Bagian Limapuluh Empat

Halooo~
Semoga kabar kalian baik yaa 🙌

Maap aku ngilangnya lama 😭🙏
Pokoknya makasih banget masih nungguin 😭❤
Terlalu random buat diceritain kenapa, jadi... Happy reading! ❤✨

——————————

Begitu lampu sudah menyala hijau, Ardan segera menggandeng tangan kanan Agni. Mereka menyeberang ke halte dengan langkah ringan dan senyum yang saling berbalas.

Indahnya pagi. Mereka tidak perlu kucing-kucingan seperti biasanya. Lama-lama mereka sudah cuek dengan sekitar. Pegang tangan ya tinggal pegangan. Tapi untuk pelukan masih pikir-pikir lagi.

Toh semua orang yang melihat mereka akur sudah bisa menyimpulkan sendiri, termasuk Mpok Jaenab dan Pak Dadang yang sibuk berdeham dan terbatuk-batuk sepanjang Agni menghabiskan sarapan ditemani Ardan.

"Senin hlo ini. Pagi-pagi udah merusak mata aja." Emil sekonyong-konyong datang dan menyerobot dari belakang, memisahkan tautan tangan mereka secara paksa. Sebagai gantinya dia memegang tangan Ardan. "Dasar pasangan newbie. Norak abis."

Namun, sedetik kemudian histeris sendiri saat menyadari dia juga memegang tangan Agni. Menghempasnya kilat. "Aaaaaak!"

Agni bersungut, mengelap tangannya ke jaket.

Urusan duduk di halte pun, Emil memaksakan diri untuk nyempil di tengah. Entah disebut apa sikap konyol Emil ini. Yang jelas dia hanya iseng saja. Mengganggu orang pacaran itu kadang menyenangkan. Ini bukan cemburu. Selama Ardan masih mau menemaninya memancing di comberan, Emil tak perlu cemas.

Yakin begitu?

Hmm, sepertinya perlu tes ombak. "Ntar malem temenin."

Ardan melirik bosan. "Mancing comberan lagi?"

Emil mengangguk.

"Nggak. Nanti malem mau pergi sama Agni."

Dalam sekali gerakan, Emil melonjak dari duduknya, berkacak pinggang di depan Ardan. Siap memuntahkan omelan dramatis karena Ardan sudah memprioritaskan Agni dan mulai menyingkirkan dirinya. Tapi mendadak berubah pikiran saat Ardan menatapnya dengan ekspresi mengiba. Bukan memohon agar dimaafkan tapi lebih terlihat malas diajak drama pagi-pagi.

Emil kembali duduk. Melipat kedua tangan di dada. "Emang mau ke mana?"

"Pacaran," sahut Agni.

Melirik Agni dengan cemburu yang tak mau diakui. "Pacaran mulu."

Sebuah bus merapat. Ketiganya berdiri. Emil melangkah lebih dulu dan melompat gesit ke dalam bus. Agni menyusul di belakangnya, Ardan mengikuti hingga depan pintu. Memberi senyum dan tepukan lembut di kepala Agni sebelum perempuan itu naik. Lantas matanya turun ke kaki Agni, memastikan langkahnya aman ketika memasuki bus. Terlalu berlebihan? Ardan juga merasa begitu tapi dia refleks dan senang melakukannya.

Emil menunjuk satu-satunya bangku yang kosong, berdeham. "Duduk lo."

"Kenapa nggak lo aja?" Tangan Agni siap mencari pegangan. Keras kepala memilih berdiri ketimbang menerima tawaran tempat duduk.

Tanpa banyak bicara apalagi menciptakan perdebatan tidak penting, Emil langsung mendorong bahu Agni hingga terduduk di bangku itu. Terakhir dia mengacungkan jempol ke Ardan.

Ardan menyaksikan semua itu karena bus sempat tersendat mobil di depannya. Terkekeh geli melihat hubungan mereka yang nampaknya sulit akur sampai nanti.

Bus sudah benar-benar melaju, hingga pandangan Ardan kini berganti dengan Sasa yang siap menyeberang. Tangannya sudah melambai-lambai, senyumnya cerah sekali. Anak itu sebenarnya punya energi banyak sekali. Tapi bisa-bisanya tiap berangkat kuliah selalu minta disemangati.

Gadis itu berlarian heboh sambil berseru. "Abanggg! Di situ dulu, Bangggg! Jangan pulang, tunggu akuuu!"

Ardan urung melangkah. Sasa tiba di depannya dengan cepat. Napasnya sedikit ngos-ngosan.

"Aku nyariin Abang ke toko tapi nggak ada. Tahunya nganterin Ayang kerja."

"Nganterin itu kalau gue nurunin dia di depan tempat kerjanya terus tangan gue dicium sama dia."

Sasa mendengarnya dengan ekspresi cengoh.

