atas dipan itu bisa terjadi percakapan multi dimensi. Emil, Edo dan Saiful membicarakan turnamen voli yang akan diadakan satu minggu lagi. Sementara dua sejoli di hadapan mereka, sibuk membahas makanan yang disukai Ardan.

"Berarti lo bisa makan apa aja?"

"Makan batu bisa. Kerikil apalagi." Emil nimbrung sekali lalu kena lirikan tajam Ardan, akhirnya minta ampun lewat cengiran.

"Emang kenapa? Mau masakin?"

"Nggak pede sih gue. Jelas kalah sama masakannya Tante Sukma."

"Coba aja dulu. Kalau weekend aja tapi, lo kan longgar tuh."

"Boleh. Sekalian masak buat Abang."

Ardan bertanya semangat. "Mau ke kos Bang Rizal?"

"Hmm."

"Gue ikut!"

Edo menyahut salah paham. "Beneran mau ikut, Bang?! Ya Allah, dari tadi mau ngajak maju mundur, soalnya pemain ada yang mundur tanpa alasan. Tahu gitu dari awal aja nawarin lo gabung, Bang, elaaah!"

"Gabung apa?"

"Tim voli RT kita."

Saiful mengambil tangan Ardan, menjabatnya erat sambil diguncang-guncang. "Welcome to the club, Suhu."

"Eh, mana bisa. Gue kalau basket ayo."

"Halah, sama-sama megang bola pake tangan, Bang. Bisa gue yakin bisa!"

Agni terkekeh-kekeh melihat kesalahpahaman yang terjadi. Malas juga meluruskan.

"Nggak, nggak mau." Berusaha menarik tangannya.

"Ardan jagonya main bekel, jangan diseret ke turnamen-turnamen segala. Dia bukan suhu, tapi cupu." Emil membantu, tapi lebih terdengar menghina.

"Sialan!" Demi sejumput harga diri di depan Agni. "Kata siapa gue nggak bisa voli?! Gue bisa!"

***

Weekend yang ditunggu tiba. Sabtu sore, Ardan cari cara agar bisa menyusup ke lantai dua. Lewat chat, Agni bilang kalau pergi ke kos abangnya malam Minggu. Jadi sore ini dia mau lihat Agni masak.

Alasan galon dan gas masih berguna meski sudah terdengar basi. Sambil menenteng gas tiga kilo, Ardan melenggang ke kos. Menjawab sapaan genit yang kupingnya sudah kebal. Sebelum naik tangga, Ardan melongok ke kamar Sasa yang pintunya terbuka lebar.

"Sa, lagi ngapain?"

Sasa tak mengubah posisinya yang duduk di lantai. Hanya kepalanya yang mendongak. "Ngutek kuku. Abang mau ngapelin ayang?"

"Ya dong."

Sasa melirik gas di salah satu tangan Ardan. Mencebik sedih. "Udah sana. Aku sedih cuma jadi korban 'halo Sa' doang."

"Agni lagi masak. Nggak mau icip-icip?"

"Icip-icip? Aku lebih milih numpahin sewajan-wajannya."

Ardan berjengit horor. Benar juga. Maka dia meneruskan langkah. Di tengah anak tangga dia berpapasan dengan tumpukan baju yang menutupi wajah pemiliknya. Ardan pun minggir ke tembok, takut kena tabrak. Anehnya dia juga menahan napas biar tidak disadari keberadaannya seperti film yang pernah dia tonton. Dan berhasil, Dea tidak menyadarinya. Mungkin saking sibuknya menuruni anak tangga sambil memastikan tidak ada satu pun baju yang tercecer.

Sampai di lantai dua disambut dengan harum masakan yang super wangi.

"Nggak dimodusin Dea?"

"Dia aja nggak lihat gue."

"Tapi lo lihat baju yang dia bawa, 'kan?"

"Lihat."

"Lo pantengin banget dong bra sama underwear dia?"

"Emang ada?"

"Nggak usah sok polos. Ada tuh gue lihat di tumpukan paling atas."

"Ini intinya mau ngajak berantem ya?" Ardan siap berbalik kalau memang itu tujuan Agni membuatnya datang kemari. "Tuh, awas gosong."

Agni kembali ke wajan. Membalik ayam berwarna kecokelatan itu. Ardan meletakkan gas di kolong kabinet. Matanya mengabsen masakan yang sudah jadi, ditata di rantang susun. Mencuci tangannya di westafel, Ardan kemudian mengambil garpu untuk menyicip bihun goreng yang isinya macam-macam.

"Eh, gue icip semua ya."

Agni mengangguk. "Enak?"

"Enak, hampir sama kayak masakan Mama. Dari dulu suka masakin buat Bang Rizal?"

"Setelah keluar dari rumah? Baru ini sih."

Ardan beralih ke masakan lainnya, cumi asin sambal matah. Sama-sama enak juga. "Mau dong dimasakin begini."

"Iya, entar."

"Entar-nya kapan tuh?" pancingnya sengaja. "Rumahku dah mau jadi lho."

Agni mematikan kompor, mengabaikan godaan itu. Dia mengambil wadah lain, menyisihkan untuk anak kos. Sementara beberapa potong ayam lainnya dimasukkan ke rantang. Tiga jenis masakan. Menunggu dingin sebentar lalu siap disusun.

"Jadi ikut turnamen?"

"Jadi," jawabnya lesu.

"Kapan latihannya?"

"Besok."

"Kok sedih? Beneran nggak bisa voli?"

"Bisa. Cuma lo rela kalau gue bikin tim menang, terus gue dipuja-puja para perempuan se-RT?" Meralat cepat. "Satu kelurahan malah."

Agni membawa wajan kotor ke westafel, sudah menyalakan keran, selagi membilas dia menoleh sebentar ke Ardan. Mengerutkan wajah, mendesis geli. "Narsis banget lu anjir."

Tertawa kecil. "Tapi lo nonton kan nanti?"

"Nggak sudi." Mematikan keran, meraih spons yang sudah diberi sabun.

"Ya udah, gue suruh Sasa aja nonton."

Seketika Agni menoleh tajam. Mendesis lagi. "Ngomong sekali lagi, gue sabunin muka ganteng lo."

Ardan tersenyum, menepuk punggung Agni dan bersiap kabur. "Habis Magrib, 'kan?"

***

Chapter berikutnya bakal ada konplik~ wkwkkwkwkwkkwwk

Oiya, chapter ini akan ada Extended Version-nya di Karyakarsa. Mungkin aku post besok atau Senin ya. Follow dulu boleh akun KK-ku: @RespatiKasih biar dapet notip. Makasiii🤗

See u when i see u ❤

Sabtu/19.02.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top