Bagian Limapuluh Satu
"Bang Galon."
Ardan menoleh ke pintu toko. Bukan karena panggilan itu, tapi lebih karena suara yang memanggil sudah istimewa di telinganya. Kepalanya auto noleh tanpa disuruh otak tapi hati yang berkehendak. Agni juga terlihat cantik dengan kaus oversize, celana selutut dan sendal jepit. Rambut sebahunya sebagian disibak ke belakang menggunakan jedai. Tapi bagi Ardan, berasa disamperin bidadari.
Bidadarinya galak tapi.
"Pffftt, nengok lagi. Suka ya gue panggil Bang Galon?"
"Nggak mau. Ulangi."
Agni berdeham. "Bang Gas Elpiji?"
Sebelum tambah manyun bibir Ardan, Agni berhenti menjaili. "Bang Ardan—siapa sih nama panjang lo? Apa cuma 'Ardan' aja?"
"Rahasia. Ntar kalau daftar nikah juga tahu. Ngapain ke sini? Kalau cuma beli doang mending nggak usah. Pulang lagi sana."
"Tujuan orang ke toko kan emang buat beli, bukan apel."
"Oh, mau apel. Bilang dong. Duduk, duduk."
Iseng bertanya. "Duduk di mana?"
"Mau sekursi sama gue, dempetan kayak angkot? Atau mau dipangku?"
"Bu Sukma, anaknya mesum nih!"
"Jewer aja kupingnya!"
Ardan melongok panik, melihat mamanya di pintu pembatas toko dengan rumah. Agni juga tidak menyangka kalau bakal dijawab sungguhan oleh yang bersangkutan. Dia cuma bercanda. Ketika matanya bertemu dengan Tante Sukma, dia tersenyum lebar.
"Nggak, Ma. Ardan nggak ngapa-ngapain. Cuma bercanda."
"Inget ya, ini toko ada CCTV. Kalian kepergok aneh-aneh, Mama nikahin ke KUA nggak pake besok-besok." Setelah itu Mama menghilang ke rumah.
"Gue emang ngebet nikah, tapi mau pakai alasan yang bagus. Bukan kepergok CCTV." Ardan kembali duduk.
"Yang penting nikahnya sama siapa."
Ardan nyengir. "Bener juga." Lalu menepuk pahanya sendiri. "Sini duduk."
"Gue gampar ya." Setelah mengatakan itu, sudut matanya menangkap hal lain.
Di luar toko, Sasa yang hendak berangkat kuliah tetap menyempatkan diri mampir meski jelas-jelas ada pawangnya. Dia tidak buta kok. Dia tahu kalau sedang ditatap laser oleh Agni. Sebelum ada deklarasi apa-apa, Sasa masih berhak berjuang sampai titik darah penghabisan.
Gagal mendapatkan Ardan, anemia iya.
"Abaaaaaang."
"Apa?" Disambar Agni sebelum Ardan menjawab sapaan itu.
Sasa tidak mengalihkan mata dari Ardan yang kini menatapnya. Fokus ke tujuan. Selama beberapa saat dia memang bisa memandangi wajah ganteng itu tanpa hambatan. Seperti yang sudah-sudah, dia sedang men-charge energi untuk kuliah seharian. Tapi detik kesekian ada telapak tangan yang tiba-tiba nemplok di wajah Sasa. Bukan nemplok, lebih tepatnya ini ditabok sih.
Menyingkirkan tangan itu dari wajah, Sasa kemudian merengut seraya mengusap hidung.
Ardan menahan tawanya. "Udah sana, berangkat. Ntar ketinggalan bus."
"Kasih semangat dulu, Bangggg."
"Semang—"
"Semangat!" Agni meraih kedua bahu Sasa, ditepuk kencang dan diputar balik dengan paksa. Pun didorong keluar dari toko. Sasa cuma bisa pasrah sambil ngomel dalam hati. Tidak sudi dia menganggap Agni bestie lagi.
Saat melihat Emil keluar dari warung Mpok Jaenab dan melangkah ke toko Ardan sambil bersiul, Agni juga waspada. Begitu langkah Emil semakin dekat, dengan galak dia menyapa duluan. "Apa? Lo mau minta disemangatin Ardan juga?"
"Dih. Prik lo." Emil menghentikan langkah di pintu dengan kaget. "Gue mau beli rokok!"