"Dan kalau perlu gue cium keningnya juga."

Muka cengoh Sasa berubah menjadi horor. Ardan tertawa melihat anak gemas ini mungkin sedang membayangkan adegan itu.

"Kenapa sih?"

Sasa menepuk-nepuk pipi agar sadar. "Geli, Bang. Kalian kan masih pacaran, ngapain nganter kerja sampai cium kening segala."

"Loh, kata siapa gue begitu tapi masih HT-pacaran?"

Sekarang tampang Sasa terlihat bodoh.

"Pas udah nikah dong."

Sasa mengerjap-ngerjap. "Emang kapan?" Mengibaskan tangan berkali-kali. "Bisa nih bercandanya, Abwangg."

"Besok kalau nggak hujan."

Sungguhan bercanda. Tapi Sasa jadi kepikiran. Ngomong mau nikah-mau nikah kok segampang itu. "Emang Abang nggak nunggu Didit minimal udah SMA dulu baru nikah?"

"Kelamaan, Sa."

"Emang Abang bisa ninggalin rumah lagi?"

"Bisa."

"Mana yang katanya mau jagain keluarga? Abang nggak takut kalau Jingga bikin ulah apa gitu terus bikin Tante Sukma murka?" Dia menambahkan. "Dunia kuliah lebih keras lagi, Bang."

"Paling-paling Jingga ngejamet. Gue nggak masalah asal bukan temen yang ngejerumusin dia."

"Apa nggak kebalik? Jingga deh, Bang, yang kayaknya bakal ngejerumusin anak orang."

Ardan tertawa, mau menyangkal tapi ini Jingga. Kelakuannya tidak tertebak. Bisa jadi apa yang dikatakan Sasa memang akan terjadi nanti. Tapi amit-amit!

"Gue pindahnya juga nggak bakal jauh dari rumah."

"Maksudnya?"

Mengibaskan tangan. "Duh, ngapain juga ya gue cerita ke lo."

"Jadi maksudnya Abang udah bikin atau beli rumah di dekat sini?"

Ardan hanya mengangguk.

"Siap huni?"

"Tinggal nunggu Ayang mau diajak nikah."

"Ayang yang mana tuh-"

"Gue koreksi. Agni."

Sasa menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Suara mewek kemudian terdengar. Tak lama kemudian, menggerung-gerung dengan bahu yang berguncang. Kalau dibutuhkan untuk mendukung suasana agar tampak alami, Sasa akan berguling-guling di halte ini.

Ardan tidak panik, tahu kalau itu cuma tangis penuh tipu daya.

"Tuh, bus lo dateng."

Tidak punya banyak waktu, Sasa langsung menurunkan tangan dan merapikan rambut cepat. Dia lalu menatap Ardan seakan menagih sesuatu. Bibirnya boleh saja cemberut, tapi sorot matanya penuh harap.

"Ah, lupa. Semangat kuliahnya, Sasa. Biar lulus tepat waktu. Dapet kerja. Kan enak beli apa-apa pake duit sendiri, nggak diomelin."

Tadinya begitu, dia memang ingin disemangati. Tapi mendadak dia mau lebih.

"Aku nggak mau disemangatin lagi." Sasa melengos, dengan bahu terkulai, berjalan ke tepian halte.

Ardan dengan polos merogoh saku celana. "Uang saku lo kurang?" Dia menemukan selembar lima puluh ribu, berniat memberikan kalau saja Sasa tidak bilang kalimat itu.

"Maunya dicium kening aja."

"......"

Sasa balik badan. Meminta permintaan yang tidak pernah dikabulkan sekalipun Sasa sujud-sujud. Tapi biarlah dia coba lagi. "Boleh cium tangan Abang?"

"Kuliah yang bener, uang kuliah nggak murah." Ardan menjejalkan kembali uang ke saku.

Ini juga sudah dia katakan berulang kali. Semoga kalian tidak bosan. Karena keinginan ini sudah benar-benar di pucuk hati, siap petik. "Udah dibener-benerin tapi maunya nikah sama Abang aja, nggak mau kuliah. Makin nambah semester makin banyak dosen killer-nya. Makin banyak juga temen yang fake. Punya bestie tapi bikin stress."

"Namanya juga temenen, Sa. Ya nggak selamanya akur-akur aja." Ini hanyalah salah satu sambatan anak kuliahan yang bosan kuliah. Tidak ingin meladeni Sasa lebih lama, bersamaan dengan bus yang berhenti, Ardan juga melangkah pulang.

"Kalau kiss bye, boleh? Noleh sini, Bang, noleh bentar! Aku kasih kiss bye sekebon nih!"

Kiss bye sekebon Sasa hanya menemui knalpot bus yang terkentut-kentut mengeluarkan asap pekat.

