Bagian Limapuluh Lima
"Cewek kali yang chat dia. Lo husnudzon sih."
"Suudzon."
"Lo pas My Love juga heboh, tahunya itu nomer emaknya."
"Yang ini foto profilnya kelihatan. Cowok."
"Heh, jaman sekarang banyak cewek rambutnya bondol. Lagian foto di tampilan pop-up kecil banget. Bisa aja lo salah. Itu cewek."
"Tapi ini ... ah lo nggak akan ngerti."
"Gue bukan indihome, Ogeb. Cerita makanya!"
"HEH!" Sebuah tangan melambai-lambai di depan mata. "NGELAMUN JOROK LU YE?"
Ardan terhenyak dari lumanan singkatnya. Hanya dengan melihat Emil pagi-pagi sudah bertandang ke toko, bisa-bisanya dia membayangkan seperti apa reaksi Emil jika dia bercerita konflik batin yang dia hadapi kemarin. Mungkin karena terbiasa cerita ke Emil jadi dia mudah membayangkan reaksi sobatnya itu. Tapi kali ini, nggak dulu deh, skip-skip. Cerita ke Bang Rizal lebih seru. Meski tetap diejek juga.
"Bang, mau ambil tisu basah. Tapi tinggi banget." Ajeng datang menyelak Emil yang berdiri di depan meja kasir.
Emil tergusur hingga satu meter. Tanpa suara dia memonyongkan bibir, mencibir. Kelakuan anak kosnya Ardan emang sopannya pilih-pilih sama yang ganteng doang.
Ardan berdiri dari kursinya, mengambil tisu basah yang dapat dia jangkau dengan mudah.
"Apa lagi, Jeng?"
"Ini, Abang punya obat rindu? Hihi." Jurus gombalnya mulai beraksi.
Tidak tahan dengan kerecehan yang dia dengar, Emil menyambar sambil menyelipkan tangan ke sebelah ketiak. "Bubur ketek gue mau?! Nggak cuma rindu, panu kadas kurap ilang semanusia-manusianya!"
Ajeng menoleh ke samping dengan raut jijik. "Najis lo, Bang." Setelah membayar lalu melesat pergi. Gagal modus, Emil memang perusak suasana.
Emil mendengkus, menyelipkan rambut ke telinga dengan gestur kemayu. "Heh, ini masih gue ya. Coba Agni lihat lo godain lakinya, udah disentil usus duabelas jari lo!"
"Shift malem?" Ardan mulai menghitung uang toko seminggu ini.
Emil mengangguk, menggeser kursi yang biasanya ada di dekat meja untuk duduk. Dia memang berniat nongkrongin toko Ardan. "Jalan ke pasar burung kuy?"
"Ngajak bini lo kenapa."
"Yang ada gue diomelin disangka beli burung, padahal cuma lihat doang."
"Alasan. Bilang aja lo nggak mau jajanin."
"Iye, sama lo enak, nggak pernah minta jajan. Malah gue yang dibayarin."
"Nggak dulu deh. Mau nganter Agni kerja."
"Halah!" Emil menggebrak meja. "Ayang mulu yang lo urusin. Dunia lo nggak cuma dia doang. Ada gue nih." Menepuk-nepuk dada yang sengaja dibusungkan.
"Ya punya Ayang, diurusin makanya."
"Lo masih kebagian madu-madunya, bentar lagi juga ngerasain pait."
"Nggak usah nanti, udah pait."
Emil semangat merapatkan diri ke meja. Dia juga mencondongkan separuh tubuhnya hingga Ardan terpaksa harus mendorong jidatnya munduran sedikit. "Apa? Agni ternyata nggak pernah mau dibayarin makan? Dia perempuan dengan ego tinggi?"
"Otak lo cuma sebatas ini, Mil?"
"Terus? Agni ternyata ngajakin ke OYO tapi lo nolak karena masih suci?" Berdecak seraya geleng-geleng. "Ck, ck. Anak sholehnya Bu Sukma, main-main si Agni berani ngajak begituan."
Ardan tanpa ragu menggeplak mulut Emil dengan segepok uang yang sudah dia beri karet. Dua kali. Jontor, jontor sekalian.