Emil melengos melanjutkan langkah. Tiba di meja kasir, dia komat-kamit. Maksudnya memaki Agni tanpa suara tapi Ardan sepertinya bodoh menangkap gerakan bibirnya. Merasa sia-sia, Emil memilih menyebutkan nama rokok favoritnya. Menyerahkan uang pas dan memutuskan tidak mejeng di sana seperti biasa.
Ada pawangnya. Emil napas di sini lebih dari lima menit yakin kena smackdown dia.
Sebelum meninggalkan toko, Emil sempat berseloroh. "Gue kasih bintang satu deh ya. Pawang lo galaknya bukan main."
Ardan cuma tertawa. "Kena trigger Sasa barusan. Kalau lo kena damprat ya maaf."
"Dia apelnya bukan kayak pacar, kayak militer."
"Gue denger!"
Emil mingkem, komat-kamit lagi, lalu melesat pergi.
***
"Bwang."
"Apa?"
"Abwaaaaang."
"Mau bilang apa?" Ardan tetap fokus ke game di layar ponsel. Jingga di sebelahnya hanya memindah-mindah channel TV tanpa tujuan. Kalau Mama ada di sini, kepala adiknya sudah kena timpuk remote sejak tadi.
"Tadi sore pas aku jaga toko, pas Abang nganter Mama dan Mbak Cici antar pesanan katering, pas Didit main layangan sama temen-temen jametnya ...."
"Hm. Terus?"
"Ada Abang-abang yang celingak-celinguk di depan kos."
"Abang bakso itu."
"Nggak bawa gerobak!"
"Abang ojol."
"Dia bawa motor sih, tapi nggak pake jaket kebangsaan. Bukan ojol deh."
"Dilepas kali, jaketnya."
"Au ah, Baaang! Capek!"
Ardan terkekeh. "Paling gebetan anak kos."
"Tapi aku ngerasanya nggak gitu."
"Hm." Ardan tidak tahu harus menanggapi apa lagi, jadi dia hanya bergumam. Terserah adiknya saja.
Merasa diabaikan, Jingga meraih ponselnya di bawah paha. Dan tak lama kemudian terdengar abangnya yang menoleh sudah akan melontarkan rentetan makian tapi untungnya ingat kalau ini di rumah, yang dimaki ini meski menjengkelkan adalah adik kesayangan. Ardan menghela napas dalam-dalam.
Mood Ardan untuk melanjutkan game hilang sudah. Dia melempar ponsel ke sudut sofa, mencomot stick bawang yang dibawa Jingga, melanjutkan obrolan yang tadi. "Kamu ngerasa gimana? Dia orang pinjol?"
"Nah, itu juga masuk dugaanku."
"Ada berapa dugaan?"
"Orang pinjol, preman, begal, tukang pukul, penjual organ?"
"Kok gitu semua? Emang orangnya kayak gimana?"
"Gede, tinggi, ada tindiknya. Rambut berantakan tapi ganteng, Bang. Kalau dilihat-lihat, punya tato juga deh di leher belakang. Agak-agak mirip aktor Chiko Jerikho."
"Gebetanmu, kali." Ardan mendecak. "Saking banyaknya sampe lupa sama muka gebetan sendiri."
Jingga mencubit lengan abangnya. "Sembarangan. Aku lebih cocok jadi Sugar Baby-nya, Bang. Eh tapi dia nggak kelihatan kayak Sugar Daddy. Aku tarik omonganku."
"Kamu nggak samperin buat tanya dia mau ngapain?"
"Kalau aku digibeng gimana?! Iya kalau cuma digibeng. Kalau diculik, dimutilasi, dicungkil mataku, diambil ginjalku terus aku dibuang ke laut, gimana? Abang pasti susah nemuin aku karena aku udah dimakan ikan-ikan. Hadooooh serem banget, Bang. Mati konyol aku. Sepengin-penginnya aku nonton konser BTS, aku nggak kepikiran jual ginjal, aku bisa minta duit ke Abang buat beli tiket VVIP-nya."
Ardan mengabaikan betapa dramatisnya manusia yang terlahir sebagai adiknya ini. "Terus dia ngapain aja di depan kos?"
"Mondar-mandir sambil teleponan. Habis telepon, juga nggak pergi-pergi. Masih mantengin gerbang."
"Ditolak tuh pasti. Anak kos nggak mau nemuin." Masih dengan dugaannya pertama. Ardan malas menerka aneh-aneh apalagi mengikuti pikiran adiknya yang kebanyakan nonton drama Korea thriller.