***

Menguak pintu, Sasa hampir morosot ke lantai mendapati kamarnya sudah diinvasi kakak-kakak kosnya yang tidak pernah mengenal apa itu tahu diri. Hanya lima menit ditinggal mandi di kamar mandi sebelah, dia pikir tidak perlu mengunci pintu.

Bukan masalah pelit karena sudah pasti snacknya ikutan dijarah, tapi bekas penjajahan yang mereka tinggalkan amat pedih. Sedihnya lagi Sasa baru ganti seprai tadi sore. Sekarang nasibnya sudah lecek kena injak kaki-kaki durjana.

Sasa masuk sambil menggosok rambut basah, gerakannya terlihat kesal tapi mereka mana peduli. Dia mengambil hair dryer dan duduk bersila di pojokan sambil bersungut-sungut.

Menyandar di tembok, Dea membuka obrolan lain setelah sebelumnya membahas gosip selebgram. "Gue ketemu Bang Ardan tadi sore, habis latihan voli, rambutnya yang basah bikin gantengnya nggak ngotak." Kepala Dea langsung terbenam di bantal. Meredam jeritan di sana.

"Latihan voli?"

"Mpok Jaenab cerita kalau Bang Ardan ikutan turnamen voli." Dea bangkit, merapikan rambut, melanjutkan. "Tapi sebel ada Agni di sebelahnya. Padahal gue udah bayangin usap manja keringat Bang Ardan, kipasin, keramasin-"

Eriska menjejalkan keripik kentang ke mulut Dea agar tak meneruskan khayalan gilanya.

Mencekik bantal yang dia pegang, Dea bicara sambil mengunyah. Sayang kalau dilepeh. "Siwalan, pakhe lhap teringet Bwang Arhdan segawa!"

Puput memegang bahu Dea. "Bisa bahasa Thailand lo?"

Setelah menelan kunyahan keripik. "Sialan, pake lap keringet Bang Ardan segala!"

Ajeng pending. "Siapa?"

"AGNI LAH. MASA GUE?"

Muka-muka mereka tercengang sesaat sebelum kompak menampilkan template patah hati yang biasanya.

"Mereka udah berani go public." Ajeng berkomentar lesu.

Sasa jadi teringat tadi pagi di halte. Bibirnya makin manyun.

"Mereka cocok kok."

Semua kompak menoleh tajam ke satu arah. Jessi.

"Mau sampai kapan iri sama kebahagiaan orang lain?"

Dea mendengkus kencang. Bodo amat kalau ada upil yang ikut melayang. "Lo ngomong gini karena belain calon adik ipar?"

"Gue realistis."

Dea tak terima, dia menghambur ke arah Jessi. Mencubit kedua pipinya. "Si paling realistis. Lo nggak jauh lebih menyedihkan dari kita. Naksir sama kakaknya musuh sendiri? Ngebadut lo?"

Yang lain tidak peduli dengan keributan itu, tidak berminat juga memisahkan mereka. Sibuk memainkan ponsel masing-masing. Hingga suara di kamar Sasa tak ubahnya seperti pasar malam ditambah dengan suara hair dryer.

Jessi menyentak kesal Dea hingga melepas pipinya yang sudah memerah. Dea memang menyingkir, lantas meraih boneka boba. Menimang-nimang di sebelah lengannya. Jarinya membelai permukaan boneka. Tapi lama-lama gerakannya berubah seperti menyeka keringat. "Bang, cinta tak selamanya indah, Bang. Kalau cuma elap keringat, aku juga bisa. Nih, nih, nih! Jangan kecintaan banget sama Agni, ntar ditinggalin sakitnya kayak sakit gigi kanan-kiri. Susah makan! Susah tidur! Susah berak!"

Meniup anak rambut yang menutupi mata, Sasa sadar kalau tidak ada satu orang waras di lingkarannya. Termasuk dirinya sendiri.

***

Hujan turun selepas isya. Ardan menatap muram jendela di ruang depan. Mama sedang menata makan malam, melihat sulungnya menyusul dan duduk di meja makan dengan muka sedikit tertekuk.

"Mau kencan sama Agni?"

"Nganterin dia beli kado buat temennya yang lahiran."

"Kan bisa bawa mobil?"

"Aku juga bilang gitu, Ma. Tapi Agni bilang tetep nggak mau karena deres banget."

"Aduh, dia nggak tega tuh. Kamu sedihnya nggak jadi pergi sama dia atau nggak bisa ketemu?"

Ardan meringis. "Dua-duanya, Ma."

"Bukannya tadi sore pulang barengan?"

Menggaruk rambut. "Kayak Mama nggak tahu aja. Kalau bisa tiap saat mandangin wajah dia, Ma."

"Mama bungkusin lauk buat Agni, kamu anter sana." Mama hendak berbalik untuk mengambil tupperware.