Emil memegang bibirnya yang kebas. Sedih mukanya. "Gue sih seneng aja digampar pake duit tapi habis itu duitnya dikasih ke gue."
"Lo pergi deh. Emosi gue."
"Nggak, gue duduk anteng nih."
Tapi hanya bertahan setengah menit. "Lo ada masalah apa sama Agni?"
Ardan tetap bisa melanjutkan hitungan meski ada interupsi. Dan apa yang Ardan sempat bayangkan tadi sepertinya akan terjadi. "Ada cowok yang chat Agni, bilang kangen."
"Cowok? Dinamain siapa sama Agni?"
"Cuma nomor aja."
"Cewek kali. Wajar sesama cewek bilang kangen. Kalau sesama cowok, auto homo. Foto profilnya?"
Ardan cuma menghela napas. Masih sabar. "Cowok. Gue bilang cowok ya cowok."
"Yakin cowok? Rambut cewek sekara—"
"Iya. Banyak cewek rambutnya bondol! Tapi yang ini gue yakin cowok, Mil!" Harus dia apakan bestie-nya satu ini? Ditenggelamkan ke rawa sepertinya rawa akan menolak. Mungkin kapan-kapan dia coba jorokin Emil ke comberan siapa tahu diterima karena selama ini sudah berteman akrab.
Emil tampak berpikir. Matanya langsung berbinar begitu ada ide melintas. "Lo nggak labrak aja itu orang? Telepon nomornya, ajak ketemuan buat duel. Gue sewain ring tinju deh demi lo. Sekarang tuh main gentle aja, kayak aktor siapa itu ngajak gelud haters dia. Meski gue nggak yakin lawan lo kayak gimana, tapi lihat lo bisa nabok gue pake duit barusan, ya bisalah gelud."
"Nggak."
"Yee, jangan langsung bilang enggak. Lo pikir dulu. Tawuran dan semacamnya itu lebih menyelesaikan masalah ketimbang duduk baik-baik."
"Emang gue anak STM?"
"Semua orang bisa tawuran. Gue punya gir di rumah. Mau? Lo mau? Gue ambilin sekarang kalau perlu."
Ardan meletakkan uang yang baru separuh dia hitung. Geregetan. "Ya Tuhan, Emil Suremil, lo nyimpen gir buat apaan?!"
"Kalo ada maling masuk tinggal hantam aja."
"Sadar diri dong. Lo tidur udah kayak orang mati. Malingnya gondol rumah lo juga kagak bangun."
Emil mengibas-ngibaskan tangan. "Jangan urusin rumah gue. Ini yang penting lo nih. Mau lo apain cowok yang bilang kang—"
Terpaksa Ardan menabok mulut Emil lagi karena dari sudut matanya dia melihat Agni berjalan ke arah toko.
Tidak sempat memedulikan Emil yang siap murka, Ardan menyimpan uang ke laci. Lanjut menghitungnya nanti.
"Udah siap?" Ardan bersikap normal.
Agni tampak bingung. Menunjuk diri sendiri. "Jadi nganter kerja?"
"Jadilah. Aku ambil jaket sama helm bentar ya."
Agni sudah antisipasi kalau-kalau Ardan berubah pikiran karena kejadian yang semalam. Dia pun jadi berpikir kalau Ardan tidak sengaja membaca chat yang masuk dari seseorang di masa lalunya. Dan tentu saja itu menimbulkan masalah yang sekarang Ardan pilih kesampingkan untuk sementara.
"Tapi toko gimana?"
"Mil, lo tungguin toko bentar."
"Ogah. Gue mau nyari bestie baru yang mau diajak ke pasar burung." Emil hendak kabur tapi Ardan lebih dulu menarik dan mendorongnya masuk ke meja kasir.
Ardan berlari melewati pintu penghubung. Meninggalkan dua manusia yang sedang berlomba siapa yang bisa menatap lebih lama tanpa berkedip.
"Lo punya cowok lain?"
"Apa?"