"Abang nebaknya dia pacar siapa?" Baiklah, Jingga ikut pikiran abangnya.
"Mana Abang tahu."
Jingga mengerling jail. "Emang Abang nggak curiga kalau ternyata dia pacarnya Mbak Agni?"
Terkekeh. "Ya nggaklah."
"Kok enggak? Abang sotoy nih."
"Emangnya penghuni kos cuma Agni?"
"Ya karena semua orang tahu kalau gebetan anak kos tuh Abang!" Ditekankan sekali lagi. "Cuma Abang seorang!"
"Terserah."
"Aku jadi yakin kalau dia emang pa—"
"Pacarnya Agni tuh aku!"
Jawaban sembrono Ardan sukses membuat adiknya mendadak salto di atas sofa dan terbahak keras. Ardan sampai kena hujan lokal stick bawang. Tidak cukup salto, Jingga lanjut main barongsai hingga membuat abangnya tertendang ke karpet.
Ardan hanya menatap datar tingkah adiknya sambil menyingkirkan stick bawang dari rambut.
"Ya Allah, Jingga!" Mama lewat di ruang tengah dan kaget melihat stick bawang berceceran di lantai. Tak segan, tangannya langsung menjewer telinga Jingga yang otomatis menghentikan tawa kencang itu.
"Maaa, aduh, aduh, sakit. Ampun!"
"Anak perempuan, ketawa ngakak lebar banget. Ini lagi, kenapa makanan dibuang-buang?!"
"I-iyaa. Aku pungutin kok, Ma."
Jeweran semakin kencang dan Ardan pura-pura tidak lihat. Dia juga sedang malas membela adiknya.
"Lepasin dong, Ma. Aku mau pungut nih mumpung belum lima menit."
Mama melepas jeweran, mendumal sambil berlalu. "Makanya nggak usah jailin abangnya!"
Setelah memastikan Mama masuk ke kamar, Jingga langsung lompat ke punggung abangnya. Memiting abangnya dengan cara yang sebenarnya lucu karena badannya tentu kalah besar. Ardan membiarkan sampai kemudian Jingga menggigit lengannya. Karena tak bisa marah, Ardan hanya balas mengempit kepala adiknya di ketek sebelah kanan sampai orangnya minta ampun.
Ardan baru melepas kepala Jingga ketika terdengar suara getaran. Tangannya menggapai ponsel di sudut sofa. Panggilan dari Emil. Malam-malam begini. Ardan sudah tahu apa maksudnya.
***
Rahim Anget
Sasa: ya Allah, aku nih besok dah kaget lg kalo nama grup udah "beranak dalam sumur" 😭
Ajeng: TBL TBL TBL
Dea: kalo anaknya bang ardan mau sih
Dea: amit amit. bercanda ya Allah 😭🙏 biarkan hamba lahiran di bidan atau rumah sakit sultan
Sasa: yakin bidan? dukun beranak kali🤪
Dea: mana aja yg cepet😑
Ajeng: next nama grupnya "kutunggu dudamu"
Dea: keenakan agni dong dpt ardan versi segelan😌
Jessi: ya kalo nikahnya sm agni😏
Dea: HAHAHHA BENER BENERR
Ajeng: tp gw mau kok bang ardan versi preloved❤
Dea: lu kambing dipakein jas juga mau lu
Ajeng: HEHHH😭👋
Eriska: apa sih ini ribut2, kalian ga liat di luar ada orang mencurigakan
Puput: malem2 gini? pdhl mau nonton tipi, jd takut😟
Dea: maap gw sibuk self love jd lg ga peduli sama sekitar, kalo bang ardan bolehlah ya
Ajeng: gebetan siapa tuhh
Jessi: sape yg urusan sama pinjol
Jessi: atau yg belom bayar kartu kredit
Jessi: jgn sampe deh tuh orang ngamuk di kos kita
Puput: kesian bang ardan kalo sampe orang itu bikin ribut 🥺
Sasa: eh td sore aku jg liat pas balik kuliah. aku pikir dia mau makan di warung mpok jaenab, jangan2 orang yg sama
Eriska: lo ga tanyain?