"Ma, kalau misal Agni aku ajak makan sama-sama di sini, gimana?"

Mama sedikit terkesiap, sebelum mengangguk senang. Ardan langsung berdiri dari kursinya. Saking semangatnya membuat kursi nyaris terjengkang.

"Eh, kamu mau ke mana? Nggak telepon aja?"

"Jemput ke kamarnya, Ma." Ardan melesat, menyambar payung di dekat pintu dan melewati hujan. Menyeberang ke bangunan kos. Dia meletakkan payung di ruang TV, melewati beberapa kamar sebelum mencapai tangga. Di dekat tangga, tepatnya di kamar Sasa, dia mendengar suara gaduh. Pantas sepi, rupanya sedang berkumpul di kamar Sasa.

Di lantai dua, dia bertemu Ayuk yang sedang memasak mi instan.

"Nyari pujaan hati, Dan?"

"Yoi, Mbak. Dia di kamar?"

Ayuk menoleh ke meja kecil di dekat dapur. Melihat ponsel Agni yang tertinggal. "HP-nya tolong sekalian bawain. Bunyi terus dari tadi. Siapa tahu penting."

Tanpa sungkan, Ardan mengambil ponsel Agni karena memang niatnya hanya membawakan, tidak bermaksud melanggar privasi. Tapi bertepatan dia memegang benda pipih itu, ada satu panggilan dari deretan nomor tanpa nama. Ardan tidak mengangkatnya dan lekas menuju kamar Agni. Dering itu berhenti cepat, lalu digantikan dengan pop-up yang menampilkan chat beruntun. Dari nomor yang sama.

Agni, aku udah di indonesia
Bisa ketemu bsk?
Aku kangen. Maaf baru ngabarin
Tlp aku kalo kamu udah gak sibuk

Ardan termangu, baru mengangkat wajah ketika merasa seseorang berdiri tepat di hadapannya. Agni bertanya lewat mata. Terkejut melihat Ardan di sini, memegang ponsel miliknya pula.

Sebelum Agni sempat bicara, Ardan mendahului dengan memindahkan ponsel itu ke telapak tangan Agni. "Kata Mbak Ayuk bunyi terus. Mungkin penting."

"Paling orang iseng." Agni tidak buru-buru melihat ponsel dan bertanya dengan kerlingan mata. "Kamu kok ke sini? Kangen ya?"

Ardan berusaha tidak terpengaruh dengan chat yang tanpa sengaja dia baca barusan, tapi ternyata sulit. Dia pun jadi urung mengatakan alasannya datang ke sini. "Anak kamar bawah ada yang minta dianter galon, sekalian aku mampir lihat kamu."

"Galon? Malem-malem begini?"

"Ya udah, aku pulang ya. Udah ditungguin Mama sama adik-adik buat makan malam."

Agni mengangguk setengah bingung. Dia pun mengejar Ardan hingga ke tangga. "Kamu bawa payung?"

"Bawa."

Masih terus mengikuti hingga gerbang. Menepis perasaan aneh melihat Ardan yang berbeda dari biasanya. "Besok bisa nemenin beli kado, 'kan?"

Ardan berhenti di tengah gerbang yang terbuka, berbalik. Memegang gagang payung lebih erat. Menyelami mata bening Agni, mencari sesuatu yang Ardan sendiri tidak tahu apa. Mendadak otaknya kacau.

Lengannya diguncang pelan. "Dan?"

"Lihat besok ya."

"Emang latihan voli sampai malem?"

"Siapa tahu hujan lagi kayak gini."

Agni manggut-manggut. "Ya udah, pulang kerja aja aku mampir beli kadonya."

Tidak ada bantahan dari Ardan yang memilih diam, mengiakan pelan dan berbalik pulang.

"Eh, Agni mana?"

"Udah makan, Ma."

Dalam sekali waktu, Ardan harus bohong dua kali. Dia membenci dirinya yang begini. Semoga Agni memang sudah makan dan bukan mi instan. Lambungnya-siapa sebenarnya lelaki itu?

Kangen katanya? Hahaha! Sialan.

***

Preview next chapter:

"Cewek kali yang chat dia. Lo husnudzon sih."

"Suudzon."

"Lo pas My Love juga heboh, tahunya itu nomer emaknya."

"Yang ini foto profilnya kelihatan. Cowok."

"Heh, jaman dulu sampe sekarang banyak cewek rambutnya bondol dan ganteng. Lagian foto di tampilan pop-up kecil banget. Bisa aja lo salah. Itu cewek."

"Tapi ini ... ah lo nggak akan ngerti."

"Gue bukan indihome, Ogeb. Cerita yang lengkap makanya!"

Extended version dari chapter ini hadir di Karyakarsa besok malam jam 19.00 yaa! 🙌

Username: RespatiKasih

See u when i see u ❤

Rabu/16.03.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top