"Lo selingkuh dari Ardan? Gue peringatkan ya Saudara Agni—"
"Saudari." Bergumam sendiri. "Capek gue sama orang-orang ini. Harus ngingetin mulu."
"Saudari Agni, gue peringatkan. Sekali lo nyakitin Ardan, gue nggak bakal diem aja. Gue bakal—lo mau ngapain?!" Emil langsung melindungi mulut dan kepala ketika tangan Agni terangkat ke udara.
Agni bingung melihat Emil mendekap mulut dengan gestur waspada. Padahal dia hanya ingin membetulkan letak bandana. Bukan mau geplak. Dia mana pernah kepikiran geplak Emil, kalau mutilasi iya pernah.
***
Selama perjalanan, Agni seringkali menelengkan kepala, melihat sisi wajah Ardan. Jika biasanya mereka berbincang selagi menunggu lampu merah, sekarang kompak saling diam.
Berhenti di lampu merah terakhir sebelum sampai tempat kerja, Agni akhirnya bicara. "Jadi kamu tuh semalem kenapa?"
"Nggak apa-apa."
Sialnya lampu cepat berubah hijau. Lalu lintas sedang ramai, Agni tidak mau memecah konsentrasi Ardan sejak tadi.
Turun di parkiran khusus karyawan, Agni melepas helm dan mengulurkannya ke Ardan. Tapi ketika lelaki itu hendak mengambil alih, Agni menahannya.
"Apa lagi? Kamu nggak telat? Buruan masuk."
"Aku tanya dulu. Kamu sebenarnya kenapa?"
"Sehat aku. Nggak ada keluhan. Bila sakit berlanjut, aku hubungi dokter."
Saking gemasnya, Agni ingin menggetok kepala Ardan dengan helm yang dia pegang. Aman, lelaki itu masih memakai helm. Ketimbang buang waktu untuk merealisasikan niatnya, Agni lebih ingin menggunakannya untuk mengonfrontasi. "Semalem pas kamu ngasih HP-ku, kamu nggak sengaja baca pop up chat?"
Ardan langsung mengangguk.
"Namanya Asta, tetangga sebelah rumah. Kami temenan udah dari kecil."
"Bang Rizal udah cerita."
"Udah? Sejauh apa?"
"Nggak jauh-jauh amat. Lagian aku mestinya tanya ke kamu. Aku pacarannya bukan sama Bang Rizal."
"Kamu nggak lagi cemburu, 'kan?"
"Cemburu? Ya iyalah. Dia bilang kangen ke kamu gitu kok."
"Aku nggak bales chat dia."
"Kalau mau ketemu, ya ketemu aja."
Sekarang boleh Agni getok pakai helm? Itu mulut kok enteng sekali nyuruh ketemu.
"Kenapa nyuruh kalau aslinya cemburu. Nyari penyakit namanya."
"Nggak, aku beneran. Kata Bang Rizal dia kan cukup berjasa tuh di hidup kamu. Kalau kamu kangen dalam artian sebagai teman, ya oke. Temuin aja mumpung orangnya di Indonesia."
"Beneran nyuruh nih?"
"Aku nggak bercanda. Silakan temui dia."
"Kamu nggak takut aku berubah pikiran apa?"
"Misalnya?"
"Aku ninggalin kamu demi dia."
"Takut. Tapi setelah kupikir semua kembali ke kamu kan. Kamu penginnya hidup sama siapa."
Agni gemas sendiri. "Daaaan, ayo dong. Larang aja kalau mau ngelarang. Jangan kayak gini. Aku nggak mau ketemu sama dia."
Terkekeh akhirnya. "Takut dibawa ke Jepang?"
"Masih bisa bercanda?"
Ardan tersenyum kalem. "Jangan temui kalau gitu. Kalau dia yang datang nyamperin kamu, ya intinya semua kembali ke kamu. Aku nggak akan nuduh kamu macam-macam. Kamu berhak buat milih."
Sesaat Agni merasa tertampar sendiri. Dia yang ngotot ingin HTS, tapi begitu melihat Ardan yang memberi kelonggaran begitu banyak, Agni mendadak tidak ingin diperlakukan begitu. "Kamu nggak mau berjuang?"