Sasa: ya ga dong 😫 udah takut duluan nih, aku ngibrit buru2 masuk kos
Dea: takut diculik ya sa wkwkwk secara lo dedek2 gemes, sasaran empuk bgt, banyak om2 suka
Sasa: mulutnya perlu disetrika ya Allah😭
Ajeng: sekilas orangnya gmn sa?
Sasa: yg tadi sore kayak preman tp ganteng
Jessi: trs malem ini dia ada di depan kos lagi?
Dea: udah deh mending jujur, gebetan siapa itu
Dea: mayan tuh buat diakuin, kata sasa ganteng kan
Eriska: gw lg ngintip di gerbang, kalo itu orang ga pergi dlm waktu 10menit, gw tlp bang ardan
Eriska: ganteng apaan, mirip kiwil kok
Dea: biar gw aja yg telpon bang ardan
Jessi: dea kebangetan lu ye, keadaan kayak gini bisa2nya😤
Chat di grup itu terhenti di sana karena semua anggotanya dengan cepat menyusul Eriska, merapat ke gerbang. Lewat celahnya, mereka mengintip orang yang diduga Mas-mas pinjol itu.
"Eriska, bener-bener ya, lo mending ke dokter mata. Ganti mata lo pake biji kelengkeng. Kiwil apaan, ini mah Vino G. Bastian!" Meski gemas, Dea berusaha tidak bicara kencang. Hanya bisik-bisik. Takutnya orang itu akan dengar dan mereka diculik berjamaah.
Kasihan yang nyulik, maksudnya. Kalau cuma satu, biar Sasa saja yang mewakili kakak-kakak kosnya.
Eriska menyahut santai. "Ya niatnya kan biar kalian nggak ke sini."
"Lu mau ngibulin siapa? Kita?"
Eriska masih mendebat yang tadi. "Kalau dia Vino G. Bastian, lo Marsha Timothy gitu?"
"Iyalah."
"11-21 banget tampang lo sama Marsha."
"Jauh banget dong, Bangs—"
"Makanya, dia nggak mirip Vino!" Nyaris saja Eriska berteriak sambil mencekik Dea.
"Tapi dia juga nggak mirip Kiwil!"
"Kok lo belain dia?!"
"Lo perlu ke dokter mata!"
Ajeng menyela keributan setelah memaksimalkan sipitan matanya. "Lebih mirip Chiko Jerikho nggak sih?"
Sasa ikut bersuara. "Deddy Corbuzier kalau menurutku."
"Ini lagi, ngaco banget." Jessi menoyor kepala Sasa yang ada di sebelahnya.
Mengusap bekas toyoran, Sasa kembali ke celah gerbang. Ya kan dia niatnya memang bercanda. Habisnya pusing menebak siapa gerangan orang itu. "Setelah aku amati lagi, aku yakin kalau dia mirip Cak Lontong."
Dea mendesah. "Gue capek jadi bestie kalian."
"Pada ngapain?" Suara lain terdengar dari belakang mereka. "Bisa minggir nggak? Gue mau lewat."
Geng Rusuh menoleh, melihat Agni yang senewen karena jalannya terhalang.
"Mau ke mana? Bahaya. Di luar ada orang aneh." Mereka saja hanya berani ngintip, ini Agni malah mau keluar. Nyari masalah.
"Justru gue mau nemuin orang aneh yang kalian maksud."
Mata mereka kompak melotot. Berbagai dugaan langsung terbentuk di kepala mereka. Mulai dari yang aneh-aneh hingga tidak masuk akal. Dan tuduhan-tuduhan langsung meluncur dengan suara cicitan.
"Selingkuh dari Bang Ardan ya lo?"
"Gebetan yang ke berapa itu?"
"Lo nih ya, bersyukur kek. Sok kecantikan."
"Serakah lo. Udah dapet Bang Ardan, masih aja kurang."
"Suami orang mana yang lo gebet?"
"Kalau gebetan gue, emang kenapa?" Agni semakin mendekat ke gerbang. Menyibak tubuh-tubuh yang menghalang.
Sasa mendelik lucu, alih-alih menakutkan. "Aku aduin Bang Ardan lho, Kak."
"Sana aduin." Agni menggeser gerbang tanpa ragu.
"Beneran aku aduin ya. Aku nggak bercanda nih. Aku aduin."
***
Extended version buat bab ini bakal ada di Karyakarsa yaa. Coming soon. Follow dulu boleh: Respati Kasih 🤗
See u when i see u ❤
Sabtu/22.01.2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top