"Aku nggak mau berjuang untuk orang yang jelas-jelas nggak mau hidup sama aku. Sekali kamu pergi, artinya selesai."
Di sisi lain, Agni paham kalau luka Ardan di masa lalu masih lekat dan itu bukan salahnya jika di hubungan yang berikutnya, Ardan tampak lebih mudah merelakan. Tapi apakah mudah? Ardan termasuk orang tulus yang apa-apa pakai hati. Pasti juga sakit. Bohong kalau bilang dia akan baik-baik saja.
"Sabrina sialan ya." Agni tidak lagi menahan helm dan membiarkan Ardan mengambil alih.
"Udahlah."
"Dia bikin kamu kayak gini."
"Apa? Aku terkesan pasrah?"
Agni mengangguk, lalu menggeleng. Entah yang mana yang lebih benar.
"Ya ampun, bukan berarti aku nggak cinta sama kamu ya, Ni. Aku pengin banget hidup sama kamu, bahkan cuma kamu yang aku kasih tunjuk rumahku yang belum jadi itu. Cuma ... kalau kamunya nggak bahagia sama aku ya buat apa aku maksain. Kesadaran untuk hidup bersama kan bukan dari sepihak."
"Oke. Aku ngerti. Makasih buat kebebasannya."
"Ini kebebasan yang bertanggungjawab ya."
"Siap."
"Ngomong-ngomong, lebih ganteng siapa? Aku atau Asta-asta itu?"
"Asta."
Ardan refleks meninju tangki bensin. "Udah sana, masuk sana, kerja. Uang kos mau naik tahun depan. Ngapain malah nyengir?"
"Tahun depan yakin aku masih jadi anak kosmu dan bukan ibu kos?"
Ardan berusaha menyembunyikan rona di wajah.
Cengiran Agni semakin bertambah lebar. Kerlingan matanya juga seakan mengejek. "Gini ya cemburunya? Lucu juga."
Terakhir, sebelum Agni berbalik. Dia mencubit sebelah pipi Ardan. "Gantengan kamu kok. Apalagi kalau cemburu, ganteng banget." Masih mencubiti dengan gemas. "Jadi pengin simpen di kantong terus bawa kerja biar bisa lihat seharian."
Ardan menurunkan paksa tangan Agni ketika seorang pegawai datang dan parkir tak jauh dari tempat mereka.
"Wiih, dianterin suami, Mbak?"
"Iya dong."
Ardan memberi senyum ramah ke pegawai bertubuh mungil imut yang juga membalas dengan hal yang sama. Begitu perempuan itu berlalu, tangan Agni kembali ke pipinya.
"Bukan tipemu, biasa aja lihatinnya."
"Emang tipeku yang kayak gimana? Emang tahu?"
"Bener juga. Dari Sabrina ke aku jatohnya jauh ya."
***
Muhasabah Diri
Dea: ini kos kok mulai anyep
Dea: gak ada masalah apa gitu
Dea: selain bang ardan sm agni ya
Dea: bosen gw sakit ati ga kelar2
Jessi: coba sekali2 review abangnya agni
Dea: mau ripiu apanya? shio? jodiak? lo tau namanya aja engga ciyan bgt😭
Jessi: bcd
Eriska: eh tau ga gaisssss
Sasa: kak eriska bisa diem ga, udah aku sogok cokelat 2 batang harap tau diri ya 😭🖐
Eriska: oke deh 🤣
Dea: eh apa nih, ada apa dgn adik kos kita gemas nan imut kayak prilly tp upilnya doang
Puput: sasa udah jadian sm jepri ya?
Ajeng: iqbal, bukan jepri
Eriska: mana cokelatnya udah kemakan satu
Ajeng: ntar gue beliin 3 batang kalo lo spill
Eriska: waduh sa gimana nih? ada yg berani ngasih 3
Sasa: aku kasih selusin
Eriska: 😘
Dea: murahan lo
Eriska: diem lu tutup marjan
***
Ada yg ngikutin Sasa di KK?
Apa dibikin update tiap hari aja ya? Masih sisa 9 chapter 🤣
Minggu/10.04.2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top